Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ranjau Kriminalisasi Projo untuk Butet Kartaredjasa

Kasus Butet Kertaredjasa sudah dihentikan sebelum rencana Projo mencabut laporan. Pengkritik masih terancam kriminalisasi.

6 Februari 2024 | 00.00 WIB

Presiden Joko Widodo bersama Butet Kartaredjasa di Istana Merdeka, Jakarta, 3 Agustus 2023. BPMI Setpres/Muchlis Jr
Perbesar
Presiden Joko Widodo bersama Butet Kartaredjasa di Istana Merdeka, Jakarta, 3 Agustus 2023. BPMI Setpres/Muchlis Jr

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Kasus Butet Kartaredjasa menjadi bukti bahwa kritik terhadap pemerintah tak bisa dipidanakan.

  • Masih banyak pengkritik yang kini terjerat hukum menjelang Pemilu 2024.

  • Kasus seperti ini disarankan untuk diajukan ke jalur perdata.

JAKARTA – Seniman Butet Kartaredjasa tak puas meski kelompok relawan Pro Jokowi (Projo) menyatakan akan mencabut laporannnya di Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta. Butet menuntut agar para pengkritik pemerintah yang dilaporkan dalam berbagai kesempatan dan di sejumlah tempat juga ikut dilepaskan dari jerat hukum. "Seharusnya bukan hanya laporan kasus saya baca pantun yang dicabut, tapi juga semua kawan-kawan yang dikriminalisasi," kata Butet dalam konferensi pers, Senin, 5 Februari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Bagi Butet, pemidanaan yang dilakukan oleh kelompok pendukung Presiden Joko Widodo seperti ini adalah prank atau lelucon. Siapa saja yang berseberangan sikap dan pandangan atau melontarkan kritik, menurut dia, tidak tertutup kemungkinan akan berurusan dengan hukum. "Kawan-kawan yang berjuang untuk menegakkan demokrasi dan konstitusi hari ini kerap dipolisikan," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Projo DI Yogyakarta melaporkan Butet ke polisi pada 30 Januari lalu. Dalam laporannya, kelompok yang diketuai Budi Arie Setiadi—kini menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika—itu menganggap Butet menghina Jokowi saat membacakan pantun dalam acara Hajatan Rakyat di Alun-alun Wates, Kulon Progo, Yogyakarta, dua hari sebelumnya. Acara itu merupakan bagian dari kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 03, Ganjar Pranowo-Mahfud Md.

Empat hari berselang, tim hukum Ganjar-Mahfud dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mengadakan pertemuan di kawasan Gambir, Jakarta Pusat, pada Ahad, 4 Februari lalu. Mereka sepakat bekerja sama mendampingi Butet. Ketua tim hukum Anies-Muhaimin, Ari Yusuf Amir, mengatakan mereka bersatu untuk memperjuangkan kebebasan berekspresi yang kini dibatasi. "Kami sudah dijanjikan akan ada kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kenapa zaman sekarang harus dibatasi?" katanya.

Merespons bersatunya kedua kubu lawan, Budi Arie menyatakan telah meminta agar laporan itu dicabut. Dia mengatakan hal itu merupakan perintah langsung dari Jokowi. "Jangan bikin ramai di publik. Saya yang jadi sasaran omongan Pak Butet saja tidak mengadukan ke polisi, kok. Apalagi Pak Butet itu kan kawan sendiri," kata Budi menirukan pernyataan Jokowi.

Butet mengaku berterima kasih kepada Jokowi karena telah meminta agar laporan itu dicabut. Namun putra seniman Bagong Kussudiardja itu memastikan akan terus melontarkan kritik terhadap pemerintah. “Kalau Pak Jokowi tetap mengkhianati konstitusi, ya, mohon maaf. Bapak tetap berteman dengan saya sebagai manusia, tapi secara politik tetap berseberangan dengan kami," ujarnya. "Saya sehat jiwa, konsisten."

Hingga berita ini ditulis, Projo DI Yogyakarta belum mencabut laporan terhadap Butet. Ketua Projo DI Yogyakarta Aris Widhartanto mengaku telah menerima perintah dari Budi Arie, tapi masih berkoordinasi soal pencabutan laporan itu. Dia pun belum bisa memastikan apakah akan melaksanakan perintah itu atau tidak. "Belum tahu (apakah akan dicabut atau tidak)," katanya, kemarin.

Langkah Projo DI Yogyakarta mencabut laporannya ternyata telat. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DI Yogyakarta Komisaris Besar F.X. Endriadi menyatakan pihaknya telah memutuskan menghentikan kasus Butet. Menurut dia, hasil gelar perkara kepolisian menunjukkan laporan itu tidak memenuhi unsur pidana dari dugaan Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) soal penghinaan. "Deliknya mensyaratkan harus ada pengaduan dari yang dirugikan (Jokowi)," katanya.

Seniman Butet Kartaredjasa berpose di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 17 Agustus 2021. TEMPO/ Shinta Maharani

Fenomena banyaknya pengkritik pemerintahan Jokowi yang dilaporkan ke polisi dalam beberapa tahun terakhir menjadi sorotan berbagai pihak. Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana menyatakan angka pelaporan seperti itu meningkat saat memasuki tahun-tahun politik. Meskipun tak punya data pasti, Arif menyatakan hal itu cukup terlihat jelas. "YLBHI mencatat intimidasi (melalui laporan ke polisi) terus terjadi dan intensitasnya semakin meningkat," ujarnya saat dihubungi kemarin.

Arif menilai pemerintahan saat ini menjadikan hukum sebagai alat untuk membungkam dan merepresi kelompok oposisi ataupun masyarakat sipil yang melakukan perlawanan. Bukan hanya pelaporan terhadap Butet, dia mencontohkan aktivis demokrasi Ravio Patra yang ditangkap oleh polisi pada 2020 karena dianggap menyebarkan pesan bernada hasutan.

Kasus anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Jumhur Hidayat, yang divonis 10 bulan penjara karena mengkritik Undang-Undang Cipta Kerja juga dinilai Arif sebagai upaya pemerintah merepresi kelompok oposisi. Terakhir, dia mencontohkan kasus yang menjerat pendiri Yayasan Lokataru Haris Azhar serta Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti. "Jadi ada upaya-upaya untuk menyeragamkan pikiran dan ekspresi masyarakat sesuai dengan keinginan pemerintah," kata ucapnya.

Arif mengatakan hal itu terlihat dari banyaknya aturan yang semakin mempersempit kemerdekaan berpendapat dan berekspresi, seperti revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan KUHP. Apalagi saat ini Presiden secara terang-terangan memihak. "Ini juga berpengaruh pada sikap tidak netralnya aparat penegak hukum, dan ini bisa merusak pemilu dan demokrasi kita," katanya.

Pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti sependapat dengan Arif. Dia menilai pelaporan terhadap Butet tidak pada tempatnya. Pasalnya, menurut dia, pantun yang dibawakan Butet merupakan bentuk ekspresi seni. "Sudah pastilah, ya (jadi alat). Seharusnya ruang kesenian diberi kebebasan, jangan karena dia mengkritik presiden langsung dilaporkan," kata Ikrar.

Todung Mulya Lubis in Jakarta, Januari 10. TEMPO/Febri Angga Palguna

Deputi Bidang Hukum dan Advokasi Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, pun mengkritik upaya kriminalisasi seperti yang dialami Butet cs. Pasalnya, menurut dia, kebebasan berpendapat adalah hak setiap warga negara dan dilindungi undang-undang. 

Menurut Todung, penyampaian kritik dan perbedaan pendapat tak sepatutnya dilaporkan ke kepolisian. Dia menilai kriminalisasi seperti itu dapat membunuh proses demokrasi, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berpendapat.

Meskipun demikian, Todung tidak juga mengamini bahwa penghinaan dan pencemaran nama berkedok kritik boleh dilakukan. "Saya tidak mengatakan bahwa pencemaran dan penghinaan itu tidak bisa dilakukan, (boleh) tapi seret ke pengadilan, gugat secara perdata. Ini yang dilakukan di banyak negara," katanya. Di Indonesia, pencemaran nama dan penghinaan bisa diajukan ke jalur perdata. Hal itu diatur dalam Pasal 1372-1380 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 

Dengan banyaknya kasus kriminalisasi yang terjadi saat ini, Todung khawatir akan ada banyak sekali pelanggaran etika dan hukum pada Pemilu 2024. "Ini catatan saya, ini pemilu yang penuh ranjau," ujarnya.

ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | NOVALI PANJI NUGROHO | PRIBADI WICAKSONO

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957. Memulai karier jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menulis untuk desk hukum dan kriminal

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus