Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) mendesak Rektor Universitas Riau atau Unri, Sri Indarti menjamin kebebasan mahasiswa yang mengkritik kebijakan uang kuliah tunggal (UKT). Koordinator KIKA, Satria Unggul mengatakan mereka telah berdiskusi antara Dewan Pengarah dan Badan Pekerja KIKA untuk membahas persoalan UKT di berbagai kampus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka melihat terdapat pola-pola sistematik pasca naiknya UKT di perguruan tinggi negeri (PTN), seperti di Universitas Soedirman, Institut Pertanian Bogor, dan lain-lain. Kebijakan itu, kata Satria, di satu sisi mengakibatkan protes mahasiswa yang cukup masif, sedangkan di sisi lain menimbulkan represi yang dilakukan oleh kampus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tentu apa yang terjadi di Unri dan mungkin di kampus-kampus lain yang saat ini bergejolak akibat UKT yang tinggi menjadi masalah serius kaitannya dengan kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik bagi mahasiswa," kata Satria kepada Tempo ketika dihubungi pada Kamis, 9 Mei 2024.
Dalam keterangan yang dirilis pada Rabu, 8 Mei 2024, KIKA menyampaikan 5 tuntutan atas kasus ini. Pertama, menurut KIKA, menolak kebijakan UKT bukanlah tindak pidana. Terlebih, hak untuk menyampaikan pendapat sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik dijamin oleh Undang Undang, sehingga mahasiswa tidak perlu takut untuk menyuarakan kebenaran.
Kedua, KIKA mengimbau pihak kepolisian untuk tidak berhadap-hadapan dengan mahasiswa yang menolak kenaikan kebijakan UKT. Lalu yang ketiga, "Tindakan Rektor Unri sebagai bagian dari otoritas kampus membatasi kebebasan akademik adalah pelanggaran hukum dan HAM yang dijamin dalam perundang-undangan," tulis KIKA dilansir laman resminya pada Kamis, 9 Mei 2024.
Keempat, KIKA turut mengimbau Komnas HAM dan Kemendikbudristek agar menegur tindakan Rektor Unri. Satria menjelaskan bahwa laporan atas UU ITE kepada mahasiswa Unri dikirim kepada pihak-pihak seperti Komnas HAM.
Komnas HAM, lanjut Satria, sebenarnya sudah sangat konsen di isu kebebasan akademik sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Hal itu tertuang pada standar norma dan pengaturan (SNP) Komnas HAM tentang kebebasan berekspresi.
"Kami dari KIKA berpikiran yang sama dengan Komnas HAM bahwa kebebasan berekspresi dalam hal ini demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa katakanlah di Unri atau di kamus-kamus lain adalah bagian dari hak asasi manusia yang melekat dan tidak boleh dibatasi seperti itu," ujarnya.
Terakhir, KIKA meminta Kapolri agar memerintahkan Kapolda Sumatera Utara untuk tidak memproses pengaduan karena tidak ada hukum yang dilanggar. Satria berharap adanya diversi atau restorative justice dari pihak kepolisian untuk memediasi pelapor (Rektor Unri) kepada mahasiswa, "Khususnya untuk mencabut laporannya."
Seruan ini merupakan tanggapan atas peristiwa yang menimpa mahasiswa Fakultas Pertanian Unri, Khariq Anhar. Dia dilaporkan ke Polda Riau atas dugaan pencemaran nama baik dalam UU ITE setelah membuat konten video mengenai biaya kuliah mahal. Laporan tersebut dibuat atas nama Rektor Unri Sri Indarti pada 15 Maret 2024 atau sekitar 2 pekan setelah aksi digelar.
Khariq Anhar mengaku dipolisikan setelah mengkritik kebijakan UKT. Dalam kebijakan itu, ada ketentuan terkait uang pangkal atau iuran pembangunan institusi (IPI) di lingkungan Universitas Riau. Lewat Aliansi Mahasiswa Penggugat (AMP) atau aliansi mahasiswa yang peduli tentang kondisi sosial, mahasiswa Unri membuat undangan terbuka kepada rektor dan mahasiswa. Hanya saja, pihak rektor ataupun utusan disebut tak ada yang hadir.
Pilihan editor: Demokrat Klaim Ide Presidential Club Sudah Ada Sejak era SBY