Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mary Jane Veloso, terpidana mati atas kasus narkoba, akhirnya tiba di Filipina, pada 18 Desember 2024. Ia diekstradisi dari Indonesia usai Presiden Prabowo Subianto bertemu Presiden Ferdinand Marcos Jr. beberapa pekan lalu. Ia tiba di Filipina setelah bertahun-tahun negosiasi antara Indonesia dan Filipina.
Mary Jane merupakan asisten rumah tangga (ART) dan ibu dua anak yang ditangkap karena membawa 2,6 kg (5,73 pon) heroin yang disembunyikan di sebuah koper. Adapun, kronologi kasus yang menjerat Mary sebagai berikut.
Penangkapan di Yogyakarta
Pada 1 Januari 2010, Mary kembali ke Filipina, setelah bekerja selama 10 bulan sebagai ART di Dubai yang tidak diselesaikan kontraknya selama dua tahun. Ia kembali lebih awal ke Filipina karena majikan berusaha memperkosanya.
Lalu, pada 18 April 2010, teman Mary, Maria Kristina "Tintin" Sergio dari Talavera, Nueva Ecija menawarinya pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga di Malaysia. Saat tiba di Malaysia, Sergio memberi tahu Mary bahwa pekerjaan itu sudah tidak ada lagi. Setelah beberapa hari, Sergio mengirim Mary ke Indonesia untuk liburan selama 7 hari dan akan kembali lagi ke Malaysia untuk bekerja.
Pada 25 April 2010, saat tiba di Bandara Internasional Adisutjipto di Yogyakarta, Mary ditangkap oleh otoritas Bea Cukai karena dugaan membawa 2,6 kilogram heroin. Awalnya, Mary tidak memberitahu keluarganya bahwa ia ditangkap di Indonesia. Ia memberitahu keluarganya sudah tiba di Malaysia melalui mertuanya. Namun pada Mei, Mary akhirnya memberitahu keluarga bahwa ia mendekam di penjara.
Pada 13 Mei 2010, Sergio meminta keluarga Mary untuk tetap diam atau mereka akan berada dalam bahaya karena Mary bagian dari sindikat narkoba internasional. Meskipun mendapatkan ancaman, pada 1 Agustus 2010, keluarga Mary mencari bantuan dari pemerintah Filipina.
Hukuman Mati
Pada 11 Oktober 2010, Pengadilan Negeri Sleman Yogyakarta menjatuhkan hukuman mati kepada Mary. Lalu, pada 21 Oktober 2010, Kedutaan Besar Filipina di Jakarta dilaporkan mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Kedutaan Besar Filipina juga merekomendasikan merekrut pengacara swasta untuk mendampingi Mary dalam banding. Kemudian, pada 10 Februari 2011, Pengadilan Banding Yogyakarta menguatkan hukuman mati bagi Mary. Setelah itu, pengacara Mary dan Kedutaan Besar Filipina sudah mengajukan banding atas kasus Mary ke MA, tetapi hukuman mati dikuatkan melalui putusan 31 Mei 2011.
Intervensi Presiden Aquino
Pada 23 Agustus 2011, presiden Filipina saat itu, Benigno Aquino III, meminta grasi kepada Presiden SBY. Duta Besar Maria Rosario Aguinaldo juga meneruskan Surat Pengampunan Aquino kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia. Akibatnya, eksekusi Mary ditunda pada 12 Oktober 2012.
Grasi Ditolak Jokowi
Permintaan grasi Mary ditolak oleh Presiden Jokowi pada 30 Desember 2014 dalam Keputusan Presiden 31/G-2014. Namun, pada 28 Januari 2015, Menteri Luar Negeri Filipina, Albert del Rosario, secara pribadi menyampaikan surat kepada mitranya dari Indonesia untuk memberikan tindakan hukum yang sewajarnya terhadap permohonan Peninjauan Kembali (PK) kasus Mary. Namun, upaya tersebut tak berhasil sehingga pada 25 Maret 2015, MA menolak permohonan PK.
Dipindahkan ke Nusa Kambangan
Pada 24 April 2015, Mary dipindahkan ke Nusa Kambangan. Aquino kembali melobi Jokowi dalam pertemuan singkat selama lima menit di konferensi ASEAN di Malaysia. Sementara itu, Sergio menyerahkan diri kepada pihak berwenang Filipina dan didakwa perekrutan ilegal, perdagangan manusia. Akibatnya, pada 29 April 2015, eksekusi Mary ditunda. Setelah itu, Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, memberi pemerintah Indonesia lampu hijau untuk mengeksekusi Mary, pada September 2016.
Pada 10 Januari 2018, Mary meminta bantuan Duterte agar diizinkan bersaksi melawan orang yang menurutnya menipunya untuk membawa narkoba ilegal ke Indonesia. Dua tahun kemudian, Pengadilan Nueva Ecija menjatuhkan hukuman kepada tersangka pedagang manusia Mary atas perekrutan ilegal skala besar dalam kasus terpisah.
Intervensi Marcos
Pada 31 Agustus 2022, Ferdinand Marcos akan membahas kasus Mary dalam kunjungan kenegaraannya ke Indonesia. Dua tahun kemudian, Marcos menerima komitmen dari Jokowi bahwa kasus Mary akan diperiksa ulang, menurut Kantor Komunikasi Kepresidenan Filipina. Lalu, dalam pernyataannya, pada 20 November 2024, Marcos mengatakan, Manila dan Jakarta mencapai kesepakatan untuk lakukan transfer of prisoner Mary ke Filipina.
Pemulangan ke Filipina
Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Imigrasi dan Pemasyarakatan Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, I Nyoman Gede Surya Mataram, mewakili penyerahan terpidana mati Mary ke Filipina, pada Selasa malam, 17 Desember 2024. Mary diberangkatkan ke negaranya, pada Rabu, 18 Desember 2024, pukul 00.05 WIB. Penerbangan Mary dilaksanakan di Terminal 2F Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten menggunakan pesawat Cebu Pacific Airlines 5J760.
Sebelumnya, Mary Jane diberangkatkan dari Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) Pondok Bambu ke Bandara Soekarno-Hatta, pukul 19.17 WIB. iA mengenakan kaus warna hitam dan berangkat dikawal petugas menggunakan mobil van hitam.
Dewi Rina Cahyani dan Dani Aswara turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Imparsial: Kepulangan Mary Jane Cegah Dosa Besar Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini