SEMENTARA nyonya Ali Murtopo menangis gembira menyambut
puteranya Harris yang dibebaskan oleh pengadilan seorang nyonya
lain menitikkan air mata. Ia adalah nyonya Hamsil Rusli, ibu
kandung almarhum Rudy Chaidir yang meninggal dalam peristiwa
berdarah di Jalan Batu, Jakarta, 29 Juli lalu. "Saya kaget
sekali," tutur nyonya Rusli begitu mendengar tersangka penembak
anaknya dibebaskan dari segala tuntutan hukum oleh hakim David
Olii SH.
Puas tak puas, "tapi apa yang dapat kami lakukan jika jaksa
telah menerima putusan hakim begitu?" keluh isteri Kolonel H.
Rusli ini. Keluarga korban, dalam proses peradilan pidana,
memang tak lebih dari pihak luar yang tak memperoleh kesempatan
bicara.
Harris bin Ali Murtopo, 18 tahun, memang terbukti berbuat
seperti tuduhan jaksa: menggunakan senjata api milik orang lain
tanpa hak, menembakkannya, sehingga Rudy Chaidir, 21, tewas.
Naunun hakim menilai, seperti pembelaan advokat Albert Hasibuan
SH: segala perbuatan Harris, mulai dari mengambil pistol sampai
dengan menembakkannya, merupakan rangkaian kegiatan membela diri
dari serangan Rudy dkk, oleh karena itu menurut hukum, perbuatan
semacam itu (seperti pada umumnya membela keselamatan diri,
harta benda dan kehormatan -- KUHP fasal 49,) tak dapat dihukum.
Betapa tidak. Siang itu, 29 Juli, di dekat sekolahnya SMA IV
Jalan Batu Harris diserang oieh Rudy cs. Soalnya sepele. Sopir
Encum dihantam oleh sekelompok pemuda bermobil tanda 234 SC
(Siliwangi Club -- kelompok anak muda Jalan Siliwangi). Encum
dipersalahkan telah mendorong mobil mereka. Harris yang hendak
melerai diserang. Ia bilang dikeroyok sekitar 5 - 8 orang.
Kesaksian lain ada yang menyatakan: perkelahian siang itu satu
lawan satu. Pokoknya pipi, belakang kepala dan kuping Harris
cidera. Malah, oleh pemeriksaan dokter, Harris dinyatakan sampai
gegar otak. Entah oleh serangan macam apa. Sebab suasana Jalan
Bau waktu itu memang kusut: mulai dari pecahan botol sampai
drum aspal ikut bicara.
Kemudian Harris, begitu katahakim, memang mengambil sepucuk
pistol 22 LR dari mobilnya. Senjata api itu, katanya, milik
sopir ncum.Tembakan peringatan, dengan laras ke atas, sudah
dicoba Harris untuk melerai pertempuran. Tapi sia-sia. Malah
sepasang tangan menelikungnya dari belakang. Juga sebuah botol
mengancamnya juga. Rasanya tak ada juan lain, begitu kata
hakim, untuk membela diri melalui celah di bawah ketiak Harris
menembak ke belakang. Dan Rudy kena. Ia tewas sebelum sampai di
rumah sakit.
Fikir-Fikir Dulu
Apalagi kalau bukan bela diri? Itulah sebabnya jaksa Sri I
lusodo SH menuntut bebas atas tuduhannya sendiri: Harris memang
menghilangkan nyawa orang lain, tapi itu dilakukannya dalam
keadaan yang sangat mendesak untuk menyelamatkan diri. Hanya
untuk perbuatan mengambil dan menggunakan senjata api yang bukan
haknya, jaksa menuntut hukuman setahun penjara dengan masa
percobaan dua tahun. Pun, tuntutan yang enteng itu, oleh hakim,
masih dianggap tak tepat. Harris, menurut penilaian hakim, harus
bebas! (TEMPO, 3 Desember).
Segera setelah pengadilan bubar, 26 Nopember lalu, jaksa
langsung meneken pernyataan menerima putusan hakim. Itu
dilakukannya di hadapan hakim dan panitera di sebuah ruangan di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hanya kepada wartawan, yang
sengaja menunggu sikap jaksa, Sri Husodo tidak terus terang.
Dia menyatakan belum menerima atau menolak putusan. Dan cuma
bilang: "Fikir-fikir dulu, deh!"
Belakangan umum baru tahu. Lewat penjelasan panitera diketahui:
jaksa sudah meneken pernyataan menerima putusan hakim. Tapi
kemudian jaksa ini telah minta kesempatan agar diperkenankan
merubah putusan yang pernah diambilnya. Sri Husodo hendak naik
banding. Tak begitu jelas, apakah sikapnya yang baru itu
berhubungan dengan protesumum: putusan hakim begitu tak adil?
Panitera menolak permintaan jaksa tersebut.
Memang tak ada peraturan yang membolehkan jaksa main ralat apa
yang pernah diputuskannya. Dengan ditekennya kertas vonis, yang
berarti menerima putusan hakim, maka keputusan pengadilan telah
mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Sebab Harris yang
dinyatakaul bebas juga tak menyatakan menolak atau naik banding.
Dan "suatu keputusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang
pasti, tak dapat dicabut kembali," komentar Padmo Wahyono SH,
Dekan Fak. Hukum UI, membenarkan sikap panitera."
Tak Serius
Jaksa tampaknya masih berusaha merubah sikapnya - dari menerima
jadi menolak putusan hakim. Kejaksaan Tinggi, setelah
permintaannya ditolak oleh pengadilan, sudah minta keadilan ke
Mahkamah Agung. Hasilnya, belum diketahui. Hanya sikap jaksa
yang demikian itu, setidaknya menurut keluarga korban, adalah
serangkaian sikap menganggap enteng perkara yang digarapnya.
"Jaksa tak kelihatan serius dari permulaan," ujar nyonya Rusli
yang sering hadir dalam sidang Harris. Maksudnya jika
diperhatikan, dalam memeriksa perkara yang menyangkut hilangnya
nyawa Rudy, "jaksa malah senyum dan tertawa-tawa," kata ibu
Rudy. Kesan keluarga korban itu, agaknya memang beralasam Itu
akhirnya tergambar juga dalam tuntutan jaksa yang dianggap
enteng dan kontan menerima putusan yang membebaskan terdakwa.
Seorang ahli hukum juga ada yang menilai demikian. Faktanya:
"Coba, apakah pistol yang dipakai menembak korban telah diusut
sebagaimana mestinya? Kenapa jadi musnah begitu saja tanpa hadir
sebagai alat bukti?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini