Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengajukan pendapat tertulis sebagai amicus curiae ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dalam kasus Septia, eks karyawan PT Hive Five milik Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF. Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfthan mengatakan, proses persidangan ini tidak semestinya terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak proses penyidikan hingga persidangan, LBH Jakarta melihat ada serangkaian kesalahan penerapan delik. "Septia telah menjadi korban kriminalisasi terhadap ekspresi pribadi yang sebenarnya disampaikan secara sah di ranah digital," kata Fadhil melalui keterangan tertulis pada Selasa, 17 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menjelaskan, pernyataan Septia dalam akun Twitter pribadinya atau sekarang X, bukanlah pendapat dan ekspresi yang dilarang di dalam ketentuan pembatasan hak asasi manusia (HAM). Pernyataan tersebut, kara dia, justru dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum HAM, baik nasional maupun internasional.
Menurut Fadhil, konstruksi dakwaan penuntut umum dalam perkara ini mengandung kekeliruan yang fatal. "Khususnya mengenai penerapan delik penghinaan atau pencemaran nama baik dan/atau fitnah, yang seharusnya menempatkan individu atau orang perseorangan sebagai korban dari delik tersebut," tuturnya.
Dalam berbagai ketentuan maupun doktrin, kata Fadhil, korban dari delik penghinaan atau pencemaran nama baik dan/atau fitnah haruslah orang perseorangan dengan identitas spesifik, bukanlah institusi, korporasi, profesi, atau jabatan. Oleh karena itu, delik-delik tersebut tak dapat didakwakan terhadap Septia, karena penuntut umum menempatkan pihak yang menjadi korban Jhon LBF dalam kedudukannya sebagai Komisaris PT Hive Five.
Fadhil melanjutkan, pernyataan Septia di akun Twitter pribadinya dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi yang dia alami sebagai buruh perempuan korban pelanggaran hak normatif. Pernyataan tersebut tak lain merupakan wujud pembelaan diri dan kepentingan umum dari praktik korporasi yang melanggar hak buruh.
Oleh karena itu, berdasarkan berbagai ketentuan dan doktrin, Septia tak dapat dipidana. "Terlebih, dalam pernyataannya, tidak terdapat pula kesengajaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan," kata Fadhil.
LBH Jakarta juga menyoroti relasi kuasa yang timpang antara Septia dengan Jhon LBF. Apalagi, Jhon LBF merupakan figur publik yang secara umum status sosial-ekonominya dapat dikatakan lebih tinggi ketimbang Septia.
Untuk mengikis relasi kuasa dan demi proses peradilan yang adil, Fadhil menyatakan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo wajib menjalankan proses persidangan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2017. Perma tersebut merupakan pedoman yang mengatur cara mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum.
"Maka kami meminta agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menjatuhkan putusan bebas untuk Septia," ujar Fadhil.
Putusna bebas, kata dia, bertujuan untuk menghindari proses peradilan yang sesat atau miscarriage of justice. Selain itu, juga untuk menegaskan kembali posisi lembaga peradilan sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan.
Sebagaimana diketahui, sejak 2023 lalu Septia dilaporkan oleh Jhon LBF, mantan atasannya ke Polda Metro Jaya. Pelaporan ini didasarkan karena Septia menyampaikan fakta mengenai kondisi kerja yang buruk dan berbagai pelanggaran hak normatif yang dialaminya selama bekerja di PT Hive Five.
Dalam sidang agenda tuntutan pada 11 Desember 2024, Septia dituntut hukuman 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp 50 juta, subsider 3 bulan kurungan. Septia dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.