Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan legalisasi ganja yang diajukan oleh orang tua seorang penderita cerebral palsy.
Proposal penelitian yang diajukan Yayasan Sativa Nusantara untuk meneliti ganja hingga kini belum dijawab pemerintah.
Penggunaan ganja secara medis sebenarnya bisa mengikuti penggunaan turunan morfin.
MAHKAMAH Konstitusi menilai penggunaan narkotika golongan I untuk kepentingan medis belum bisa dibuktikan secara komprehensif yang didasarkan atas kajian dan penelitian ilmiah. Karena itu, permohonan menjadikan ganja untuk pengobatan belum bisa dipenuhi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atas pertimbangan itulah MK menolak permohonan legalisasi ganja dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya. Adapun permohonan itu diajukan oleh seorang ibu rumah tangga bernama Pipit Sri Hartanti dan karyawan swasta Supardji. Dalam surat permohonan, dua pemohon itu meminta agar Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 8/1976 itu dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28H ayat 2 UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. "Menolak permohonan para pemohon untuk semuanya," kata Ketua MK Suhartoyo ketika membacakan putusan perkara nomor 13/PUU-XXII/2024 pada 20 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pipit Sri Hartanti dan Supardji adalah orang tua Shita Aske Paramitha, 33 tahun, yang menderita cerebral palsy sejak berusia 4 bulan. Shita sering mengalami kejang saat duduk di kursi roda. Kemudian orang tuanya membaca berbagai literatur tentang pemanfaatan ganja untuk penderita cerebral palsy. Namun keinginan Pipit dan Supardji untuk mengurangi penderitaan putri mereka itu terhalang aturan. Sebab, di Indonesia, ganja masuk kategori narkotika golongan I yang belum diizinkan untuk kepentingan medis. “Ini yang menjadikan dasar bagi kami untuk mengajukan uji materi,” kata Singgih Tomi Gumilang, pengacara Pipit dan Supardji, kemarin, 24 Maret 2024.
Pasien memeriksa tekanan darahnya sebelum menemui dokter di klinik ganja medis resmi pertama di Thailand di Departemen Pengobatan Tradisional dan Alternatif Thailand di dalam gedung Kementerian Kesehatan Masyarakat di pinggiran Bangkok, Thailand, 2020. EPA-EFE/DIEGO AZUBEL
Singgih menyatakan menghargai putusan MK tersebut, meskipun secara pribadi merasa kecewa. Sebab, MK menyamakan uji materi yang mereka ajukan dengan Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020. “Putusan Nomor 106 itu tidak hanya berfokus pada ganja medis, tapi narkotika golongan I juga untuk kepentingan pelayanan kesehatan,” kata Singgih. Sedangkan gugatan yang diajukan kliennya spesifik hanya pada legalisasi ganja medis untuk penderita cerebral palsy.
Mahkamah Konstitusi pada 20 Juli 2022 mengeluarkan Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 untuk menjawab permohonan uji materi yang diajukan tiga individu dan dua perkumpulan. Adapun dalam permohonan itu, pemohon mempersoalkan Pasal 6 ayat 1 huruf a dan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28C ayat 1 dan Pasal 28H ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020, MK menolak seluruh permohonan para pemohon. Pertimbangan dalam putusan itu sama persis dengan pertimbangan yang tercantum dalam Putusan Nomor 13/PUU-XXII/2024. Intinya, narkotika golongan I—termasuk ganja—hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam pengobatan yang berpotensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Penggunaan narkotika golongan I untuk pengobatan hanya bisa dilakukan setelah ada penelitian secara ilmiah dan mendalam.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ganja dan segala bentuk turunannya dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Tanaman yang memiliki nama Latin Cannabis sativa itu memiliki kandungan tetrahydrocannabinol (THC) dan Delta 9 tetrahydrocannabinol serta semua bentuk stereo kimia yang dilarang.
Secara internasional, persepsi terhadap ganja berubah setelah The Commission on Narcotic Drugs (CND) menggelar pertemuan pada 2 Desember 2020. Pertemuan itu untuk menindaklanjuti rekomendasi World Health Organization (WHO) yang menghapus cannabis dan cannabis resin dari Schedule IV Konvensi 1961, sehingga hanya dalam Schedule I.
Schedule IV dapat diartikan sangat berbahaya, tidak memiliki manfaat medis, serta berisiko sangat tinggi terhadap kesehatan. Sedangkan Schedule I dibuat untuk substansi yang dapat memiliki manfaat medis, tapi ada risiko penyalahgunaan yang sangat besar.
CND beranggotakan 53 negara dan Indonesia tidak termasuk di antaranya. Dari hasil voting dalam pertemuan 2 Desember 2020, sebanyak 27 negara menerima rekomendasi WHO, 25 negara menolak, dan 1 negara abstain.
Singgih menuturkan, permohonan judicial review yang diajukan kliennya bertujuan untuk mengeluarkan ganja dan turunannya dari daftar narkotika golongan I menjadi II dan III. Dengan begitu, peluang ganja digunakan untuk pengobatan menjadi terbuka. “Karena hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat,” katanya.
Upaya Melegalkan Ganja untuk Medis MK
Untuk memulai riset ganja medis, Yayasan Sativa Nusantara bersama Pusat Riset Obat Herbal Universitas Syiah Kuala (PRO Herbal USK) telah menandatangani perjanjian kerja sama pada 23 Juni 2023. Mereka berinisiatif mengirim proposal penelitian kepada Kementerian Kesehatan agar riset segera dimulai. Namun hingga saat ini belum ada perkembangannya lagi. “Mereka bilang sedang dikaji proposalnya, tapi tidak ada jawaban sejak 24 Agustus 2023,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara Dhira Narayana.
Dalam proposal, kata Dhira, telah dicantumkan nama orang-orang yang akan meneliti ganja, termasuk teknis penelitian dan pengambilan sampel. Namun, karena belum juga ada tanggapan, dia menganggap pemerintah memang belum mau memanfaatkan ganja untuk kepentingan medis. Menurut Dhira, pembahasan tentang ganja selalu berujung pada persoalan politik. “Jika political will dari pemerintah belum mau memfokuskan, maka yang terjadi seperti sekarang ini, belum ada riset yang bisa dijalankan,” katanya.
Yayasan Sativa Nusantara berencana mengkaji berbagai manuskrip kuno di Indonesia tentang pemanfaatan ganja. Kajian ini bisa segera dilakukan karena tidak membutuhkan izin khusus. Hasil kajian nanti bisa digunakan untuk memperkuat argumen tentang pentingnya riset pemanfaatan ganja untuk medis. “Sehingga kita bisa menemukan tanaman ganja di Nusantara ini untuk pengobatan apa saja oleh nenek moyang kita,” ujarnya.
Sebagai modal awal untuk riset, sudah ada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Produksi dan/atau Penggunaan Narkotika untuk Kepentingan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Lalu ada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan kepastian riset untuk ganja medis masih dalam pembahasan. Kementerian juga tengah berkoordinasi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), tapi ia tidak menjelaskan secara detail tentang pembahasan rencana riset tersebut.
Menurut Siti, untuk memulai riset, Kementerian masih menunggu aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. “Ada peraturan pemerintah yang mengatur dan nanti permenkes-nya akan mengikuti setelah peraturan pemerintah diterbitkan,” ucapnya.
Suasana sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 bersama H di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2022. Dok. TEMPO/ Hilman Fathurrahman W
Kepala BNN Marthinus Hukom mendukung putusan MK yang telah dua kali menolak permohonan legalisasi ganja untuk pengobatan. Dia menilai pemakaian ganja yang berlebihan akan mempengaruhi saraf manusia. Alih-alih memberikan keuntungan secara medis, kata dia, ganja justru bisa menyebabkan ketergantungan bagi penggunanya. “Lalu alasannya apa kalau mau dilegalkan? Tidak ada alasan, baik medis maupun etis," katanya.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Ma'ruf Bajammal, memiliki pendapat berbeda. Menurut dia, sejumlah penelitian internasional mendukung klaim ganja bermanfaat untuk pengobatan. Sehingga tidak adil jika melihat ganja hanya dari sisi bahaya tanpa didasari bukti-bukti yang kuat.
Pada 2023, kata Ma’ruf, LBHM juga pernah melayangkan gugatan ke Komisi Informasi Publik terhadap Kementerian Kesehatan, BNN, dan Polri. Dalam mediasi terungkap fakta bahwa selama ini belum pernah ada penelitian oleh institusi masing-masing untuk membuktikan kandungan THC ganja di Indonesia.
Pakar farmasi dari Universitas Gadjah Mada, Zullies Ikawati, mengatakan ganja medis memang tidak bisa dilegalkan secara serta-merta. Terutama tidak bisa untuk rekreasi yang dampaknya bisa mengakibatkan ketergantungan.
Penggunaannya pun hanya memanfaatkan senyawa turunan, yaitu cannabidiol (CBD) yang tidak memiliki aktivitas psikoaktif, bukan tetrahydrocannabinol (THC) yang membuat orang teler. Jenis tanaman ganja yang biasa dimanfaatkan untuk obat pun hanya Cannabis indica. Sebab Cannabis sativa memiliki kadar THC lebih tinggi dibanding Cannabis indica.
Menurut Zullies, cannabidiol bisa dimasukkan sebagai narkotika golongan II yang tidak dilarang seperti fisik tanaman ganja itu sendiri beserta THC. “Jika dimasukkan ke golongan II atau III bisa legal sebagai obat,” ucapnya.
Penerapan itu seperti turunan morfin yang ada pada golongan II, meski bahan bakunya dari tanaman opium masuk dalam narkotika golongan I. Tentunya penetapan itu harus melalui berbagai prosedur yang jelas, pengawasan ketat, dan mesti membahas bersama antarpemangku kepentingan.
Zullie menjelaskan, perjalanan menemukan suatu obat hingga beredar secara legal di masyarakat memiliki sejumlah prosedur dan pengujian berdasarkan sains. Selanjutnya, jika bisa lanjut ke tahap berikutnya, diuji coba lebih dulu kepada hewan sebelum kepada manusia. “Prinsipnya analisis risk and benefit, manfaat yang perlu diutamakan,” tuturnya.
Selain itu, penerimaan suatu obat di masyarakat—termasuk dari ganja—perlu dibahas tuntas. Mengingat obat pun ada yang memberikan sertifikasi halal untuk keamanan dikonsumsi oleh penganut agama Islam. “Makanya harus koordinasi semua pihak,” katanya.
Zullies menyampaikan bahwa kandungan cannabidiol memang bisa dimanfaatkan untuk antikejang. Namun cannabidiol bukan satu-satunya obat untuk penderita cerebral palsy. Dokter memiliki sejumlah pilihan obat yang bisa diberikan kepada pasien. Seandainya memang ada obat dari ganja, itu hanya menjadi opsi terakhir jika obat lain tidak mempan terhadap keluhan penderita suatu penyakit. “Karena ada THC yang belum dimurnikan itu masih ada potensi disalahgunakan,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo