Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan, mengatakan mudahnya aparat menangkap pelaku penyebaran data pribadi milik Denny Siregar bukan berarti pemerintah tebang pilih mengungkap kasus kejahatan siber.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"(Kasus) Denny Siregar itu, kan, menimpa lewat salah satu operator. Ini bisa ditelusuri dengan cepat karena terbuka," katanya dalam diskusi Ngobrol @Tempo: Pembungkaman Kritik di Masa Pandemi, Kamis, 27 Agustus 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semuel menjelaskan setiap kasus memiliki tingkat kesulitan dan cara penyelesaian yang berbeda. Kemudahan pengungkapan kasus Denny Siregar bukan berati ada perlakuan berbeda dari aparat.
"Di internet itu ilmunya bermacam-macam, contoh bisa melakukan manipulasi akses dari mana saja. Misal aksesnya dari indonesia tapi dibuat seolah dari Cina," tuturnya.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, menilai ada diskriminasi dalam penegakan hukum oleh aparat. Contohnya, peretasan yang dialami aktivis Ravio Patra pada April lalu hingga kini belum terungkap.
"Bandingkan dengan yang meretas web Mabes Polri dalam waktu 4 bulan sudah ada tersangka dan ditahan, atau doxing ke Denny Siregar satu hari sudah terungkap" tuturnya.
Atas dasar itu, Asfinawati meragukan jika aparat tidak mampu menangani kasus peretasan. Dugaan diskriminasi penegakan hukum itu, menurut dia, berarti ada pengabaian negara terhadap pelanggaran hukum atau HAM. "Ini bisa masuk ke pembungkaman karena negara setidaknya menikmati peretasan ini," ujar dia.