Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aparat kepolisian dalam menjalani tugasnya kerap menggunakan kekuatan bahkan senjata api di situasi-situasi tertentu. Namun ada beberapa prinsip yang harus diikuti sebelum melakukannya agar tidak terjadi penggunaan kekuatan yang berlebihan atau di luar hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaga Amnesty International Indonesia mencatat sepanjang 2020 ada 402 kekerasan yang diduga dilakukan polisi di 15 provinsi. Selain itu ada 20 kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan di Papua, dengan total 29 korban.
Mengutip laman resmi Amnesty International Indonesia, berdasarkan Prinsip-Prinsip Dasar PBB Tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum(BPUFF) dan Kode Etik Aparat Penegak Hukum (CCLEO) ada empat prinsip yang harus diikuti aparat hukum dalam menggunakan kekuatan.
Pertama, asas legalitas. Aparat hanya boleh menggunakan kekuatan jika tujuan yang hendak dicapai itu sesuai dengan hukum dan cara-caranya juga memenuhi hukum.
Kedua, polisi harus menerapkan asas nesesitas (Keperluan) yang berarti harus menimbang apakah penggunaan kekuatan pada masyarakat sipil benar-benar diperlukan dan benar-benar tidak ada metode alternatif lain yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan yang sama.
Ketiga, asas proporsionalitas. Artinya saat penggunaan kekuatan tidak dapat dihindari, maka kekuatan yang dikerahkan aparat harus proposional dengan tindak pelanggaran yang dilakukan.
Keempat, asas akuntabilitas. Pemerintah dan institusi penegakan hukum harus menetapkan prosedur yang jelas dalam penggunaan kekuatan oleh personel polisi dan mengambil tindakan-tindakan remedial saat prosedur tersebut tidak diikuti.
Intinya, menurut Amnesty International Indonesia, polisi dituntut untuk selalu mencoba mengunakan metode tanpa kekerasan terlebih dahulu dalam setiap situasi. Polisi dituntut meningkatkan respons mereka secara bertahap, dan mencoba meminimalisir kerusakan dan cedera sejauh mungkin.
Adapun untuk penggunaan senjata api, karena berpotensi mematikan, maka undang-undang hanya memperbolehkan penggunaannya saat ada ancaman serius kematian atau luka berat. Menurut BPUFF pasal 9, aparat penegak hanya dapat menggunakan senjata api di situasi yang benar-benar ekstrem.
Penggunaan senjata api juga harus selalu menjadi pilihan yang terakhir. Dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 tahun 2009, yang juga mengadopsi prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dari BPUFF, tertulis bahwa penggunaan kekuatan oleh anggota kepolisian termasuk penggunaan senjata api adalah tahap terakhir yang ditempuh dalam penegakan keadilan.
Teguh Arif Romadhon
Baca juga: