Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATA tua Kadun menyapu halaman rumput yang terhampar di depan Istana Kerajaan Belanda di Den Haag. Di sana, hari itu, pertengahan Juni silam, halaman dipenuhi anak muda yang sebagian di antaranya berbaring berjemur matahari. "Enaknya mereka berjemur. Kalau dulu, di Rawagede, yang berbaring mayat-mayat," kata pria 74 tahun itu menceritakan pengalamannya di Belanda saat dikunjungi Tempo, Rabu pekan lalu.
Kadun adalah putra kedua Siot, petani Rawagede, Karawang. Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda menyerbu kampung itu dan menembaki warga di sana. Kadun melihat ayahnya terkena sabetan sangkur Belanda. Tercatat kemudian, 431 penduduk laki-laki, baik dewasa maupun anak-anak, terbunuh dalam peristiwa itu. Siot sendiri tak jelas di mana kuburannya. "Sementara yang perempuan dibiarkan hidup," kata kakek tujuh cucu itu. Kadun selamat karena ia sempat bersembunyi dari kejaran tentara Belanda.
Kedatangan Kadun ke Belanda tiga bulan lalu berhubungan dengan peristiwa pembantaian tersebut. Dia diundang menyaksikan sidang lanjutan gugatan peristiwa Rawagede. Gugatan tersebut diajukan sejumlah janda Rawagede yang difasilitasi Yayasan Rawagede dan Komite Utang Kehormatan Belanda, lembaga yang antara lain bergiat dalam membantu korban kekejaman tentara pemerintah Belanda.
Dalam sidang yang digelar di pengadilan sipil Den Haag itu, pemerintah Belanda menegaskan gugatan warga Rawagede kedaluwarsa dan sudah tidak relevan. "Setiap kali sidang, ruangan penuh sesak. Pengadilan sampai memasang layar lebar di luar gedung," ujar Ketua Yayasan Rawagede Sukarman, yang ikut ke Belanda mendampingi para janda dan ahli waris korban Rawagede.
Gugatan kepada pemerintah Belanda itu dimulai pada September 2008. Saat itu, atas nama para korban Rawagede, Liesbeth Zegveld—yang dikenal kerap membela korban kejahatan perang—mensomasi pemerintah Belanda atas peristiwa pembantaian tersebut. Dua kali somasi itu dikirim, tapi tak mendapat respons. Liesbeth kemudian mengambil langkah hukum, melakukan gugatan. Pada 9 Desember 2009, tepat 62 tahun peristiwa pembantaian terjadi, gugatan pun didaftarkan ke Pengadilan Distrik Hague.
Persidangan itu memunculkan banyak perdebatan dari kedua belah pihak, baik tentang cara pandang terhadap terjadinya penembakan di Rawagede itu maupun soal dokumen-dokumen militer sebagai barang bukti. Toh, akhirnya, pada 14 September lalu, dalam vonis yang dibacakan hakim Daphne Schreuder, pengadilan menyatakan pemerintah Belanda wajib memberikan ganti rugi kepada keluarga para korban. Pengadilan tidak menyebutkan besarnya ganti rugi tersebut. "Kami benar-benar tidak percaya dengan ini semua," ujar Cawi, 90 tahun, kepada Tempo. Suami Cawi juga salah satu warga yang tewas diberondong peluru saat Belanda merangsek ke kampungnya 64 tahun silam itu.
BATARA R. Hutagalung, 64 tahun, sering dianggap tak waras. Ketekunannya mencari data dan mengumpulkan dokumen peristiwa sejarah kerap dinilai aneh oleh rekan-rekannya. Koleganya baru terperanjat ketika pemerintah Inggris meminta maaf atas terjadinya peristiwa pertempuran Surabaya, 10 November 1945.
Menurut Batara, permintaan maaf itu terjadi setelah dia, berdasarkan dokumen dan saksi-saksi yang ia himpun, menyatakan pemerintah Inggris bersalah dalam peristiwa 10 November itu. Adapun permintaan maaf itu disampaikan Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Robert Gozney, dalam seminar internasional di Lembaga Ketahanan Nasional, 27 Oktober 2000. "Dari situ saya makin percaya pada yang saya lakukan," ujar salah satu pendiri Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) di Indonesia ini.
Belakangan, salah satu hal yang ditelisik Batara adalah peristiwa Rawagede. Ia melakukan itu sejak 2005. Kepada Tempo, dia mengaku terkejut ketika mengetahui masih banyak saksi mata dan korban pembantaian yang masih hidup. Bersama sejumlah rekannya di KUKB, Batara berhasil meyakinkan para janda peristiwa Rawagede bahwa mereka berhak meminta ganti rugi kepada pemerintah Belanda. Sekitar sepuluh janda dan korban pembantaian, yang rata-rata tidak bisa baca-tulis, akhirnya bersedia memberi surat kuasa dengan cap jempol.
Di Belanda, aktivis KUKB, Jeffry Pondaag, melobi Fraksi Partai Buruh Belanda (PvdA) untuk mendukung gugatan ini. KUKB, misalnya, bertemu dengan juru bicara PvdA, Bert Koenders. Pada Juni 2006, kasus Rawagede untuk pertama kalinya dibicarakan dalam rapat pleno di parlemen Belanda. "Waktu itu janda Rawagede juga kami ajak berdemo di Kedutaan Belanda di Jakarta," kata Jeffry.
Berbekal dokumen "Komisi Jasa Baik untuk Indonesia dari PBB" dan sebuah arsip militer Belanda berjudul De Excessennota oleh Cees Fasseur pada 1969, gugatan ke pemerintah Belanda pun diajukan. Menurut Jeffry, isi dokumen yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut mengutuk peristiwa yang terjadi di Rawagede, sementara De Excessennota menunjuk adanya pembantaian dengan korban 150 orang di kampung itu. "Dua dokumen itulah yang antara lain memenangkan kasus ini," ujar Jeffry.
Liesbeth Zegveld mengakui yang disebut Jeffry. Menurut dia, kejadian yang didukung dokumen dan adanya saksi mata yang masih hiduplah yang membuat gugatan ini menang. Belum lagi adanya dokumen peran dan keterlibatan Mayor Alfons Wijnen dalam kasus Rawagede—tapi dideponir Jaksa Agung Belanda.
Alfons Wijnen memang tokoh utama di balik pembantaian ini. Di bawah pimpinannyalah, pada Selasa pagi, 9 Desember 1947, sepasukan serdadu Belanda mengepung Rawagede dan menggeledah setiap rumah di sana. Tujuannya: mencari pejuang kemerdekaan Lukas Koestarjo dan anak buahnya yang diduga bersembunyi di sana. Kesal tak mendapat buruannya, pasukan Belanda itu menangkapi pria di sana dan memerintahkan mereka berdiri berjejer di tanah lapang. "Lalu terdengar ’tekdung, tekdung’, bunyi senapan dikokang, lantas ditembakkan," ujar Lasmi, 83 tahun, kepada Tempo. Ia melihat suaminya terkapar dengan peluru bersarang di leher. Peristiwa itu juga menyebabkan kandungannya yang berumur tujuh bulan keguguran. Empat hari setelah pembantaian itu, ujar Lasmi, wanita di Rawagede bersama-sama menguburkan jenazah suami atau sanak mereka. "Luka ini kami simpan dalam-dalam," ujarnya lirih.
Untuk soal Rawagede ini, pemerintah Belanda pada 2009 mengalokasikan 850 ribu euro sebagai dana hibah untuk warga kampung itu. Dana itu disiapkan Menteri Kerja Sama Pembangunan Bert Koenders. Kepada Tempo, seorang anggota parlemen Belanda membenarkan soal ini. Pemerintah Belanda, kata sumber itu, menunggu pengajuan proyek penggunaan dana tersebut.
Bukan hanya warga Rawagede yang menyambut gembira putusan pengadilan Belanda. Guru besar ilmu hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, dan sejarawan Asvi Warman Adam juga menyatakan gembira atas dikabulkannya gugatan para janda Rawagede. Menurut Hikmahanto, putusan itu menunjukkan dua hal. Pertama, gugatan seperti ini bisa dimenangkan tanpa lebih dulu ada gugatan pidana, dan kedua, kasus semacam ini tidak mengenal kedaluwarsa. "Tapi yang perlu disadari, putusan ini belum final, masih ada tingkat banding dan upaya hukum lain yang bisa dilakukan pemerintah Belanda," ujar Hikmahanto.
Adapun Asvi menunjuk kemenangan korban Rawagede itu membuka peluang menggugat kasus kejahatan kemanusiaan lain yang dilakukan tentara Belanda. Salah satunya pembantaian yang dilakukan Westerling dan pasukannya di Sulawesi Selatan. "PutusÂan di Den Haag itu seperti membuka kotak pandora," kata Asvi.
Sandy Indra Pratama, Aboeprijadi Santoso (Den Haag), Munawwaroh (Jakarta)
Yang Belum Tersentuh Pengadilan
AKIL masih ingat peristiwa itu. Hari itu, 11 Desember 1946, satu per satu warga Desa Kariango, Pinrang, Sulawesi Selatan, dikumpulkan di sebuah tempat. Sejumlah tentara Belanda, menenteng senjata, tak henti-henti membentak mereka. Suasana mencekam. "Banyak yang gemetar ketakutan menunggu nomor urutnya disebut pasukan Westerling," ujar Ketua Legiun Veteran RI Kabupaten Pinrang dengan pangkat terakhir letnan itu kepada Tempo pekan lalu.
Warga yang dipanggil itu ditanyai perihal keberadaan Ambo Siraja. Jika menjawab tak tahu, mereka ditembak dan tubuh mereka langsung masuk ke lubang yang sudah disiapkan. Ambo Siraja adalah Komandan Batalion 2 Ganggawa, pasukan pejuang kemerdekaan. Raymond Pierre Paul Westerling, komandan Depot Speciale Troepen (pasukan khusus Belanda) yang dikirim ke Sulawesi Selatan untuk melawan pasukan Republik, menilai Ambo musuh yang mesti dilenyapkan.
Saat pasukan Westerling masuk ke desanya, umur Akil 17 tahun. Dengan mata kepalanya ia melihat sejumlah kekejian yang dilakukan anak buah Westerling. Misalnya, ada warga yang disuruh naik pohon kelapa dan, begitu sampai di atas, langsung ditembak. "Cara membunuh yang dilakukan Westerling dan anak buahnya kejam sekali dan terjadi hampir di setiap desa di Sulawesi Selatan," kata Akil. Ia mengaku masih geram jika mengenang kekejaman pasukan Westerling, yang sempat dianggap sebagai pahlawan di Belanda.
Bukan hanya ribuan warga Sulawesi Selatan yang jadi korban perebutan kekuasaan di masa penjajahan. Di masa Jepang bercokol di Tanah Air, ribuan wanita di Pulau Jawa juga pernah menjadi korban perbudakan seks tentara Jepang. Seperti korban Westerling, para jugun ianfu itu—demikian para perempuan muda itu disebut—hingga kini tak memperoleh kompensasi apa pun atas kejahatan kemanusiaan yang menimpa mereka. "Mereka ini tak mendapat keadilan apa pun," kata anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Andy Yentriyani.
Menurut Andy, advokasi memperjuangkan nasib bekas jugun ianfu itu sudah dilakukan sejak 1980. Ada tiga tuntutan yang diminta. Pertama, pemerintah Jepang harus mengakui kejahatan yang mereka lakukan itu dan secara resmi meminta maaf. Kedua, para korban diberi santunan. Dan ketiga, sejarah gelap Jepang tentang jugun ianfu itu dimasukkan ke kurikulum pelajaran sekolah di Jepang agar generasi muda negeri itu mengetahui kebenaran sejarah negerinya. "Tapi Jepang tetap tidak mau mengakui tuntutan itu hingga kini," ujar Andy.
Sejarawan yang juga peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, mengakui banyak kekejaman yang dilakukan tentara Belanda atau Jepang yang mestinya bisa digugat ke pengadilan. Kejahatan terhadap kemanusiaan atau terhadap hak asasi manusia, secara hukum, juga tak memiliki masa kedaluwarsa. Karena itulah, ujar Asvi, perlu ada penelitian kembali terhadap kekejaman tentara kolonial yang bisa jadi tak tercatat dalam sejarah tapi saksi-saksinya masih hidup. Pelajaran kasus Rawagede, ujarnya, menunjukkan terbukanya jalan bagi mereka yang menjadi korban kekejaman untuk menuntut kompensasi.
Sandy Indra Pratama (Jakarta), Suardi Gattang (Pinrang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo