Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penetapan tersangka terhadap Tom Lembong mendapat sorotan publik.
Pasal 2 dan 3 UU Tipikor kerap digunakan untuk menjerat pembuat kebijakan.
Unsur niat jahat dalam penerapan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor seharusnya dibuktikan lebih dulu.
KEJAKSAAN Agung menetapkan Menteri Perdagangan 2015-216 Thomas Lembong sebagai tersangka dugaan korupsi impor gula. Jaksa langsung menahan Tom Lembong di Rumah Tahan Salemba, Jakarta Pusat. Jaksa memakai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan dua pasal itu, Kejaksaan Agung menuduh Tom Lembong membuat kebijakan yang merugikan keuangan negara. Kebijakan Tom Lembong itu adalah memberikan izin kepada PT Angels Product (AP) untuk mengimpor gula kristal mentah pada 2015. Padahal, alasan jaksa, saat itu Indonesia sedang surplus gula. Apalagi pemberian izin impor itu tanpa melalui rapat koordinasi dengan menteri-menteri lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setahun berikutnya, menurut jaksa, Tom Lembong memberikan surat penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) untuk menstabilkan harga gula dengan memenuhi stok gula dalam negeri. PT PPI lalu menggandeng delapan produsen dalam negeri untuk mengimpor gula kristal mentah sebanyak 300 ribu ton. Jaksa menuduh penunjukkan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dan tidak melalui rapat koordinasi.
PT PPI mendapat fee dari delapan perusahaan tersebut sebesar Rp 105 per kilogram dari setoran delapan perusahaan swasta tersebut. Kejaksaan Agung menghitung kerugian negara akibat penunjukkan perusahaan swasta itu sekitar Rp 400 miliar. Angka ini diperoleh dari keuntungan delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara jika PT PPI sebagai BUMN mengimpor gula tanpa penunjukkan perusahaan lain.
Thomas Trikasih Lembong saat menjabat Menteri Perdagangan di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Juli 2016. Dok. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Dua pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi itu menjadi pasal favorit yang sering digunakan aparat penegak hukum menjerat pejabat yang diduga korupsi. Kesimpulan itu tertulis dalam “Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum Mengenai Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi”. Laporan ini diterbitkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM (BPHN Kemenkumham) pada 2023.
Selain Tom Lembong, ada sejumlah pembuat kebijakan yang pernah dijerat dengan pasal ini. Misalnya, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, yang tersandung kasus korupsi pengadaan gas alam cair pada 2011-2021. Ia dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dan dijerat hukuman pidana 9 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Dosen hukum pidana dari Universitas Mulawarman Orin Gusta Andini mengatakan penggunaan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor biasanya subyektif aparatur hukum. "Seharusnya, untuk diapembuat kebijakan, pasal yang dipakai hanya Pasal 3," ujarnya kepada Tempo, Jumat, 1 November 2024.
Di Pasal 3 tertera frasa “menyalahgunakan kewenangan”. Pasal itu tak menerakan indikasi pembuat kebijakan menerima suap atau gratifikasi dalam kebijakannya tersebut sehingga tak perlu bukti ada aliran suap.
Namun, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar secara tegas mengatakan kebijakan tidak bisa dipidanakan. Fickar menilai unsur “melawan hukum” yang dituduhkan jaksa kepada Tom Lembong melanggar Pasal 2 ayat (1) tidak jelas. Sebab, menurut dia, sebagai menteri atau pejabat publik, Tom Lembong berwenang mengeluarkan kebijakan, termasuk pemberian izin impor.
Di Pasal 3, kata Fickar, unsur “penyalahgunaan kewenangan” seharusnya mengacu pada kebijakan berdasarkan perolehan suap atau gratifikasi. Bila pembuat kebijakan tidak menerima suap atau gratifikasi itu, seharusnya pasal ini gugur. Apalagi nilai kerugian negara dalam kasus Tom Lembong juga tidak jelas.
Peneliti dari Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anandya menambahkan ada dua cara melihat konteks korupsi menggunakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. "Sebetulnya setiap perbuatan melawan hukum itu tentu harus diikuti dengan mens rea atau niat jahatnya," ujar Diky.
Sebab, tidak semua kerugian negara dikategorikan sebagai kejahatan korupsi. Karena itu, kata dia, penting bagi jaksa atau aparatur hukum menemukan niat jahat tersebut lebih dulu sebelum menetapkan status tersangka kepada seseorang. "Misalnya, harus ditemukan perbuatan jahat yang dilakukan oleh Tom Lembong sehingga perbuatan itu merugikan keuangan negara," kata Diky.
Ia meminta jaksa mengungkap seterang-terangnya tuduhan kepada Tom Lembong itu. Dengan demikian, penegakan hukum yang mereka lakukan tidak dianggap negatif atau bahkan dianggap sebagai upaya politisasi hukum yang membuat masyarakat resah.
Pendapat serupa disampaikan guru besar ilmu hukum dagang Universitas Gadjah Mada, Paripurna Sugarda. Dalam kasus Tom Lembong, ia juga menilai unsur mens rea atau kejahatan asal menjadi kunci. "Kalau enggak ada, bisa jadi itu persoalan pelanggaran administrasi saja," ucapnya.
Menurut Paripurna, seharusnya aparat penegak hukum lebih berhati-hati menggunakan pasal tersebut. Apabila tidak ditemukan mens rea, penyidik seharusnya tak memaksakan menggunakan Pasal 2 ayat (1) ataupun Pasal 3 UU Tipikor.
Pendapat berbeda disampaikan guru besar hukum acara pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho. Ia menilai penggunaan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor terhadap pembuat kebijakan sudah tepat. "Pasal 2, Pasal 3 itu bagian dari bentuk korupsi yang disebut penyalahgunaan kewenangan," kata Hibnu. Ia menjelaskan, jenis-jenis korupsi itu ada penyalahgunaan kewenangan, penggelapan, gratifikasi, dan perbuatan curang.
Adapun kasus Tom Lembong, menurut Hibnu, merupakan bagian dari penyalahgunaan wewenang sebagai Menteri Perdagangan. Ia menyebutkan tindakan Tom melakukan impor saat kondisi surplus termasuk perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Apalagi, perbuatan itu merugikan keuangan negara. "Jadi penggunaan pasal itu sudah tepat," ujar Hibnu.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar menjelaskan unsur-unsur pidana dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yang dilakukan Tom Lembong. Sependapat dengan Hibnu, ia menyebutkan unsur "melawan hukum" dalam Pasal 2 sudah terpenuhi. "Surplus gula tapi tetap impor, kemudian memberikan persetujuan tanpa rekomendasi dari instansi lain," ujarnya, Kamis, 31 Oktober 2024.
Tindakan Tom Lembeng tersebut mengakibatkan keuntungan kepada pihak lain. "Siapa yang untung? Ya, ada perusahaan-perusahaan di situ. Setidaknya delapan perusahaan swasta yang tidak berkapasitas melakukan importasi."
Harli menjelaskan delapan perusahaan swasta itu mengimpor gula kristal mentah dan mengolahnya menjadi gula kristal putih, padahal itu bukan bidang pekerjaan mereka. Dalam proses yang benar, kata Harli, jika pemerintah ingin gula kristal putih, seharusnya PT PPI yang langsung mengimpornya.
Soal "kerugian keuangan negara", menurut Harli, juga sudah terpenuhi lewat selisih harga. Jika perusahaan negara yang langsung mengimpor gula putih tersebut, keuntungan tidak jatuh ke tangan perusahaan swasta.
Masalahnya, apakah Tom Lembong tahu penunjukan depalan perusahaan swasta oleh PT PPI yang dianggap merugikan negara itu? Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar mengatakan jaksa masih mendalami peran Tom Lembong lebih jauh. Jaksa juga tengah mendalami aliran dana di kasus impor gula, termasuk aliran dana kepada Tom Lembong.
"Tapi yang perlu digarisbawahi, Pasal 2 dan 3 UU Tipikor tidak mensyaratkan seseorang harus mendapatkan uang," ujar dia kepada wartawan di kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis malam, 31 Oktober 2024.
Menurut Qohar, ketika ada perbuatan melawan hukum serta menyalahgunakan kewenangan ataupun kesempatan karena jabatan yang dapat menguntungkan orang lain atau korporasi, pembuat kebijakan bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Pengajar hukum pidana Universitas Mulawarman Orin Gusta Andini menilai konstruksi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor memang bermasalah. Subyek hukum dalam Pasal 2 ayat (1) adalah setiap orang, sedangkan, subyek hukum pada Pasal 3 adalah pejabat atau orang yang memiliki kewenangan.
"Anehnya, ancaman pada Pasal 3 itu lebih rendah dibandingan ancaman hukuman di Pasal 2," kata Orin, Jumat, 1 November 2024. "Secara logika sederhana, bagaimana mungkin orang yang jelas-jelas menyalahgunakan kewenangan itu bisa lebih rendah ancamannya dibanding setiap orang?"
Ia menjelaskan, hukuman pidana penjara pada Pasal 3 minimal 1 tahun, sedangkan pada Pasal 2 minimal 4 tahun. Pidana dendanya juga lebih rendah pada Pasal 3. "Kemudian, untuk unsur kerugian negara itu berdasarkan putusan MK haruslah kerugian negara yang nyata," ujar Orin.
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 25/PUU-XIV/2016 itu menyatakan kata "dapat" di Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945. Hakim konstitusi menilai hal itu sering disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan, keputusan diskresi, atau pelaksanaan asas freies ermessen yang diambil bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya.
"Sehingga sering kali terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang," demikian bunyi pertimbangan putusan tersebut.
Mahkamah Konstitusi juga menyatakan unsur merugikan keuangan negara di kedua pasal itu tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), namun benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss).
Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, menuju mobil tahanan setelah menjalani pemeriksaan di gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, 29 Oktober 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Laporan BPHN Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 2023 juga menemukan masalah dalam unsur kerugian keuangan negara dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Badan tersebut menilai aturan itu menempatkan kerugian keuangan negara sebagai salah satu delik, yang dalam praktiknya, dipakai aparat penegak hukum sebagai unsur utama menjerat pelaku tindak pidana.
Menurut BPHN, hal itu sering menyebabkan penindakan korupsi dilakukan berdasarkan hanya kerugian keuangan negara. "Padahal kerugian keuangan negara dapat saja terjadi karena maladministrasi ataupun transaksi bisnis yang wajar," demikian bunyi laporan BPHN.
Dengan demikian, menurut BPHN, bisa saja seseorang menjadi tersangka karena adanya kerugian negara meskipun tidak melakukan perbuatan tercela sebagaimana 11 perbuatan yang dikriminalisasi sebagai tindak pidana korupsi dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Karena itu, BPHN menilai perlu sinkronisasi menetapkan kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara dalam UU Tipikor dengan UNCAC.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo