ANGIN barat yang biasa bertiup kencang di akhir tahun, minggu
lalu masih melanda Selat Malaka. Tapi para awak trawler
Bagansiapi-api (Riau) dan sekitarnya masih berani melaut memburu
kesempatan terakhir buat beroperasi.
Mulai 1 Januari giliran pukat harimau di perairan Sumatra
dilarang heroperasi, menyusul larangan serupa di perairan Jawa
dan Bali sejak Oktober 1980 -- seperti dijadwalkan Keppres
39/80. Peraturan itu tentu tak enak, sebab 60% penduduk
Bagansiapi-api yang 110.000 jiwa, mencari nafkah di laut.
Seperti halnya di Jawa dan Bali, bayangan pengangguran mulai
nampak di sana.
"Sampai pekan lalu sudah 1.000 lebih anak buah kapal (ABK) mudik
ke Jawa," kata Camat Bagansiapi-api, Darwis. Yang paling
menyolok, adalah bangkrutnya industri galangan kapal kayu. Sebab
sebagian besar trawler (yang semula disebut cungking) dibikin di
Bagan. Sudah 40 dari 53 galangan kapal di Bagan gulung tikar.
"Dulu sebulan rata-rata 70 pukat harimau dibuat di sini," kata
dr. R. Ilutapea, Kepala RSU Bagansiapi-api yang sejak 1976
mendirikan galangan cukup besar, CV Tarsis. Ia juga ketua
Asosiasi Usaha Pembuatan Kapal Kayu. Tapi yang terpaksa juga
harus gigit jari ialah penduduk sekitar muara Sungai Rokan di
pesisir timur Sumatra.
Sekarang mereka tak lagi bisa menyetor kayu meranti atau kulim
sebagai bahan pembuat tubuh kapal. Hampir 60% bahan baku trawler
datang dari para penebang kayu hutan yang jumlahnya 1.000 kk
itu. Sebelumnya mereka bisa berpenghasilan lebih dari Rp 120:000
sebulan. Pukulan Keppres dirasa juga menimpa 150 buah banglio
yaitu tempat pembuatan ikan asin dan terasi di daerah ini.
Selama ini 80% dari bahan baku untuk ikan asin dan terasi itu
berasal dari si harimau. Tahun lalu tak kurang dari 47 ribu ton
ikan asin dihasilkan banglio-banglio Bagan dan sekitarnya. Kalau
banglio bangkrut, sekitar 3.000 tenaga kerja berpangku tangan.
Belum lagi 1.600 ABK dan ratusan bekas tukang dan pekerja
galangan yang kehilangan pekerjaan.
Gambaran muram seperti itu, apa boleh buat, harus dihadapi oleh
para taikong (juragan) pukat harimau. Menurut Kepala Dinas
Perikanan Riau, Munif Kadir, dari 274 pukat harimau, di perairan
provinsi ini, hanya 14 yang diubah menjadi kapal angkutan. Yang
lain mengganti jaring pukatnya dengan gill net (pukat hanyut),
jaring kantung atau jaring lingkar. Untuk mengubah konstruksi
kapalatau mengganti pukat tersedia kredit Rp 3,8 milyar.
Tapi para taikong di Bagansiapi-api, dengan trawler sebanyak
190 buah, masih termangu-mangu. Sebab menurut pengalaman mereka,
pukat cincin dan jaring hanyut tidak cocok buat menggaruk ikan
di Selat Malaka yang ombaknya besar. Apalagi di sana sudah ada
350 jaring hanyut. "Berdesak-desak begitu, mana mungkin bisa
mendapat hasil banyak," kata seorang taikong.
Bagi Munif Kadir, dengan memberi kesempatan kepada jaring hanyut
dan sejenisnya, kegiatan di Selat Malaka bisa pindah, misalnya
ke perairan Natuna. Hasil dari Selat Malaka sudah dikeruk 99,25%
sedang Natuna baru 15%. Tapi dengan kosongnya perairan
Kubu-Bangko di Selat Malaka, konon trawler asing (diperkirakan
berjumlah 4.000 buah) mulai mengincar kawasan yang selama
ini menghasilkan ikan 80.000 ton setahun.
Di Sum-Ut, pelarangan pukat harimau itu justru disambut dengan
pesta pora oleh para nelayan tradisional. Seperti halnya di
daerah lain, sudah sejak lama nelayan miskin ini minta agar
pukat harimau dilarang. "Ternyata Presiden mengabulkan. Jadi
kita rayakan hari bersejarah ini," kata Ketua HNSI Langkat,
Ilyas Mamoto.
Ribuan nelayan, 31 Desember lalu berkumpul di Pangkalan Brandan
di tepi Selat Malaka (Kabupaten Langkat) merayakan pelarangan
itu. Di Kabupatan Asahan, perayaan dipusatkan di Bagan Asahan.
Di kabupaten-kabupaten lain, pada hari yang sama juga
merayakannya. Seperti di Sialang Buah (Kabupaten Deli Serdang),
Labuhan Bilik (Labuhan Batu), Pandan (Tapanuli Tengah) dan Natal
(Tapanuli Selatan).
Pukat Apollo
Di Langkat, ada 19 pukat harimau. Kalau mereka tidak lagi
melaut, menurut keyakinan pihak HNSI setempat, kekosongannya
bisa ditutup dengan mengoperasikan jaring Taiwan yang juga
disebut jaring apollo. Setiap pukat harimau bisa digantikan 25
jaring Taiwan. Di sana kini sudah tersedia 1.000 buah jaring
sejenis itu, yang memang lagi dikampanyekan HNSI.
Pukat ini berjaring 3 lapis, berasal dari Taiwan, kemudian
merembes ke Muangthai. Di Indonesia, masuk lewat Desa Seruwai,
Kecamatan Kejuruan Muda, Aceh Timur. Dari sana, merayap ke
Langkat. Berikut sampan motor, pukat Taiwan itu bernilai Rp 1
juta. Untuk seluruh Sum-Ut, 1.300 pukat Taiwan akan disalurkan
secara kredit lewat Induk Koperasi Perikanan Indonesia (IKPN).
Pukat ini bisa menghasilkan rata-rata 4 kg udang sehari. Untuk
melayaninya hanya dibutuhkan 2 orang saja. Tapi itu juga berarti
pukat Taiwan tak bisa menyerap tenaga kerja cukup banyak. Dan
hal ini agaknya dilupakan oleh HNSI. Selain itu ternyata ada
ganjalan pula di kalangan nelayan kecil, terutama yang mendapat
kredit dari Bank Pembangunan Daerah Sum-Ut (BPDSU).
Sebab konon mereka diwajibkan menjual udangnya kepada PT Amal
Wahana di Belawan dengan harga lebih murah ketimbang harga
pasaran.
Di Sibolga, masih di kawasan SumUt, para pemilik 144 pukat
harimau sudah menanda-tangani pernyataan untuk mengubah kapal
menjadi nontrawler. Tapi sampai pekan lalu belum ada tanda-tanda
mereka hendak melaksanakan isi pernyataan tersebut. Soalnya.
"kami masih buta, bagaimana menggunakan alat baru itu," kata
T.E. Siregar salah seorang nelayan yang mewakili kawan-kawannya.
Di Asahan, 118 pukat harimau terkena sabet Keppres 39/80. Para
pemiliknya juga sudah menandatangani pernyataan mengubah kapal
menjadi nonharimau. Tapi Ketua Badan Perjuangan Penertiban Pukat
Harimau (BP3H), Djamal S. Pane menyangsikan kelancaran
pelaksanan Keppres, "kalau cara kerja aparat keamanan masih
seperti sekarang." Maksudnya, sebelum Keppres 39/80 masih banyak
pukat harimau yang dengan leluasa beroperasi walaupun sudah ada
pembatasan oleh Pemda setempat.
Menjelang Sekarat
Sebelumnya Gubernur E.W.P. Tambunan pernah menciutkan jumlah
pukat harimau dari 318 menjadi tinggal 200. Tapi mereka yang
terkena penciutan kemudian mengubah sedikit kapalnya hingga
menjadi pukat yang disebut langgei. Karena sama ganasnya dengan
trawler, jenis ini juga akhirnya tak mendapat izin.
Kalau di lain daerah para pemilik pukat harimau masih berusaha
memanfaatkan saat-saat menjelang sekarat, di Belawan dari jauh
hari mereka sudah lesu. Pelabuhan Perikanan Nusantara Gabion, di
Belawan, 20 km dari Medan, sepi. Tiga bengkel kapal di sana yang
biasanya mampu mereparasi 254 trawler sebulan tak
memperdengarkan hiruk pikuk lagi, terutama sejak 2 bulan
terakhir.
Kelengangan itu bertambah sejak adanya perompakan di tengah
laut, dekat Pulau Berhala (3 jam perjalanan boat dari Belawan)
pertengahan Desember lalu. Empat pukat harimau diserang, ada
awak kapalnya yang dibacok dengan parang. Tak sampai mati, cuma
luka-luka. Barangkali itu sebabnya para anak buah kapal trawler
enggan turun ke laut. "Lagipula sebentar lagi riwayat pukat
harimau habis buat apa berpayah-payah," ucap seorang di antara
mereka, akhir Desember 1980.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini