Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mereka Ngamuk Di Aek Netek

Para transmigran di aek netek mengamuk. Mulanya di sebabkan ulah petugas keamanan yang mabuk. Ada kabar, tindakan para transmigran itu karena kecewa ditempat yang baru, plus tindakan petugas yang buruk. (krim)

24 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI rumah Siswanto pertengahan bulan Desember yang lalu sedang ada latihan main ketoprak. Latihan setelah lepas senja itu sering diadakan untuk melepas rasa kesal akibat janji muluk-muluk sebelum mereka meninggalkan pulau Jawa menuju tempat baru di Proyek Transmigrasi Aek Netek. Tapi kali ini, belum selesai permainan ketoprak itu telah terdengar tangisan anak Siswanto. Adapun biangnya adalah dua petugas keamanan yaitu Jawantas Sihombing dan Nurhasan Hardi. Pukulan Jawantas yang waktu itu sedang mabuk mengenai anak Siswanto yang sedang nonton ketoprak. Tentu Siswanto segera turun dari rumahnya guna mencari sebab. Ia hanya bisa memprotes tindakan Jawantas tetapi protes inipun hanya menambah petugas itu naik pitam. "Berani kowe melawan, ya", begitu mulut Jawantas berbunyi. Tidak cuma sampai di situ. Selain mulut juga kaki dan tangan Jawantas ikut bergerak dengan sasaran Siswanto. Transmigran ini sampai terguling masuk parit dan beberapa saat tidak siuman. Sehabis mengamuk kedua petugas meninggalkan korbannya begitu saja. Terang perlakuan petugas ini tidak bisa diterima oleh para transmigran. Mereka mengambil tindakan. Tapi sayang, sifatnya main hakim sendiri. Teman-teman sesama transmigran dikumpulkan dan bahkan ada yang memukul kentongan. Sempat terkumpul 25 orang dengan senjata di tangan berupa parang, linggis dan kayu. Yang diserbu kantor proyek transmigrasi Aek Netek. Di sana cuma ada 7 orang yang terpaksa hanya bisa lari pontang-panting atau naik ke bubungan rumah. Rupanya sasaran transmigran yang sedang mengamuk ini tepat. Mereka berhasil menangkap Jawantas dan Nurhasan. Bisa ditebak apa yang mereka lakukan terhadap petugas ini. Keduanya dipukuli sampai babak belur. Dan penyiksaan itu belum berhenti sebelum petugas itu pingsan. Kantor proyek pun kemudian dijadikan sasaran pelampiasan amarah. Polisi baru berhasil membubarkan mereka setelah korban cukup parah. Bupati Menurut pembantu TEMPO Amran Nasution kerusuhan itu tidak berdiri sendiri. Itu hanya sekedar ekses pelampiasan kekesalan para transmigran. Sebab sawah dan ladang mereka tidak bisa menghasilkan padi lantaran tanahnya tidak mungkin ditanami. "Tanam padi nggak tumbuh, catu sudah diputus dan petugas di sini kejam-kejam", kata Kusen, transmigran dari Yogya. Akibat buruknya tanah jatah mereka, sebelumnya ada 33 kepala keluarga yang melarikan diri dari proyek Aek Netek itu (TEMPO 15 Nopember 75). Yang masih mau tinggal di proyek itu sebetulnya -- semata-mata karena masih dapat menahan kesal hati. Selain tanah yang tidak subur juga tindakan sejumlah petugas yang kurang senonoh. Sumini, wanita 24 tahun, konon sering diganggu petugas. Suaminya Hadisono 30, merasa beruntung bahwa "isteri saya beriman teguh sehingga kemauan mereka itu tidak dilayaninya, bahkan hal itu diadukannya pada saya". Orang Kutoarjo ini keberatan menyebut nama petugas yang nakal karena katanya "nanti saya bisa lebih susah lagi". Hadisono sekarang masih ditahan polisi bersama Siswanto, Kuris Sumitro, Marju, Tukarjo, Wiryono dan Surono. Mayor Polisi Hasan Gunung, Wakil Komandan Resort 207 Kabupaten Labuhan Batu menyangkal bahwa keributan itu terjadi karena petugas transmigrasi suka mengganggu isteri-isteri transmigran. Berdasar pemeriksaan pendahuluan diketahui kerusuhan itu cuma bersumber soal mabuk-mabukan. Yang pandangannya sedikit lebih luas adalah Bupati Labuhan Batu Asrol Adam. Bupati ini mengatakan tahu betul jiwa transmigran asal Jawa Tengah yang "lembut, halus, perasa, sabar dan masih polos". Namun katanya lebih lanjut dengan nafas panjang, "kalau terus-terusan diguit kan tidak selamanya orang dapat sabar". Sang bupati menyambut baik usaha meneliti kembali keadaan tanah transmigrasi itu. Sebab mungkin saja penelitian yang dulu kurangbaik. Rasa simpati bupati kepada para transmigran tercetus pada harapannya agar masa putus catu ditangguhkan sampai tanah yang digarap mereka betul-betul sudah mendatangkan hasil. Sementara ini banyak transmigran yang terpaksa berkeliaran di daerah sekitarnya untuk menghidupi anak-isteri. Ada yang jadi penjaga kebun dan ada pula yang hanya jadi tukang batu. Keadaan diperkirakan masih hangat sehingga polisi masih tetap berjaga-jaga di kantor proyek. Dan sementara itu polisi juga masih memeriksa 18 orang yang terlibat dalam ribut-ribut itu. Tujuh orang lainnya masih tetap meringkuk dalam sel polisi. Mereka tinggal menunggu jatuhnya palu hakim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus