Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Kepala Divisi Akuntansi dan Perpajakan PT Antam, Handi Sutanto, menyebut perusahaan itu sudah mengalami kerugian secara akuntansi meski tidak ada uang yang keluar untuk membayarkan kewajiban kepada terdakwa Budi Said.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan Handi sebagai saksi dalam persidangan perkara rekayasa jual beli logam mulia emas di Antam yang melibatkan pengusaha asal Surabaya Budi Said. Handi menjelaskan soal kerugian yang dialami Antam buntut putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengharuskan mereka membayar kekurangan emas 1,1 ton atau lebih dari Rp 1 triliun ke Budi Said.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya menyampaikan sudah ada kerugian secara akuntasi karena begini, laporan keuangan yang disusun berdasarkan standar akuntansi Indonesia itu adalah berdasarkan accrual basis,” ucap Handi dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, pada Selasa, 19 November 2024.
Dalam basis akrual, transaksi yang mempengaruhi laporan keuangan dicatat pada periode ketika kejadian itu terjadi, bukan saat uang diterima atau dibayarkan. Menurut Handi, jika berdasarkan basis kas, memang tidak ada kerugian karena belum ada uang yang dibayarkan. “Tapi kalau accrual basis artinya, pun belum dibayarkan tetapi kita sudah punya kewajiban, itu perlu dicadangkan sebagai provisi dan sebagai beban,” kata dia.
Saksi Handi menjelaskan, dalam laporan keuangannya, PT Antam pun memiliki beban yang perlu dibayarkan. “Jadi konsepnya karena sudah ada kewajiban bagi Antam untuk membayar atau memenuhi yang Pak Budi Said menangkan bersama putusan MA tadi yang sudah inkracht, di situ sudah timbul kewajiban, namun angkanya, kapannya itu belum pasti, makanya provisi,” tutur Handi.
“Kenapa itu kerugian secara akuntansi? Karena itu sudah masuk, Yang Mulia, sebagai beban di laporan keuangan,” kata dia.
Diketahui, pada 13 Januari 2021, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memutuskan PT Antam harus membayar kerugian materiil sebesar Rp 817,456 miliar atau menyerahkan emas sebesar 1.136 kilogram. Namun, pada 19 Agustus 2021, Pengadilan Tinggi Surabaya membatalkan putusan yang dijatuhkan PN Surabaya dan menolak gugatan crazy rich Surabaya ini.
Tidak terima ditolak gugatannya, Budi mengajukan gugatan ke tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA). Alhasil, MA mengabulkan gugatan dan membatalkan putusan banding. PT Antam pun mengajukan permohonan peninjauan kembali ke MA atas putusan tersebut. Namun, pada 12 September 2023, MA menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan PT Antam. Akibatnya, PT Antam harus membayar sebanyak 1,1 ton atau uang setara Rp 1.109.872.000.000 kepada Budi Said.
Namun, setelah Budi menang secara perdata di pengadilan bahkan hingga di Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan adanya pidana dalam polemik pembelian emas Budi di Butik Emas Logam Mulia (BELM) 1 Surabaya. Ia didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,07 triliun dalam kasus dugaan korupsi jual beli logam mulia emas Antam.
Saksi Handi menilai kewajiban pembayaran yang diputus MA itu sebagai kerugian PT Antam. “Otomatis kalau kita lihat di 30 Juni 2022, yang mana net profit atau laba bersih Antam sebesar Rp 1,5 triliun, sebetulnya itu Rp 2,5 triliun kalau tidak ada provisi ini,” kata dia di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor.
Penasihat hukum terdakwa Budi Said pun bertanya kepada saksi, “Karena ada provisi itu menjadi berkurang jadi Rp 1,5 triliun?” Handi pun membenarkan hal itu.
“Jadi secara sistem akuntansi itu sudah ada kerugian ya?” tanya penasihat hukum.
“Confirmed, betul,” jawab Handi.
“Ada keuntungan yang semestinya diperoleh, berkurang, karena ada pencadangan untuk provisi,” ujar penasihat hukum mengonfirmasi lagi.
“Betul, terlepas dari cash flow-nya sudah keluar atau belum,” tutur Handi.
Pengusaha asal Surabaya Budi Said didakwa melakukan korupsi dengan menerima selisih lebih emas Antam sebesar 58,13 kilogram atau senilai Rp 35,07 miliar, yang tidak sesuai dengan faktur penjualan emas dan tidak ada pembayarannya kepada Antam. Perkara ini disebut merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,07 triliun.
Selain didakwa melakukan korupsi, Budi Said juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang dari hasil korupsinya. Ia diduga menyamarkan transaksi penjualan emas Antam hingga menempatkannya sebagai modal pada CV Bahari Sentosa Alam.
Budi Said dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Ia juga terancam pidana sesuai dengan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.