Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tim pembela, sekedar bertanya

Sidang pengadilan perkara sawito mengajukan saksi mayjen ishak djuarsa yang memprakarsai pelimpahan kekuasaan negara dari presiden suharto kepada bung hatta dan pembela yap tiam hien.

17 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERDAKWA Sawito masih duduk di pengadilan. Pada sidang yang terakhir, Senin 5 Desember, ia membuka dan menutup keterangannya kepada pengadilan dengan sebuah permintaan: "Maaf pak Hakim, saya minta agar makan saya di tahanan terjamin." Dia bilang surat permintaannya sudah dikirimkan. Tapi hakim Soemadijono bilang, "belum menerima." Sawito, katanya, menerima uang makan sehari Rp 500. Itu sudah dihentikan -- barangkali maksudnya, dikurangi. Selanjutnya seperti sudah disangka. Terdakwa ini 'melemparkan' sebagian tanggungjawabnya kepada orang lain. Seperti kepada bekas wakil presiden Bung Hatta. Kepada saksi Mr Iskaq, terdakwa bertanya: "Ingatkah pak Iskaq akan kesediaan Bung Hatta menyelamatkan negara?" Saksi membenarkan. "Benarkah Mayjen Ishak Djuarsa memprakarsai pelimpahan kekuasaan negara dari Presiden Suharto kepada Bung Hatta - dan usul itu diterima oleh Bung Hatta sendiri? "Benar,'i kata Ishaq,"tapi itu kehendak kita semua, kelompok, bukan hanya Ishak Djuarsa sendiri." Jenderal Ishak Djuarsa juga pernah bicara soal korupsi dan penyimpangan-penyimpangan di negara kita? "Seperti kita ketahui bersama," jawab Ishaq sekali lagi. Dan Bung Hatta juga pernah menyatakan: penyimpangan itu sudah sampai membahayakan negara? Ishaq: "Betul !" Bahwa Bung Hatta yang memeriksa dan mengoreksi konsep Surat Pelimpahan Kekuasaan itu, katanya, diketahui Ishak dari Mr. Sudjono. Koreksi Bung Hatta, menurut Sawito, "agar Surat Pelimpahan itu dilengkapi dengan ketetapan MPR yang tegas menyebutkan: pelimpahan kekuasaan dari Suharto kepada Hatta dilakukan dengan sukarela, jiwa besar dan ksatria." Ishaq tak mengiyakan atau mengingkari pernah mendengar Bung Hatta bilang begitu. Ia hanya masih ingat, Bung Hatta memang mengoreksi naskah Surat Pelimpahan. Model Supersemar Surat Pelimpahan memang konsep Ishaq: namanya masih Surat Perintah. Ia sendiri tak tahu siapa yang merubahnya kemudian jadi Surat Pelimpahan. Ide dari dokumen itu, menurut saksi ini, sama dengan model SP 11 Maret alias supersemar: "Presidennya tetap, hanya kekuasaannya yang dilimpahkan kepada Bung Hatta." Hakim mendesak: jadi ada dua presiden? "Tidak,". jawab Ishaq. Dan Mr Yap (pembela) pun protes: "Jangan mendesak, saksi sudah bilang tak ada dua presiden!" Lalu Yap mencoba membuat pelbagai pertanyaan yang kira-kira hendak menjelaskan konsep Surat Pelimpahan. Ia bertanya beruntun kepada saksi: Bagaimana model penyerahan kekuasaan dari almarhum ung Karno kepada Jenderal Suharto bulan Maret 1966? Ingatkah: karena keadaan negara waktu itu tak teratasi? Setelah kekuasaan dilimpahkan, apakah Bung Karno tetap sebagai presiden? Bukankah pelimpahan itu kemudian diambil alih oleh MPR dengan ketetapan? Sesuaikah hal itu dengan undang-undang dasar? Konstitusionil? Sayangnya pertanyaan Yap itu oleh Hakim Ketua dianggap tak perlu dijawab oleh saksi Ishaq. "Tidak relevan," kata Soemadijono. Tapi Yap, agaknya memang menyadari bahwa pertanyaannya itu tak perlu dijawab oleh siapapun - asal sudah dilemparkannya saja. Ia tak bosan menyambung terus pertanyaannya: Apakah keadaan sudah tak teratasi? Bolehkah warganegara, menurut UUD, mengajukan pendapatnya tentang keadaan negara? Apakah ada hak warganegara untuk mengappeal pemerintah agar merubah keadaan negara? Kalau tak melakukan itu, apakah ia bukan patriot? Tidak menjerumuskan negara? Yah, akhirnya Yap memprotes pengadilan. Ia dan tim pembela, merasa tak diberi kesempatan bertanya seluas seperti yang diperoleh jaksa. Tidak saja hampir semua pertanyaannya dianggap tak sesuai dengan pokok perkara. Juga waktu yang diberikan kadang-kadang terasa sempit. Contoh: pada sidang sebelumnya, setelah hakim memeriksa saksi, jaksa diberi giliran. Selesai kesempatan kepada jaksa sidang pun ditutup -- sudah siang. Minggu berikutnya, pada sidang lanjutan, kembali hakim memeriksa saksi. Lalu jaksa. Baru kemudian sisa waktu diberikan kepada tim pembela.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus