Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK awal Januari lalu mengungkapkan sebanyak 430 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi. Dari jumlah tersebut, sepersepuluh di antaranya diciduk lantaran terlibat dugaan suap jual-beli jabatan. Bahkan, hingga pertengahan Agustus 2022, setidaknya ada delapan kasus korupsi baru lagi yang melibatkan kepala daerah. Termasuk kasus dugaan praktik suap lelang jabatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu, mengapa praktek jual beli jabatan ini menjadi ‘lumrah’ di lingkungan kepala daerah? Yang terbaru misalnya, Jumat, 12 Agustus 2022 lalu KPK menciduk Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo (MAW). Dia diduga melakukan praktik jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, usai dilantik menjadi bupati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut KPK, Mukti Agung diduga menerima uang hasil jual-beli jabatan tersebut hingga Rp 4 miliar. Uang tersebut diterima dari sejumlah Aparatur Sipil Negara atau ASN dan pihak lainnya yang ingin menduduki jabatan tinggi. “Bupati juga diduga menerima uang dari pihak swasta sekitar Rp 2,1 miliar,” Ketua KPK Firli Bahuri.
Mengutip Koran Tempo edisi 10 Januari 2022, Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK sudah mendorong agar pengisian jabatan di daerah agar berdasarkan merit alias kecakapan perorangan. Salah satunya dengan mewajibkan pemerintah daerah menetapkan manajemen Pegawai Negeri Sipil atau PNS yang mengikuti seleksi jabatan untuk menyetorkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara negara (LHKPN) ke KPK, serta aturan daerah untuk pengendalian gratifikasi.
Tak hanya di lingkungan pemerintah daerah, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, seleksi jabatan berbasis kecakapan sebenarnya wajib diterapkan di berbagai instansi pemerintah. Untuk jabatan tinggi di instansi, misalnya, harus ada proses lelang jabatan bertahap, dari seleksi administrasi hingga wawancara. Semua tahapan ini dilakukan oleh panitia seleksi yang independen. Namun, walau sudah diatur di dalam UU ASN, kata Ali Fikri, masih banyak celah yang dimanfaatkan kepala daerah untuk memalak peserta seleksi.
Menurut Ali Fikri, intervensi kepala daerah tersebut tetap bisa dilakukan kepada para panitia seleksi. Bahkan, andai intervensi gagal, kepala daerah masih bisa memalak lagi saat proses seleksi selesai. Sebab, panitia seleksi biasanya memilih tiga nama, kemudian dikirim ke Komisi Aparatur Sipil Negara untuk diberi rekomendasi. Ujung-ujungnya satu nama yang terpilih untuk menjabat kepala dinas tetap harus atas persetujuan kepala daerah. Di sinilah celah suap kembali terbuka.
Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, manajemen pegawai negeri berbasis merit ternyata masih menimbulkan kebocoran. Salah satu penyebabnya adalah unsur hierarki. Apalagi untuk kepala daerah yang sudah lama menjabat. Mereka memiliki jaringan yang memudahkannya untuk berbuat korupsi. “Semua pegawai di daerah itu tunduk pada atasannya dan atasan yang tertinggi adalah kepala daerah, sehingga sangat mudah diintervensi dalam proses ini,” kata Egi.
Selain itu, biaya politik yang mahal, kata Egi, menjadi salah faktor kepala daerah mencari pundi-pundi uang sebanyak- banyaknya. Saat menjabat, jualan kursi eselon bisa jadi alternatif untuk mengembalikan modal selama pemilihan kepala daerah. Adapun jabatan yang diperjualbelikan juga beragam, dari kepala dinas, kepala desa, kepala sekolah, hingga menempatkan seseorang sebagai tenaga kontrak di sebuah instansi.
Ketua Komisi ASN Agus Pramusinto mengatakan jual beli jabatan tidak hanya menguntungkan kepala daerah. Pegawai negeri yang menyuap juga mendapatkan keuntungan dari jabatan tersebut, meski harus mengeluarkan uang hingga ratusan juta rupiah, bahkan miliaran. Pegawai negeri saling sikut ingin mendapat jabatan karena merasa terhormat dan tunjangan yang tinggi. Jadi mereka tidak segan untuk membeli jabatan. Menurut Agus, meski sistem manajemen ASN di atas kertas sudah seharusnya menghasilkan pejabat yang berkualitas, pada kenyataannya sistem itu sulit diterapkan sepenuhnya. “Ini masalah integritas,” kata dia.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.