Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

KPK Belum Temukan Keterlibatan Pimpinan Periode 2019-2024 dalam Perintangan Penyidikan Perkara Harun Masiku

Juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan saat ini tersangka perintangan penyidikan baru berasal dari eksternal KPK.

4 Januari 2025 | 06.19 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Juru bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto, memberikan keterangan kepada awak media di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 23 Desember 2024. KPK mengingatkan ancaman pidana terhadap pengunjuk rasa yang melakukan tindakan anarkis, perusakan dan vandalisme. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menemukan keterlibatan terdahulu maupun pegawai internal komisi antikorupsi atas bocornya operasi tangkap tangan kasus suap yang melibatkan Harun Masiku dan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonensia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto. Juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan saat ini tersangka perintangan penyidikan baru berasal dari eksternal KPK.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Yang jelas untuk proses perintangan itu sendiri sudah ada tersangkanya, walaupun itu bukan internal," kata Tessa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat, 3 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mengatakan belum ditemukan adanya bukti keterlibatan pimpinan periode 2019-2024 dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK sehingga ia belum bisa menyebut ada atau tidaknya tersangka-tersangka lain. Bahkan, kata Tessa, sampai dengan saat ini, dari inspektorat maupun Dewas belum menemukan adanya alat bukti soal pembocoran informasi operasi tangkap tangan atau OTT Harun Masiku yang dilakukan oleh internal KPK.

Tessa memastikan penyidik akan mengusut jika memang menemukan bukti ada yang membocorkan OTT KPK sehingga berujung kaburnya Harun Masiku ketika itu. "Nanti kita akan lihat dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh teman-teman penyidik, apakah akan ada lagi tersangka lain, saya belum bisa menyampaikan itu, baik eksternal maupun internal. Masih didalami prosesnya," ujar Tessa.

Berdasarkan laporan Koran Tempo Edisi 10 Agustus 2023 "Gembos Operasi Pengejaran Harun", Komisi Pemberantasan Korupsi belum mampu menangkap Harun Masiku sejak ia menghilang di sekitar kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), di Jalan Tirtayasa Raya, Jakarta Selatan, pada 8 Januari 2020.

Harun menjadi salah satu target OTT tim KPK pada awal Januari 2020. Saat itu, KPK terbagi dalam beberapa tim operasi penangkapan. Tim yang hendak menangkap Harun sudah membuntuti pria kelahiran 21 Maret 1971 itu ketika kembali ke Tanah Air dari Singapura, satu hari sebelum OTT.

Harun sempat terpantau berada di apartemen Thamrin Residence, tempat tinggal yang disewanya. Esok harinya, menjelang magrib, ia terpantau lagi berada di depan Grand Cafe, lantai 3 Hotel Grand Hyatt, Jakarta Pusat. Setengah jam kemudian, Harun merapat ke sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, untuk bertemu dengan Nurhasan, penjaga kantor DPP PDIP. Mereka lantas mengarah ke kawasan Jalan Tirtayasa Raya, Jakarta Selatan.

Berbeda dengan Harun, tim KPK lainnya berhasil menangkap Wahyu Setiawan, Saeful Bahri, Agustiani Tio Fridelina Sitorus, dan empat orang lainnya dari pihak swasta. Saeful adalah kader PDI Perjuangan dan Agustiani Tio merupakan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu. Keempatnya lantas ditetapkan sebagai tersangka. Kecuali Harun, kasus mereka sudah berkekuatan hukum tetap. Wahyu divonis 7 tahun penjara, Saeful 1 tahun 8 bulan penjara, dan Agustiani 4 tahun penjara.

Wahyu terbukti menerima suap dalam pengurusan penggantian antar-waktu (PAW) anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDIP di Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan I. KPU melakukan proses PAW karena Nazaruddin Kiemas, legislator PDIP, meninggal.

Meski berada di nomor urut enam perolehan suara calon legislator PDIP di dapil tersebut, DPP PDIP justru mengajukan Harun sebagai pengganti Nazaruddin. Namun hasil rapat pleno KPU memutuskan pengganti Nazaruddin adalah Riezky Aprilia, yang berada di nomor urut dua perolehan suara calon anggota DPR dari PDIP di Dapil Sumatera Selatan I setelah Nazaruddin.

PDIP sempat mengajukan fatwa ke Mahkamah Agung agar bisa meloloskan Harun ke Senayan. Mereka juga bersurat ke KPU agar Harun ditetapkan sebagai pengganti Nazaruddin. Lalu Harun dan Saeful menyuap Wahyu hingga Rp 1 miliar untuk memuluskan rencana Harun sebagai pengganti Nazaruddin.

Nama Harun perlahan-lahan menghilang sejak operasi penangkapan itu. Nama dia kembali mengemuka setelah Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Inspektur Jenderal Krishna Murti, menyinggung dua buron KPK yang berada di luar negeri, yaitu Paulus Tannos—tersangka korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP)—dan Harun.

