DUA gua sarang burung walet di pantai terjal itu lengang. Letaknya memang jauh dari keramaian, kira-kira 50 km dari pusat kota Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, atau 25 km dari Desa Parado Kuta. Tapi empat belas pekerja CV Walet Mas Lestari, pengelola gua tersebut, tetap siaga penuh di tiga pos jaga, lengkap dengan senjata tajam. Mereka sadar bahwa sewaktu-waktu insiden lama akan terulang. Dan benar saja, Sabtu senja 19 September 1992 silam batu beterbangan ke arah mereka. Lalu datang serbuan lebih dari 20 orang yang bersenjatakan parang dan panah. Bak pertarungan antarperguruan silat, kedua kelompok itu bertarung di bibir tebing gua. Parang berkelebat. Namun perlawanan para petugas Walet Mas sia-sia. Lawan terlalu banyak. Ahmad Daeng Edi, 40 tahun, salah seorang penjaga gua, kepalanya diparang. Pipi, lengan, dan pinggangnya dibabat. Ahmad sempoyongan dan jatuh ke laut. Empat hari kemudian mayat penduduk Desa Parado Kuta, Kecamatan Monta, Kabupaten Bima, ini ditemukan kira-kira lima kilometer dari gua. Kamaluddin, juga penduduk Parado Kuta, bernasib sama. Ia dikeroyok. Dalam keadaan tak berdaya tubuhnya digotong, lalu dilemparkan ke laut. Sampai tulisan ini dibuat ia belum ditemukan. Ia diduga tewas dan jasadnya terselip di jurang yang dalam. Melihat dua kawannya tewas, petugas Walet Mas lainnya ambil langkah seribu. Beberapa di antaranya membawa luka-luka. Ada pula yang ditawan. Tiga penjaga gua tertangkap dalam keadaan luka. Mereka akan dibunuh bila tidak menunjukkan tempat bertenggernya sarang walet. Peristiwa berdarah itu baru dilaporkan tiga hari kemudian. Maklum, untuk mencapai keramaian, petugas Walet Mas harus berjalan kaki. Ismail Abdullah, si petugas itu misalnya, berjalan selama dua hari ke kampung terdekat. Setelah menginap semalam di sebuah dusun, ia melaporkan kejadian itu ke polisi. Polisi bertindak dan berhasil menangkap 19 pelaku. Sejak Senin pekan lalu mereka menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Raba, Bima. Sementara itu Taufik, yang dituduh polisi sebagai pimpinannya, dan empat pelaku lain masih buron. Sidang ini mengundang perhatian warga Bima. Mereka berbondong-bondong untuk melihat para pelaku peristiwa yang menghebohkan itu. ''Ini memang peristiwa berdarah terbesar di Bima,'' kata Taufik Hantabi, SH, Jaksa Penuntut Umum, kepada Supriyanto Khafid dari TEMPO. Makanya Pengadilan Negeri Bima memasukkannya dalam perkara penting. Kalau saja para terdakwa itu tidak tertangkap, mungkin mereka masih akan beraksi merampok sarang burung yang berharga Rp 2,3 juta per kilogram itu. Sejak CV Walet Mas mengontrak gua sarang walet tadi dari Pemda Bima, akhir tahun 1991, ancaman perampokan sudah mengintip. Sebelum kejadian 19 September itu peristiwa serupa sudah terjadi berulang kali. tanggal 27 Juli 1992 mereka juga dipimpin Taufik mencoba merampok sarang burung walet, tapi berhasil dihalau penjaga. Awal Agustus tahun lalu Taufik kembali lagi bersama kawan-kawannya. Juga gagal. Tanggal 22 Agustus 1992 dicoba lagi, dan kali ini mereka menggondol empat kilogram sarang. Rupanya mereka ketagihan. Maka 19 September lalu mereka datang lagi dan membawa 5 kg sarang walet plus dua nyawa manusia. Motif dan latar belakang perampokan itu, menurut berbagai pihak, tidak ada kaitannya dengan keputusan Pemda untuk menyerahkan gua walet kepada swasta. Artinya bukan semacam tindakan protes penduduk sekitar Desa Parado Kuta yang dulu memetik sarang burung atas izin Pemda. Sebab, perampok itu berasal dari Desa Soriutu, 70 kilometer dari Desa Parado Kuta. Para terdakwa mengaku bahwa mereka umumnya penganggur. ''Taufik sendiri tidak memiliki pekerjaan tetap,'' ujar seorang terdakwa. Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini