Kasus Bapindo dan sejumlah kasus serupa, akhir-akhir ini, mengingatkan saya pada sebuah pepatah: "Success is a garden with too much sun. Watch out that you don't get your feet burnt" -- Keberhasilan seringkali membuat kita lupa diri. Lupa diri adalah suatu sindrom. Seperti dihinggapi suatu penyakit, katakan saja AIDS, tubuh si penderita menunjukkan gejala lemas berkepanjangan, berat badan menurun, batuk, flu, atau diare yang tak bisa sembuh. Demikianlah suatu sindrom secara pelan tapi pasti menamatkan penderitanya. Seperti sindrom lepas kekuasaan (post-power), misalnya. Seorang mantan beraksi secara berlebihan, membesarkan masalah kecil, berlaku agresif, sebelum citranya sama sekali tamat. Sebagian orang sukses juga mengalami "god syndrome" -- sindrom dewa. Karena suatu prestasi yang luar biasa, misalnya menjungkirbalikkan bank atau perusahaan yang rugi menjadi berlaba bermiliar-miliar, acap seseorang begitu dipuja-puja, dihormati, disanjung-sanjung, dan bahkan nyaris disembah. Mulai dari bawahan langsungnya, semua karyawan, pemegang saham, media massa, dan akhirnya masyarakat umum, baik secara langsung maupun tidak, memberikan pengakuan bahwa ia adalah orang sukses. Caranya adalah cara yang benar. Formulanya adalah resep yang jitu. Khalayak mulai minta petunjuk padanya. Mendewa- dewakannya. Membuatnya lupa diri. Gejala awal dari sindrom dewa adalah membenarkan diri (self- justification) dari segala keputusannya. Sekalipun secara objektif semua orang waras sadar bahwa sang penderita mulai keluar rel, ia selalu siap dengan sanggahan, penjelasan, dan alasan mengapa ia benar. Ia telah membuktikan melalui keberhasilannya bahwa ia selalu benar. Karena itu, ada pengecualian dari norma umum bahwa apa yang salah bagi umum, baginya, benar. Hampir secara alamiah, gejala ini diikuti oleh keserakahan. Karena ia adalah dewa, ia harus memperoleh lebih, dan lebih, dan terus lebih dari orang biasa. Karena keserakahan kekuasaan, ketenaran, dan kepuasan lahiriah harus ditunjang materi, maka terjadilah kolusi, korupsi, dan manipulasi. Pada saat itu terjadi, penderita sindrom dewa sering tak merasa bersalah. Ada pembenaran, justifikasi, bahwa yang ia mainkan adalah miliknya, haknya, karyanya, dan sebagainya, karena dialah dewa yang telah berhasil menciptakan keajaiban: dari keadaan rugi menjadi sebaliknya, dari tidak ada menjadi kekayaan berlimpah. Jadi, mengapa tidak? Petaka terburuk dari sindrom dewa ini adalah yang kita baca dan dengar belakangan ini. Sesungguhnya, setiap saat, kita menyaksikan kejatuhan serupa dalam skala, bentuk, dan warna yang berlainan. Setiap kali mendengar kasus eksekutif puncak terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya, saya teringat sindrom dewa. Dan setiap kali mengindrai adanya kawan dekat yang mulai lupa diri, saya prihatin. Namun, sering saya frustrasi karena sang kawan selalu siap dengan justifikasi untuk membenarkan diri.ROBBY SUSATYOPuri Indah E1/20 Jakarta 11610
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini