Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK kembali mengusut kasus suap yang menyeret politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Harun Masiku. Hal ini berkaitan dengan KPK yang kembali memanggil Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai saksi dalam kasus tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasto merupakan saksi keempat yang diperiksa KPK setelah kasus ini kembali diusut. Dia dipanggil ke Gedung Merah Putih KPK pada Senin, 10 Juni 2024, karena dinilai sebagai salah satu kerabat Harun Masiku. Kasus Harun Masiku yang “hidup” kembali ini mengingatkan dengan perjalanan para penyidik KPK dalam menangkap politikus yang berstatus buronan, usai kabur dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Rabu, 8 Januari 2020 tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satunya adalah kisah Rossa Purbo Bekti, penyidik KPK yang disekap dan dikeluarkan KPK usai mengusut kasus Harun Masiku. Seperti diketahui, penyidik KPK selalu mendapat berbagai kendala ketika mengusut perkara suap politikus PDIP tersebut. Rossa yang memimpin operasi penangkapan dan lima anggota timnya sempat ditahan dan dibawa ke sebuah ruangan untuk diinterogasi oleh polisi.
Berdasarkan laporan investigasi Majalah Tempo berjudul Terkatung-Katung di Gedung Merah Putih, sekitar sebulan setelah kejadian gagalnya operasi penangkapan Harun Masiku, Rossa mendapat pemberitahuan bahwa dirinya sudah tidak lagi berstatus sebagai penyidik KPK pada 4 Februari 2020. Saat itu, Rossa sedang bertugas ke Medan untuk menangani suatu kasus. Dia pun langsung balik ke Jakarta bersama anggota tim lainnya.
Akibat pemberitahuan mendadak itu, Rossa bahkan tak sempat membereskan meja kerjanya. Ketua Wadah Pegawai KPK saat itu, Yudi Purnomo Harahap mengatakan, Rossa juga harus mengembalikan gaji yang sudah diterima pada awal Februari lalu. Padahal, Rossa belum menerima surat keputusan pemberhentian secara resmi.
Pemulangan Rossa ke Kepolisian RI, institusi asalnya, bermula ketika Asisten Sumber Daya Manusia Mabes Polri menyurati KPK untuk menarik Rossa kembali ke Polri. Namun, surat itu tak menyebutkan alasan permintaan pemulangan Rossa.
Adapun surat tersebut disampaikan ke KPK lima hari setelah kejadian penyekapan penyidik KPK di PTIK, tepatnya pada Senin, 13 Januari 2020. Menilai surat penarikan itu janggal, sejumlah pegawai KPK mengontak petinggi Polri. Mereka khawatir penarikan Rossa berkaitan dengan kasus yang sedang ditangani.
Kemudian pada 21 Januari, seorang jenderal yang memiliki jabatan tinggi di kepolisian setuju menganulir surat penarikan Rossa. Ia kemudian mengirimkan surat pembatalan penarikan tersebut ke KPK.
Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, membenarkan adanya surat pembatalan penarikan itu. Tapi ia mengatakan KPK menerima surat tersebut pada 24 Januari. Saat itu, kata dia, proses pemberhentian Rossa sudah rampung. “Per 15 Januari, lima pemimpin sudah bersepakat. Lalu tanggal 21 dibuatlah surat keputusan pemberhentian itu dikirim ke Mabes Polri,” ujar Ali.
Menanggapi hal itu, jenderal tersebut kembali mengirimkan surat yang menegaskan pembatalan penarikan Rossa pada 29 Januari 2020. Kendati demikian, Ketua KPK kala itu, Firli Bahuri bersikeras untuk mengembalikan Rossa ke institusi awalnya.
“Putusan pimpinan menyampaikan bahwa sudah ada surat penghentiannya,” ucap Firli pada 6 Februari. Sejak saat itu, Rossa pun tidak lagi berstatus sebagai penyidik KPK. Dia harus meninggalkan tanggung jawabnya dalam menangani kasus Harun Masiku.
Baca Selengkapnya: Peran Firli Di Balik Pemulangan Penyidik KPK Rossa Purbo Bekti
RADEN PUTRI | TIM TEMPO