Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage atau Bripda IDF mengatakan belum puas dengan penetapan dua tersangka dalam kasus kematian Ignatius. Pasalnya, keluarga Bripda Ignatius menilai banyak kejanggalan terkait kasus polisi tembak polisi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Intinya kami belum puas karena menurut kami banyak sekali kejanggalan,” kata kuasa hukum keluarga Bripda Ignatius, Jajang, saat dihubungi, Ahad, 30 Juli 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski mengapresiasi langkah Mabes Polri dengan menetapkan tersangka, Jajang mengatakan keluarga tetap menuntut pengusutan lebih jauh untuk melibat apakah ada keterlibatan pihak lain dalam perkara ini.
“Karena ini kan terkait Densus 88, pasukan elite bukan sembarangan kan, jadi enggak mungkin hanya dua orang bertindak, itu dugaan kami,” kata Jajang.
Jajang menduga ada unsur pembunuhan berencana dalam kasus ini. Ia melihat kejanggalan dengan anggota Densus 88 yang bisa lalai. Selain itu, ia juga menyangsikan keterangan Mabes Polri yang mengatakan tersangka menunjukkan senjata api ke temannya dalam keadaan magasin kosong.
Namun kemudian dimasukkan kembali ke dalam tas magasinnya dan ketika Ignatius masuk kamar, terjadi penembakan. Jajang menduga ada hal lain selain alibi kelalaian. Ia mengatakan keluarga menduga Ignatius direncanakan dibunuh secara matang.
“Ini ada dugaan 340 itu (Pasal 340 tentang pembunuhan berencana), perencanaan itu. Kamu akan kejar 340. Kami tidak yakin sekelas Densus 88 ada kelalaian sepele seperti hal ini. Tidak bisa kami meyakini itu,” ujarnya.
Oleh karena itu, Jajang mengatakan dalam waktu dekat akan datang langsung ke Mabes Polri untuk meminta penjelasan langsung. Selain itu, pihak keluarga juga akan membuat Laporan Polisi terkait dugaan pembunuhan berencana. Ia tidak merinci waktunya.
“Belum pasti karena di kampung masih ada acara adat. Setelah 7 hari meninggal masih ada acara adat,” kata Jajang.
Jajang mengungkapkan saat ini belum ada konfirmasi resmi dari Mabes Polri maupun Polres Bogor terkait penyebab kematian Ignatius. Ia mengatakan kabar resmi dari Polri awalnya diberitahukan via telepon Ignatius meninggal karena sakit keras. Kemudian, ketika sampai di Jakarta baru diberitahukan Ignatius tewas karena letusan senjata api.
“Nah terkait penyebab tewas baru sampai di sita aja, belum ada perkembangan selanjutnya. Kami juga tidak tahu kebenaran meletusnya senjata api itu atau tidak,” tutur Jajang.
Jajang mengatakan Polri juga belum memberi kabar tentang tindakan selanjutnya ke pihak keluarga. Ia mengatakan keluarga mengetahui kasus ini sudah tahap penyidikan melalui konferensi pers Mabes Polri kemarin.
“Belum ada informasi tambahan secara langsung ke pihak keluarga, belum ada,” kata dia.
Kematian Bripda Ignatius viral di media sosial setelah akun Instagram @kamidayakkalbar mengunggah kematian. Unggahan itu menyebut Bripda Ignatius diduga menjadi korban penembakan sesaama anggota Polri yang bertugas di Densus 88 Antiteror Polri Jakarta.
Dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jumat, 28 Juli 2023, Direktur Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Jawa Barat, Komisaris Besar Surawan, menyebut saat ini masih pendalaman terkait dengan senjata api ilegal rakitan yang dipegang oleh Bripda IMS tersebut.
Dalam hal ini, pihaknya akan mengonfrontasi kepada Bripka IG, bagaimana senjata api tersebut bisa ada pada orang yang bukan pemiliknya."Kami masih melakukan pendalaman, nanti kami akan lalukan konfrontasi kepada kedua orang ini terkait dengan asal usul senjata," kata Surawan.
Terkait dengan isu tentang bisnis senjata api di antara tersangka dan korban, Surawan mengatakan hasil penyidikan sementara belum menemukan adanya transaksi jual beli senjata.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan, menyebut tersangka dalam penembakan Bripda IDF adalah Bripda IMS yang membuat senjata meletus dan Bripka IG selaku pemilik senjata. Keduanya kini ditahan atau dalam penahanan khusus atau patsus.
Ramadhan menyebut kasus tersebut ditangani oleh Tim Gabungan Propam dan Reskrim untuk mengetahui pelanggaran disiplin, kode etik maupun pidana yang dilakukan oleh kedua pelaku.