Krishna menyebutkan Harun dikabarkan sempat bepergian ke Singapura pada 16 Januari 2020. Esok harinya, Harun kembali lagi ke Tanah Air. Namun kepolisian tidak memburu tersangka karena belum ada permintaan bantuan dari KPK. "Sementara itu, red notice baru keluar pada 30 Juni 2021," kata Khrisna.

Tiga sumber Tempo di KPK dan kepolisian membeberkan beberapa faktor yang membuat tim KPK kesulitan menangkap Harun. Yang paling nyata adalah pimpinan KPK diduga terlambat merespons setiap kali satuan tugas penyidikan kasus suap Wahyu menginformasikan jejak Harun. Padahal satuan tugas kasus suap itu rutin memberikan informasi. "Tim penyidiknya serius mengejar, tapi diduga ada kebocoran," kata seorang penegak hukum di KPK ini.

Penegak hukum lainnya menyebutkan pimpinan KPK sebenarnya sudah menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Harun beberapa hari setelah OTT. Surat perintah penangkapan itu masih berlaku hingga kini.

Berbekal surat perintah penangkapan tersebut, tim KPK memantau sejumlah lokasi yang diduga menjadi tempat persembunyian Harun, baik di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) maupun di Makassar dan Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Bahkan tim KPK sempat mendatangi rumah istri Harun, Hildawati, di Gowa. Namun mereka tak menemukannya di sana meski ada informasi tentang keberadaan Harun di rumah tersebut. "Bisa jadi informasinya keliru atau sudah bocor," ujar penegak hukum ini.

Kejanggalan lain di tingkat pimpinan KPK terjadi saat OTT terhadap Wahyu dan Saeful Bachri. Setelah operasi penangkapan, pimpinan KPK justru menyebutkan Harun berada di luar negeri ketika OTT berlangsung. Padahal tim KPK justru memantau keberadaan Harun di Jakarta.

Pernyataan pimpinan KPK itu selaras dengan penjelasan pihak Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun Tempo mendapat informasi berbeda. Harun tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul 17.03 WIB menggunakan pesawat Batik Air. Kedatangan Harun terekam kamera pengawas bandara, yang salinannya diperoleh Tempo, di Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta. Belakangan, pimpinan KPK ataupun Kementerian Hukum mengakui Harun memang berada di Indonesia ketika operasi penangkapan berlangsung.

Ketua KPK Firli Bahuri serta empat Wakil Ketua KPK, yaitu Alexander Marwata, Johanis Tanak, Nawawi Pomolango, dan Nurul Gufron, tidak menjawab permintaan konfirmasi Tempo mengenai perkembangan pengejaran Harun. Juru bicara KPK pada saat itu, Ali Fikri juga tak merespons pertanyaan Tempo.

Setelah menggelar konferensi pers bersama Krishna Murti di KPK pada Senin lalu, Ali meminta masyarakat yang mengetahui keberadaan Harun untuk menginformasikannya ke KPK. "Kalau ada (informasinya), pasti kami tindak lanjuti," kata Ali. "Pencarian secara aktif pasti kami lakukan."

Nama Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, disebut dalam persidangan Wahyu Setiawan dan Saeful Bahri di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, pada 30 April 2020. Dalam sidang, Saeful mengatakan sempat berkomunikasi dengan Hasto setelah memberikan uang kepada Wahyu. Isi komunikasi mereka di antaranya mengenai laporan transaksi uang untuk Wahyu. "Saya di situ berkomunikasi sebatas laporan," kata Saeful.

Jaksa penuntut pada KPK, Ronald Worotikan, mengatakan komunikasi antara Hasto dan Saeful itu terjadi pada 16 Desember 2019. Dalam pesan WhatsApp itu, Hasto memberi tahu Saeful bahwa ada uang Rp 600 juta. Tapi Rp 200 juta di antaranya akan digunakan untuk uang muka "penghijauan".

"Kebetulan saat itu partai punya program penghijauan, kemudian Pak Hasto menugasi saya di situ," kata Saeful di pengadilan. Ia mengaku tak mengetahui asal-usul uang Rp 600 juta tersebut.

Ketika memberi kesaksian lewat konferensi video dalam sidang kasus suap tersebut, Hasto membenarkan bahwa ia pernah mengirim pesan ke Saeful soal uang muka penghijauan. Uang itu akan digunakan untuk membuat lima kebun vertikal di kantor DPP PDIP. "Ada alokasi 600 dan 200 sebagai down payment, tapi belum terealisasi karena ada persoalan ini," kata Hasto.

Keterangan redaksi:

Artikel ini mengalami perubahan pada judul dan paragraf pertama dan tambahan keterangan di paragraf empat untuk akurasi pada pukul 15.00 WIB, Minggu, 5 Januari 2025.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus