Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia atau PSHK menilai perundang-undangan yang mengatur tata kelola internet cenderung berorientasi kepada kepentingan negara. Sebab, perundang-undangan tersebut minim regulasi yang menjaminan kebebasan digital bagi masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Regulasi yang ada hari ini di Indonesia cenderung memiliki tendensi untuk mengontrol aktivitas warga di ruang digital,” kata peneliti PSHK, Alviani Sabillah, dalam diskusi bertajuk 'Tata Kelola Internet yang Ideal di Indonesia' secara daring lewat Zoom pada Kamis, 12 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alviani mengatakan terdapat 13 undang-undang dan 152 pasal yang memuat peraturan tata kelola internet dan perlindungan hak digital serta civil space di ruang digital. Akan tetapi, mayoritas peraturan itu dinilai tidak ada yang eksplisit menuangkan regulasi soal kebebasan dalam mengakses internet.
“Masih ada implementasi pasal yang memberikan kewenangan besar kepada pemerintah untuk justru memutus dan menutup hak akses internet,” ujar dia.
Pemerintah, kata Alviani, cenderung mengedepankan aturan soal proteksi keamanan ketimbang kebebasan bagi masyarakat. UU ITE, menurut dia, menjadi payung hukum yang paling banyak mengandung regulasi soal proteksi.
Sementara itu, aturan soal keterbukaan dan kebebasan mengakses informasi lebih banyak diatur dalam KUHP. Alviani menyimpulkan, pemberian porsi aturan kebebasan yang lebih besar dalam hukum pidana memiliki efek seperti pisau bermata dua bagi publik. Norma-norma itu tidak hanya melindungi kebebasan, tetapi berpotensi merampasnya.
Alviani berujar, masyarakat yang hendak menyampaikan ekspresi atau bentuk perlawanan dalam internet tidak mendapatkan perlindungan yang cukup atas landasan hukum yang berlaku. Mereka justru berisiko menghadapi kriminalisasi lewat pasal-pasal karet seperti UU ITE yang dinilai mempertentangkan suku, agama, dan ras antargolongan (SARA); pencemaran nama baik; ujaran dan permusuhan; serta muatan kesusilaan.
“Kami temukan pada kasus dan pasal-pasal yang sering digunakan untuk mengkriminalkan yaitu di dalam UU ITE,” kata dia.
UU ITE dinilai merugikan masyarakat karena rawan terhadap ancaman kriminalisasi akibat kekaburan sejumlah frasa. Alviani mengatakan, terdapat kekaburan frasa dalam UU ITE yang berpotensi mengekang kebebasan dan mengkriminalisasi. Misalnya frasa “menimbulkan” pada Pasal 8 Ayat 3 UU ITE.
“Frasa menimbulkan ini masih sangat lentur dan berpotensi digunakan untuk kasus-kasus yang sebenarnya bukanlah ujaran kebencian,” tutur dia.