TAHUKAH anda ikat pinggang, sepatu, baju, celana, tas, dasi dan
berbagai barang bermerk Lanvin atau Pierre Cardin dengan harga
murah, hanya bisa dibeli di Indonesia? Ikat pinggang dengan
kepala berlambang PC atau L di negara asalnya, Prancis,
misalnya, berharga tak kurang dari Rp 25 ribu. Tapi di Pusat
Perdagangan Senen (Jakarta Pusat), bisa diperoleh hanya dengan
harga Rp 2 ribu.
Memang, tanpa membandingkan mutu -- dari harga saja sudah
ketahuan, Lanvin dan Cardin macam apa yang banyak dijajakan di
sini. Karena itu merasa tak membuat barang murahan, Jeanne
Lanvin dan Pierre Cardin yang berkantor pusat di Paris, memberi
kuasa kepada Kantor Pengacara Widjojo (Oei Tat Hway) dkk untuk
menertibkan penggunaan merknya oleh orang-orang yang tak berhak
di sini.
Menemukan siapa yang memalsu bikinan Lanvin atau Cardin memang
tak mudah. Tapi Widjojo akhirnya menemukan juga sasarannya:
Pemilik CV Makmur di Jalan Latumeten (Jakarta Kota),
Hardjawinata, adalah produsen ban pinggang Lanvin lokal -- lalu
digugat di pengadilan.
Perkara perdata telah diajukan Widjojo beberapa waktu yang lalu.
Sementara itu pengacara yang banyak mengurus persengketaan
mengenai merk tersebut, mengingatkan pedagang dan masyarakat:
"Akhir-akhir ini di pasaran terdapat ikat pinggang serta
gesper-gesper Lanvin imitasi."
Dipermaklumkan juga, Lanvin tidak mempunyai hubungan apa-apa dan
tidak pernah memberi hak kepada CV Makmur umuk membuat,
mengimpor, menjual atau memakai segala macam barang yang memakai
merknya. Lanvin sendiri, di sini berkedudukan di Pintu Besar
Utara 17 (Jakarta Kota), telah mendaftarkan merk dagangnya pada
Direktorat Paten dan Hak Cipta (Dept. Kehakiman). Misalnya, di
bawah nomor-nomor 120515 (didaftarkan 1975), 120809 (1975) dan
129668 (1974).
Tapi pengumuman Lanvin tersebut ternyata segera disanggah CV
Makmur. Kantor Pengacara Prof. Mr. Dr. S. Gautama
(Gouwgioksiong) kuasa Hardjawinata dari Makmur, mengumumkan
Lanvin adalah merk dan lambang dagang kliennya, yang telah
didaftarkan pada Direktorat Paten dan Hak Cipta, dengan nomor
pendaftaran 122201 (didaftarkan 1976).
Siapa pemilik merk dan lambang Lanvin -- Jeanne Lanvin dari
Prancis atau Hardjawinata di Jakarta -- pengadilanlah yang akan
menunjuk. Yang jelas, dengan diterimanya pendaftaran kedua pihak
oleh Direktorat Paten dan Hak Cipta, berarti ada lebih dari satu
perusahaan yang boleh mengaku berhak atas merk dan lambang
Lanvin. Itulah runyamnya.
Dan yang begitu itu, menurut Wisnu Wijaya dari Kantor Pengacara
Widjojo, tak hanya dialami oleh Lanvin. Direktorat Paten dan Hak
Cipta juga pernah menerima pendaftaran merk pakaian Levis dari
dua perusahaan. Bahkan katanya pula, instansi itu pernah pula
mengeluarkan dua nomor yang sama, 119637, untuk Elephant Brand
(PT Amien Steel Works) dan Macan Tutul (Percetakan Panca Lima).
Kecerobohan Sulit dielakkan. Tapi menurut seorang pejabat
Direktorat Paten dan Hak Cipta yang tak mau disebutkan namanya,
"tidak berarti selalu ada kesalahan di pihak kami." Memang
diakuinya, sepanjang tahun lalu direktorat tersebut menghadapi
13 tuntutan, dari lebih 7.500 merk yang diterima pendaftarannya.
Dalam lima perkara di antaranya instansi pemerintah tersebut
kalah. Artinya, "kami harus mencoret suatu merk dari daftar."
Keberatan terhadap pendaftaran suatu merk, menurut Undang-Undang
Paten (UU No. 21/1961), memang harus diajukan ke pengadilan.
Terhadap Direktorat Paten dan Hak Cipta, menurut pejabat tadi,
"memang banyak orang yang salah mengerti." Tugas instansi
tersebut seolah-olah dianggap sebagai lembaga yang mengesahkan
atau menetapkan merk dagang bagi pemiliknya. Padahal, begitu
katanya pula, "direktorat ini hanya merupakan kantor pencaut
merk belaka."
Jadi, siapa saja boleh mendaftarkan merk untuk jenis hasil
produksi apapun. Instansi pemerintah tadi akan menerima dan
memberi nomor pendaftaran bagi suatu merk sepanjang merk
tersebut tidak sama dengan merk lain yang telah terda ftar.
Direktorat akan menolak pendaftaran merk yang tak mempunyai
daya pembeda. Misalnya tulisan "besar", "kecil", "baus",
"istimewa", tidak dapat dipakai untuk merk barang. Angka, abjad
dan tanda-tanda lain yang sudah menjadi milik umum (seperti:
tanda bahaya, lambang negara, bendera dan lain-lain) juga tak
dapat didaftarkan sebagai merk.
Tapi pemilik merk, menurut undang-undang yang berlaku, belum
tentu pendaftar pertama. Sebab, begitu ditentukan, hak khusus
atas merk diberikan kepada si pemakai pertama di Indonesia.
Artinya, pengadilan dapat membatalkan pendaftar merk pertama,
berdasarkan permintaan pihak lain yang dapat membuktikan dirinya
sebagai pemakai merk yang pertama.
Bagi masyarakat, berbagai sengketa merk merupakan petunjuk
betapa kusutnya palsu-memalsu merk barang yang berebut pasar.
Merugikan konsumen? "Tidak selamanya," kata Permadi dari Lembaga
Konsumen. Bila ikat pinggang bukan merk Lanvin asli dijual cuma
Rp 2 ribu, katanya, "itu wajar, 'kan?" Sedangkan "orang
sekolahan, yang tahu mutu Lanvin, tentu tahu juga: Rp 2 ribu itu
bukan untuk merk asli," kata Permadi pula.
Yang dirugikan, tambah Permadi, adalah pengusaha "yang ingin
agar kesan konsumen terhadap merk dagangnya tetap tinggi."
Sedangkan ikat pinggang, tas atau baju bikinan lokal yang
dibubuhi merk dan lambang Lanvin atau Cardin, asal tidak
dihargai Rp 25 ribu atau Rp 40 ribu, "biar sajalah . . . "
Memang, meskipun undang-undang tak melarang, kata Permadi,
Direktorat Paten sebaiknya tidak asal menerima pendaftaran
merk-merk tiruan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini