Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Pukat Sumatra, Selamat Tinggal

Sesuai dengan keppres 39/80, mulai 1 jan 81 pukat harimau dilarang beroperasi di perairan sumatra, disambut. dengan pesta pora oleh nelayan tradisionil, sementara muncul pengangguran. (dh)

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGIN barat yang biasa bertiup kencang di akhir tahun, minggu lalu masih melanda Selat Malaka. Tapi para awak trawler Bagansiapi-api (Riau) dan sekitarnya masih berani melaut memburu kesempatan terakhir buat beroperasi. Mulai 1 Januari giliran pukat harimau di perairan Sumatra dilarang heroperasi, menyusul larangan serupa di perairan Jawa dan Bali sejak Oktober 1980 -- seperti dijadwalkan Keppres 39/80. Peraturan itu tentu tak enak, sebab 60% penduduk Bagansiapi-api yang 110.000 jiwa, mencari nafkah di laut. Seperti halnya di Jawa dan Bali, bayangan pengangguran mulai nampak di sana. "Sampai pekan lalu sudah 1.000 lebih anak buah kapal (ABK) mudik ke Jawa," kata Camat Bagansiapi-api, Darwis. Yang paling menyolok, adalah bangkrutnya industri galangan kapal kayu. Sebab sebagian besar trawler (yang semula disebut cungking) dibikin di Bagan. Sudah 40 dari 53 galangan kapal di Bagan gulung tikar. "Dulu sebulan rata-rata 70 pukat harimau dibuat di sini," kata dr. R. Ilutapea, Kepala RSU Bagansiapi-api yang sejak 1976 mendirikan galangan cukup besar, CV Tarsis. Ia juga ketua Asosiasi Usaha Pembuatan Kapal Kayu. Tapi yang terpaksa juga harus gigit jari ialah penduduk sekitar muara Sungai Rokan di pesisir timur Sumatra. Sekarang mereka tak lagi bisa menyetor kayu meranti atau kulim sebagai bahan pembuat tubuh kapal. Hampir 60% bahan baku trawler datang dari para penebang kayu hutan yang jumlahnya 1.000 kk itu. Sebelumnya mereka bisa berpenghasilan lebih dari Rp 120:000 sebulan. Pukulan Keppres dirasa juga menimpa 150 buah banglio yaitu tempat pembuatan ikan asin dan terasi di daerah ini. Selama ini 80% dari bahan baku untuk ikan asin dan terasi itu berasal dari si harimau. Tahun lalu tak kurang dari 47 ribu ton ikan asin dihasilkan banglio-banglio Bagan dan sekitarnya. Kalau banglio bangkrut, sekitar 3.000 tenaga kerja berpangku tangan. Belum lagi 1.600 ABK dan ratusan bekas tukang dan pekerja galangan yang kehilangan pekerjaan. Gambaran muram seperti itu, apa boleh buat, harus dihadapi oleh para taikong (juragan) pukat harimau. Menurut Kepala Dinas Perikanan Riau, Munif Kadir, dari 274 pukat harimau, di perairan provinsi ini, hanya 14 yang diubah menjadi kapal angkutan. Yang lain mengganti jaring pukatnya dengan gill net (pukat hanyut), jaring kantung atau jaring lingkar. Untuk mengubah konstruksi kapalatau mengganti pukat tersedia kredit Rp 3,8 milyar. Tapi para taikong di Bagansiapi-api, dengan trawler sebanyak 190 buah, masih termangu-mangu. Sebab menurut pengalaman mereka, pukat cincin dan jaring hanyut tidak cocok buat menggaruk ikan di Selat Malaka yang ombaknya besar. Apalagi di sana sudah ada 350 jaring hanyut. "Berdesak-desak begitu, mana mungkin bisa mendapat hasil banyak," kata seorang taikong. Bagi Munif Kadir, dengan memberi kesempatan kepada jaring hanyut dan sejenisnya, kegiatan di Selat Malaka bisa pindah, misalnya ke perairan Natuna. Hasil dari Selat Malaka sudah dikeruk 99,25% sedang Natuna baru 15%. Tapi dengan kosongnya perairan Kubu-Bangko di Selat Malaka, konon trawler asing (diperkirakan berjumlah 4.000 buah) mulai mengincar kawasan yang selama ini menghasilkan ikan 80.000 ton setahun. Di Sum-Ut, pelarangan pukat harimau itu justru disambut dengan pesta pora oleh para nelayan tradisional. Seperti halnya di daerah lain, sudah sejak lama nelayan miskin ini minta agar pukat harimau dilarang. "Ternyata Presiden mengabulkan. Jadi kita rayakan hari bersejarah ini," kata Ketua HNSI Langkat, Ilyas Mamoto. Ribuan nelayan, 31 Desember lalu berkumpul di Pangkalan Brandan di tepi Selat Malaka (Kabupaten Langkat) merayakan pelarangan itu. Di Kabupatan Asahan, perayaan dipusatkan di Bagan Asahan. Di kabupaten-kabupaten lain, pada hari yang sama juga merayakannya. Seperti di Sialang Buah (Kabupaten Deli Serdang), Labuhan Bilik (Labuhan Batu), Pandan (Tapanuli Tengah) dan Natal (Tapanuli Selatan). Pukat Apollo Di Langkat, ada 19 pukat harimau. Kalau mereka tidak lagi melaut, menurut keyakinan pihak HNSI setempat, kekosongannya bisa ditutup dengan mengoperasikan jaring Taiwan yang juga disebut jaring apollo. Setiap pukat harimau bisa digantikan 25 jaring Taiwan. Di sana kini sudah tersedia 1.000 buah jaring sejenis itu, yang memang lagi dikampanyekan HNSI. Pukat ini berjaring 3 lapis, berasal dari Taiwan, kemudian merembes ke Muangthai. Di Indonesia, masuk lewat Desa Seruwai, Kecamatan Kejuruan Muda, Aceh Timur. Dari sana, merayap ke Langkat. Berikut sampan motor, pukat Taiwan itu bernilai Rp 1 juta. Untuk seluruh Sum-Ut, 1.300 pukat Taiwan akan disalurkan secara kredit lewat Induk Koperasi Perikanan Indonesia (IKPN). Pukat ini bisa menghasilkan rata-rata 4 kg udang sehari. Untuk melayaninya hanya dibutuhkan 2 orang saja. Tapi itu juga berarti pukat Taiwan tak bisa menyerap tenaga kerja cukup banyak. Dan hal ini agaknya dilupakan oleh HNSI. Selain itu ternyata ada ganjalan pula di kalangan nelayan kecil, terutama yang mendapat kredit dari Bank Pembangunan Daerah Sum-Ut (BPDSU). Sebab konon mereka diwajibkan menjual udangnya kepada PT Amal Wahana di Belawan dengan harga lebih murah ketimbang harga pasaran. Di Sibolga, masih di kawasan SumUt, para pemilik 144 pukat harimau sudah menanda-tangani pernyataan untuk mengubah kapal menjadi nontrawler. Tapi sampai pekan lalu belum ada tanda-tanda mereka hendak melaksanakan isi pernyataan tersebut. Soalnya. "kami masih buta, bagaimana menggunakan alat baru itu," kata T.E. Siregar salah seorang nelayan yang mewakili kawan-kawannya. Di Asahan, 118 pukat harimau terkena sabet Keppres 39/80. Para pemiliknya juga sudah menandatangani pernyataan mengubah kapal menjadi nonharimau. Tapi Ketua Badan Perjuangan Penertiban Pukat Harimau (BP3H), Djamal S. Pane menyangsikan kelancaran pelaksanan Keppres, "kalau cara kerja aparat keamanan masih seperti sekarang." Maksudnya, sebelum Keppres 39/80 masih banyak pukat harimau yang dengan leluasa beroperasi walaupun sudah ada pembatasan oleh Pemda setempat. Menjelang Sekarat Sebelumnya Gubernur E.W.P. Tambunan pernah menciutkan jumlah pukat harimau dari 318 menjadi tinggal 200. Tapi mereka yang terkena penciutan kemudian mengubah sedikit kapalnya hingga menjadi pukat yang disebut langgei. Karena sama ganasnya dengan trawler, jenis ini juga akhirnya tak mendapat izin. Kalau di lain daerah para pemilik pukat harimau masih berusaha memanfaatkan saat-saat menjelang sekarat, di Belawan dari jauh hari mereka sudah lesu. Pelabuhan Perikanan Nusantara Gabion, di Belawan, 20 km dari Medan, sepi. Tiga bengkel kapal di sana yang biasanya mampu mereparasi 254 trawler sebulan tak memperdengarkan hiruk pikuk lagi, terutama sejak 2 bulan terakhir. Kelengangan itu bertambah sejak adanya perompakan di tengah laut, dekat Pulau Berhala (3 jam perjalanan boat dari Belawan) pertengahan Desember lalu. Empat pukat harimau diserang, ada awak kapalnya yang dibacok dengan parang. Tak sampai mati, cuma luka-luka. Barangkali itu sebabnya para anak buah kapal trawler enggan turun ke laut. "Lagipula sebentar lagi riwayat pukat harimau habis buat apa berpayah-payah," ucap seorang di antara mereka, akhir Desember 1980.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus