HUKUM konon berwajah kepastian dan keadilan. Namun, dua sisi penting hukum itu tak pernah sampai pada Hidayat Sadikin, Direktur Utama PT Way Hitam, perusahaan kayu olahan di Palembang. Padahal, dua unit pabrik dan sebuah rumah toko tiga lantai miliknya sudah dilelang untuk melunasi kredit macet di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Nahasnya, ketiga barang bernilai Rp 37,5 miliar itu cuma dilelang seharga Rp 1,6 miliar.
Hidayat mencoba memperkarakan dugaan manipulasi pada pelelangan itu. Namun, Kepolisian Daerah Sumatra Selatan ternyata menghentikan penyidikan terhadap delapan tersangkanya, antara lain Buntulan Tambunan, Kepala Kantor Pelayanan dan Pengurusan Piutang Negara di Palembang. Hidayat lantas memperkarakan penghentian penyidikan itu melalui praperadilan.
Hasilnya, Senin pekan lalu, Pengadilan Negeri Palembang menyatakan bahwa penghentian penyidikan Buntulan dan kawan-kawan tidak sah. Dengan putusan praperadilan, berarti polisi harus melanjutkan penyidikan tersebut? Ternyata tidak.
Agaknya, keadilan buat Hidayat masih akan terkatung-katung. Awalnya, pada 1993, ia memperoleh kredit Rp 16,75 miliar dari Bapindo Palembang. Kredit itu digunakannya untuk tambahan modal kerja dan membeli mesin pabrik. Untuk jaminan kredit, Hidayat menyodorkan aset perusahaan berupa dua unit pabrik di Kawasan Industri Pulauborang, Musi Banyuasin, dan sebuah bangunan rumah toko di Jalan Karet, Palembang. Agunan itu ditaksir senilai Rp 37,5 miliar oleh PT Citra Selaras Mandiri.
Belakangan, kredit itu macet. Menurut Hidayat, penyebabnya bersifat force majeure (keadaan memaksa di luar kehendak debitor). "Sekitar 165 ribu hektare hutan konsesi PT Way Hitam terbakar. Tak ada lagi kayu yang bisa diolah," tuturnya. Hidayat lalu mengajukan penjadwalan ulang utang ke Bapindo, tapi tak digubris kreditor.
Akibatnya, agunan kredit berupa dua pabrik dan sebuah rumah toko pun dieksekusi lewat pelelangan oleh kantor piutang negara. Untuk itu, agunan tadi dinilai kembali oleh Sucofindo Palembang. Ternyata, aset itu cuma dinilai Rp 1,4 miliar. Dan, ketika dilelang pada Januari silam, aset itu laku Rp 1,6 miliar. Pelelangan dua pabrik dimenangi Wong Sui Ling, sementara lelang rumah toko dimenangi Teguh.
Kontan Hidayat mencium bau manipulasi di balik lelang yang menilai rendah aset perusahaannya. "Kalaupun terjadi penyusutan, perbedaan nilai aset tak mungkin sebanyak itu," kata Hidayat.
Itu sebabnya, Hidayat melaporkan Buntulan dan tujuh orang lainnya ke Kepolisian Daerah Sumatra Selatan. Polisi kemudian meminta Gabungan Perusahaan Penilai Indonesia untuk mengecek kembali nilai agunan kredit di atas. Hasilnya, agunan itu dinilai Rp 39,9 miliar. Berarti jauh lebih besar dari hasil penilaian Sucofindo.
Toh, nasib perkara Buntulan tak kunjung jelas. Berkas perkaranya sampai tiga kali bolak-balik dari kepolisian ke kejaksaan. Belakangan, kepolisian malah menghentikan penyidikan perkara tersebut dengan alasan tak cukup bukti. Penghentian inilah yang dipraperadilankan oleh Hidayat dan kemudian dimenanginya.
Namun, pihak kepolisian bukannya membuka kembali perkara Buntulan, melainkan malah menyatakan banding atas vonis praperadilan tadi. "Bila pengadilan tinggi juga memutuskan agar perkara itu dilanjutkan, apalagi ada bukti-bukti baru, tentu kami akan melanjutkan penyidikannya," kata Sekretaris Dinas Penerangan Kepolisian Daerah Sumatra Selatan, Komisaris Arum Priyono.
Sementara itu, Azra'ie K. Rosni, yang kini menggantikan Buntulan, menyatakan bahwa proses lelang agunan kredit PT Way Hitam semasa Buntulan sudah sesuai dengan prosedur. Azra'ie malah mencurigai terjadinya pembengkakan nilai agunan kredit itu sewaktu kreditnya diproses Bapindo dulu. Tapi, yang jelas, "Kasus itu terjadi sebelum saya menjabat. Sekarang saya hanya menjadi tukang bersihnya," ujarnya.
Menghadapi tudingan itu, Hidayat mengaku siap diperiksa?tentu Bapindo juga. Bila pemeriksaan itu terjadi, tampaknya beban Hidayat kian menumpuk. Beban pelunasan kredit yang masih lebih besar ketimbang hasil lelang agunan di atas saja belum diselesaikannya.
Kelik M.N., M.D. Asnadi C.A. (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini