Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DESA Lumbansoit, Tarutung, Sumatera Utara, masih diselimuti embun pada subuh itu. Tapi Sunggul Parulian remaja desa itu, sudah berteriak-teriak dengan beringas, "Ayah, di mana kau ? Keluarlah." Sang ayah, Jaudin Hutauruk, yang merasa tempat persembunyiannya sudah diketahui, segera menghambur dari sebuah kilang padi. Jaudin lari sekencang-kencangnya. Tapi dengan belati terhunus, Sunggul mengejarnya. "Daripada Ibu kau siksa terus lebih baik kau saya bunuh," teriak Sunggul. Sang ayah, yang sudah berusia 55 tahun, kalah cepat. Tak sampai semenit, Sunggul, 17 tahun, sudah mencapainya. "Penjajahan Belanda pun berakhir. Tapi penjajahan ayah terhadap ibu tak berujung," kata Sunggul. Lalu ia menyelipkan pisau ke pinggangnya, dan meraih sepotong kayu yang tergeletak di situ. Dengan balok itu Sunggul menghantam tubuh ayahnya berkali-kali. Jaudin meraung, "Ampun, ampun." Penghuni desa itu memang terbangun dari tidurnya karena ribut-ribut itu. Tapi, cuma Pijor Hutauruk yang menyaksikan pembantaian di halaman rumahnya itu. Dia mengintip dari celah jendela, dan kaget. Ia pun membuka daun jendela, sambil membentak Sunggul, "Apa yang kau lakukan kepada ayahmu? Hentikan. " Sunggul, pelajar kelas I di STM itu, tak peduli. Ia membuang kayunya, lalu mencabut belati. Dengan muka merah Sunggul menghunjamkan belati itu ke tubuh ayahnya. Jaudin rebah bersimbah darah. Ia tewas di tempat itu, dengan 8 liang menganga di tubuhnya. Setelah membantai ayahnya, Rabu dua pekan lalu, Sunggul kabur dari kampungnya. "Inilah klimaks pertengkaran orangtua Sunggul," kata Mayor Arifin Zain, Wakil Kapolres Tapanuli Utara. Motif pembunuhan itu, kata Zain, tidak jauh dari rasa yang tersimpan lama dari Sunggul kepada ayahnya. Theresia boru Simanungkalit, istri Mendiang, mengakuinya. "Selama 25 tahun kami menikah, pertengkaran tak pernah berhenti," kata Theresia. Jaudin, katanya, sering menuduhnya tak tahu melayani suami hanya karena ia sering membiarkan Jaudin makan sendirian. "Tapi kalau saya marah sedikit, ia memukul, bahkan menendang saya," kata Theresia, yang mengaku sangat mencintai Jaudin. Ketika anak pertama mereka, Kennedy, baru berusia 1 tahun, katanya, ia terpaksa berpisah. Jaudin memulangkan bininya itu ke rumah mertuanya. Tapi perpisahan itu tak sampai setahun. Kerabat kedua pihak merujukkan mereka kembali. Setelah itu lahirlah adik Kennedy, Sunggul Parulian, yang artinya "Ingat Kebahagiaan". Nama itu diusulkan para famili agar mereka menghentikan pertengkaran bila melihat si Sunggul. Ternyata, cekcok tetap berkobar. Juga di hadapan si kecil Sunggul. Sebab itu, Sunggul tumbuh sebagai anak yang pendiam dan pemurung. Padahal, di sekolah ia dikenal sebagai murid yang cerdas dan tak pernah absen, kendati sering memaksakan pendapatnya kepada teman sekelasnya. "Dia memang contoh seorang anak yang broken home," kata R. Sipayung, wali kelas Sunggul. Begitulah empat hari menjelang terbunuh, Jaudin berkelahi lagi dengan istrinya. Para tetangga, yang mencoba melerai, tak diperdulikan mereka. Sampai akhirnya Sunggul datang dan menghunus belati hendak menusuk ayahnya. Untung, orang desa menangkap Sunggul. Setelah itu, Sunggul pergi ke rumah kakaknya, Kennedy, yang sudah berumah tangga di Desa Pagar Batu, 12 km dari Desa Lumbansoit. Berdasarkan usul Sunggul, Kennedy membawa ibunya ke rumahnya agar si ibu tidak diusik Jaudin lagi. Rupanya, Sunggul punya rencana lain. Ia kembali ke desanya. Menurut Pinjor, dua hari menjelang peristiwa itu, Sunggul tampak beringas. Karena itu, tetangga meminta Jaudin tidur di kilang padi tadi. Tapi di subuh itu Sunggul tahu tempat persembunyian ayahnya. Dan Jaudin pun terbantai ditangan anak kandungnya. Kini tinggallah Theresia meratapi kesedihannya. Selain karena kehilangan suami, ia juga membayangkan suatu ketika Sunggul bakal ditangkap polisi, dan dihukum. "Habislah masa depannya. Padahal, cuma dia anak saya yang bersekolah," kata Theresia, ibu empat anak itu. Bagi Kirian Pangaribuan, Kepala STM Negeri Pansur Napitu, tindakan nekat Sunggul, muridnya yang disenangi para guru itu, mengandung pelajaran bagi keluarga-keluarga lain. "Janganlah pertengkaran suami istri diketahui anak-anaknya. Akibatnya buruk bagi perkembangan jiwa si anak," katanya. Monaris Simangunsong dan Makmun Al Mujahid (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo