Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Keterangan saksi ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Basuki Wasis, menguatkan dugaan korupsi perizinan tambang nikel oleh Gubernur Sulawesi Tenggara nonaktif, Nur Alam, telah menyebabkan kerusakan ekosistem di Pulau Kabaena. Produksi tambang nikel PT Anugrah Harisma Barakah, perusahaan yang diduga menyuap Nur Alam untuk berbagai perizinan, dinilai telah merusak lahan secara permanen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kerusakan tanah, lahan hutan, akibat aktivitas tambang nikel tersebut bersifat ireversible (tidak dapat atau sulit dipulihkan seperti sedia kala),” kata Basuki saat membacakan kesimpulan kajiannya di depan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu, 14 Februari 2018.
Baca: Kasus Nur Alam, Tambang Merusak Lingkungan hingga Cacat Prosedur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PT Anugrah Harisma Barakah mengantongi tiga izin pertambangan di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, dari Nur Alam pada periode 2008-2014. Anugrah Harisma menguasai konsesi seluas 3.084 hektare. Bertahun-tahun penerbitan ini dipersoalkan lantaran peta kawasan hutan Provinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan 550 hektare di dalam konsesi tersebut merupakan hutan lindung. Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup juga mengungkapkan tak pernah menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan di wilayah tersebut.
Belakangan, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Nur Alam sebagai tersangka suap pada akhir Agustus 2016, dan menahannya hampir setahun kemudian. Dugaan penyuapan terungkap dari hasil pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 2013.
Nur Alam diduga menerima aliran dana US$ 4,5 juta atau setara dengan Rp 50 miliar dari Richcorp International. Perusahaan asal Hong Kong ini merupakan mitra dagang PT Billy Indonesia, korporasi tambang milik pengusaha Widdi Aswindi—pemilik Anugrah Harisma. Akibat korupsi ini, negara ditaksir merugi hingga Rp 4,3 triliun. Nilai tersebut terdiri atas kerugian kerusakan tanah dan lingkungan Rp 2,7 triliun dan kerugian negara hasil audit Rp 1,5 triliun.
Baca: 3 Poin Keberatan Nur Alam atas Dakwaan KPK
Saksi ahli Basuki Wasis mengungkapkan KPK memintanya untuk meneliti dan menghitung dampak kerusakan lingkungan di area pertambangan nikel Anugrah Harisma sejak penyelidikan dimulai pada Mei 2016. Hasilnya, kerusakan tanah dan lingkungan terjadi di 357,2 hektare lahan izin usaha pertambangan (IUP) Anugrah Harisma. “Di dalam seluas 280,49 hektare dan di luar 76,71 hektare,” kata Basuki.
Menurut dia, hasil pengamatan lapangan dan analisis kerusakan tanah menunjukkan kondisi vegetasi di area lokasi tambang telah memenuhi kriteria baku kerusakan seperti diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor KEP-43/MENLH/10/1996. Begitu pula kondisi lahan berupa ketebalan solum tanah, erosi, dan batuan permukaan juga tergolong dalam kriteria baku kerusakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000.
Persidangan kemarin diwarnai cecaran pertanyaan dari tim kuasa hukum Nur Alam terhadap Basuki. Mereka mempersoalkan metode penghitungan kerugian kerusakan lingkungan lantaran juga mencakup wilayah di luar area izin usaha pertambangan Anugrah Harisma yang diterbitkan Nur Alam. Basuki memastikan penghitungan kerugian telah tepat. Ihwal patut atau tidaknya kerusakan lingkungan di luar area IUP sebagai tanggung jawab Nur Alam, Basuki menilai ahli hukum yang tepat menjawabnya.
Anggota tim kuasa hukum Nur Alam, Ahmad Rifai, menilai keterangan saksi ahli tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak sepatutnya menjadi dasar dalam sebuah dakwaan. “Banyak keterangan yang membingungkan,” ujarnya. Adapun Nur Alam enggan berkomentar ketika dicegat awak media di sela persidangan.
DEWI NURITA