TERDAKWA Sawito masih duduk di pengadilan. Pada sidang yang
terakhir, Senin 5 Desember, ia membuka dan menutup keterangannya
kepada pengadilan dengan sebuah permintaan: "Maaf pak Hakim,
saya minta agar makan saya di tahanan terjamin." Dia bilang
surat permintaannya sudah dikirimkan. Tapi hakim Soemadijono
bilang, "belum menerima." Sawito, katanya, menerima uang makan
sehari Rp 500. Itu sudah dihentikan -- barangkali maksudnya,
dikurangi.
Selanjutnya seperti sudah disangka. Terdakwa ini 'melemparkan'
sebagian tanggungjawabnya kepada orang lain. Seperti kepada
bekas wakil presiden Bung Hatta. Kepada saksi Mr Iskaq, terdakwa
bertanya: "Ingatkah pak Iskaq akan kesediaan Bung Hatta
menyelamatkan negara?" Saksi membenarkan. "Benarkah Mayjen Ishak
Djuarsa memprakarsai pelimpahan kekuasaan negara dari Presiden
Suharto kepada Bung Hatta - dan usul itu diterima oleh Bung
Hatta sendiri? "Benar,'i kata Ishaq,"tapi itu kehendak kita
semua, kelompok, bukan hanya Ishak Djuarsa sendiri." Jenderal
Ishak Djuarsa juga pernah bicara soal korupsi dan
penyimpangan-penyimpangan di negara kita? "Seperti kita ketahui
bersama," jawab Ishaq sekali lagi. Dan Bung Hatta juga pernah
menyatakan: penyimpangan itu sudah sampai membahayakan negara?
Ishaq: "Betul !"
Bahwa Bung Hatta yang memeriksa dan mengoreksi konsep Surat
Pelimpahan Kekuasaan itu, katanya, diketahui Ishak dari Mr.
Sudjono. Koreksi Bung Hatta, menurut Sawito, "agar Surat
Pelimpahan itu dilengkapi dengan ketetapan MPR yang tegas
menyebutkan: pelimpahan kekuasaan dari Suharto kepada Hatta
dilakukan dengan sukarela, jiwa besar dan ksatria." Ishaq tak
mengiyakan atau mengingkari pernah mendengar Bung Hatta bilang
begitu. Ia hanya masih ingat, Bung Hatta memang mengoreksi
naskah Surat Pelimpahan.
Model Supersemar
Surat Pelimpahan memang konsep Ishaq: namanya masih Surat
Perintah. Ia sendiri tak tahu siapa yang merubahnya kemudian
jadi Surat Pelimpahan. Ide dari dokumen itu, menurut saksi ini,
sama dengan model SP 11 Maret alias supersemar: "Presidennya
tetap, hanya kekuasaannya yang dilimpahkan kepada Bung Hatta."
Hakim mendesak: jadi ada dua presiden? "Tidak,". jawab Ishaq.
Dan Mr Yap (pembela) pun protes: "Jangan mendesak, saksi sudah
bilang tak ada dua presiden!"
Lalu Yap mencoba membuat pelbagai pertanyaan yang kira-kira
hendak menjelaskan konsep Surat Pelimpahan. Ia bertanya beruntun
kepada saksi: Bagaimana model penyerahan kekuasaan dari almarhum
ung Karno kepada Jenderal Suharto bulan Maret 1966? Ingatkah:
karena keadaan negara waktu itu tak teratasi? Setelah kekuasaan
dilimpahkan, apakah Bung Karno tetap sebagai presiden? Bukankah
pelimpahan itu kemudian diambil alih oleh MPR dengan ketetapan?
Sesuaikah hal itu dengan undang-undang dasar? Konstitusionil?
Sayangnya pertanyaan Yap itu oleh Hakim Ketua dianggap tak perlu
dijawab oleh saksi Ishaq. "Tidak relevan," kata Soemadijono.
Tapi Yap, agaknya memang menyadari bahwa pertanyaannya itu tak
perlu dijawab oleh siapapun - asal sudah dilemparkannya saja. Ia
tak bosan menyambung terus pertanyaannya: Apakah keadaan sudah
tak teratasi? Bolehkah warganegara, menurut UUD, mengajukan
pendapatnya tentang keadaan negara? Apakah ada hak warganegara
untuk mengappeal pemerintah agar merubah keadaan negara? Kalau
tak melakukan itu, apakah ia bukan patriot? Tidak menjerumuskan
negara?
Yah, akhirnya Yap memprotes pengadilan. Ia dan tim pembela,
merasa tak diberi kesempatan bertanya seluas seperti yang
diperoleh jaksa. Tidak saja hampir semua pertanyaannya dianggap
tak sesuai dengan pokok perkara. Juga waktu yang diberikan
kadang-kadang terasa sempit. Contoh: pada sidang sebelumnya,
setelah hakim memeriksa saksi, jaksa diberi giliran. Selesai
kesempatan kepada jaksa sidang pun ditutup -- sudah siang.
Minggu berikutnya, pada sidang lanjutan, kembali hakim memeriksa
saksi. Lalu jaksa. Baru kemudian sisa waktu diberikan kepada tim
pembela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini