Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pelindungan Korban Kekerasan Seksual Menurut UU TPKS

Korban kekerasan seksual di Minahasa Utara mendapat serangan teror dari sekelompok orang.

20 Februari 2025 | 15.00 WIB

Ilustrasi korban kekerasan seksual. Shutterstock
Perbesar
Ilustrasi korban kekerasan seksual. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Remaja 14 tahun di Minahasa Utara menjadi korban kekerasan seksual hingga hamil dan melahirkan.

  • Korban dan keluarganya mendapat teror.

  • Dari sembilan orang yang diduga sebagai pelaku, hanya satu yang dipidana.

HALO Klinik Hukum Perempuan. Perkenalkan, saya Akila. Belum lama ini saya membaca berita tentang korban kekerasan seksual dan keluarganya yang mendapat teror serta serangan fisik dari sekelompok orang di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Dalam kelompok itu terdapat juga orang yang diduga sebagai pelaku kekerasan seksual. Akibat serangan tersebut, keluarga korban mengalami luka-luka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kenapa peristiwa ini bisa terjadi? Secara hukum, apakah ada aturan yang bisa melarang pelaku mendekati korban dan keluarganya? 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Akila
Jakarta


Jawaban:

Halo, Akila. Terima kasih telah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Berdasarkan pemberitaan media, korban dan keluarganya tidak hanya sekali mendapat teror. Kita bisa membayangkan bagaimana ketakutan korban dan keluarga menghadapi situasi ini. Mereka hidup dalam ketakutan dan jauh dari rasa aman.

Dampak Buruk Penanganan Kekerasan Seksual 

Dilansir dari Konde.co, seorang anak perempuan berumur 14 tahun di Minahasa Utara, Sulawesi Utara, diperkosa oleh sembilan laki-laki. Kekerasan seksual itu terjadi pada rentang November-Desember 2023 dan Januari 2024.

Sembilan orang yang diduga sebagai pelaku ini terdiri atas empat anak dan lima orang dewasa. Korban dipaksa dan dibujuk, lalu diperkosa. Akibat perbuatan itu, korban hamil dan kini telah melahirkan. Dari sembilan orang yang diduga sebagai pelaku itu, hanya satu orang yang ditangkap.

Di tengah lingkungan tempat tinggal korban, pemerkosaan tidak dianggap sebagai kekerasan seksual. Konstruksi patriarki yang selama ini terbangun adalah mewajarkan laki-laki memperkosa perempuan. 

Keluarga korban berupaya melawan budaya patriarki itu dengan melaporkan para pelaku ke kepolisian. Namun ini bukanlah upaya yang mudah. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) memang sudah diberlakukan sejak 9 Mei 2022. Sayangnya, penanganan kasus kekerasan seksual belum bisa melindungi korban dan keluarganya. 

Dalam kasus di Minahasa Utara, korban dan keluarganya justru berulang-ulang mendapat serangan teror. Insiden ini memperlihatkan buruknya penanganan kekerasan seksual. Aparat penegak hukum seharusnya bisa memahami situasi yang saat ini dihadapi korban dan keluarga sehingga dapat memberikan penanganan yang dibutuhkan. 

Sangat disayangkan, ternyata aparat penegak hukum gagal melihat potensi ancaman terhadap korban dan keluarga. Wajar mereka cemas dan khawatir. 

Perintah Pembatasan/Pelindungan terhadap Korban  

Secara sederhana, perintah pembatasan (restraining order) atau perintah pelindungan (protective order) adalah perintah agar pelaku menjauhkan diri dari korban kekerasan seksual dalam jarak dan waktu tertentu. Adapun bentuk perintah itu antara lain berupa 

a. berhenti mengganggu atau menyerang korban dan anggota keluarganya;
b. menjauhkan pelaku dari tempat tinggal, sekolah, atau tempat kerja korban dan keluarga korban; serta
c. berhenti mengontak atau menghubungi korban dan anggota keluarga untuk menghindari terjadinya intimidasi.

Di Indonesia, restraining/protective order pertama kali diatur dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Penetapan kondisi khusus yang diterapkan meliputi pembatasan gerak pelaku; larangan memasuki tempat tinggal bersama; serta larangan membuntuti, mengawasi, atau mengintimidasi korban. 

Penetapan kondisi khusus ini diajukan melalui permohonan perintah pelindungan yang disampaikan ke pengadilan, baik oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, maupun pembimbing rohani dengan persetujuan korban. Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat juga diajukan tanpa persetujuan korban. 

Lalu, apakah korban kekerasan seksual dan keluarganya membutuhkan restraining order atau protective order?

Jika berkaca pada dampak kekerasan seksual yang meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik—juga sangat mempengaruhi hidup korban serta keluarganya—tentu perintah pembatasan/pelindungan ini menjadi penting. 

Untuk kasus di Minahasa Utara, dari sembilan orang yang diduga sebagai pelaku, hanya satu yang dipidana. Mereka masih bebas dan berkeliaran di sekitar korban. Selama tidak ada pembatasan, potensi kekerasan dalam bentuk lain terhadap korban dan keluarganya tentu menjadi keniscayaan.

Dalam Pasal 44 ayat 1 UU TPKS telah diatur restraining/protective order yang bunyinya: dalam hal tersangka atau terdakwa tidak ditahan dan ada kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melakukan tindak pidana kekerasan seksual, intimidasi, ancaman, dan/atau kekerasan terhadap korban dan berdasarkan permintaan korban, keluarga, penyidik, penuntut umum, atau pendamping, hakim dapat mengeluarkan penetapan pembatasan gerak pelaku, baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak tertentu dari pelaku.

Penetapan pembatasan gerak pelaku diberikan dalam waktu paling lama enam bulan dan dapat diperpanjang satu kali untuk waktu paling lama enam bulan (Pasal 44 ayat 2 UU TPKS). Sedangkan penyerangan bisa terjadi setelah habis masa penetapan pembatasan gerak sehingga perlu dipertimbangkan kembali untuk memberikan opsi pembatasan secara permanen ke depan.

Selain dalam Pasal 44 ayat 1 UU TPKS, masyarakat dapat berpartisipasi dalam upaya pemulihan korban dengan memberikan pertolongan darurat kepada korban dan membantu pengajuan pelindungan karena menciptakan lingkungan bebas dari kekerasan adalah tanggung jawab bersama.

Tutut Tarida
Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender

Suseno

Suseno

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia pada 1998. Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini menempati posisi redaktur di desk Hukum dan Kriminal. Aktif juga di Tempowitness sebagai editor dan trainer.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus