Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kematian anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri Brigadir Dua Ignatius Dwi Frisco Sirage atau Bripda IDF oleh seniornya di Rumah Susun Polri, Bogor, memunculkan beragam spekulasi. Keluarga Bripda IDF mengatakan almahum pernah mengeluh dipaksa minum minuman keras dan transaksi senjata api ilegal oleh seniornya.
Hal ini disampaikan oleh kuasa hukum keluarga Bripda Ignatius, Jajang. Jajang mengatakan Ignatius sering mengeluh dan cerita kepada orang tuanya bahwa dia ketakutan terhadap perilaku seniornya. Sebab, seniornya selalu memaksa dan memerintah supaya ikut minum minuman keras, bahkan dicekoki.
"Kemudian juga pernah dipaksa supaya ikut-ikutan transaksi bisnis senpi, tapi almarhum selalu menolak,” kata Jajang saat dihubungi Tempo, Senin, 31 Juli 2023.
Jajang menceritakan Ignatius sering diintimidasi dan merasa ketakutan dimulai dari awal 2023. Pada 13 Juni 2023, Ignatius sempat curhat ke pacarnya bahwa sudah tidak kuat lagi menghadapi semua. “Jika Tuhan sayang abang Tuhan panggil abang,” kata Jajang mengutip curhatan Ignatius ke pacarnya melalui WhatsApp.
Direktur Kriminal Umum Polda Jawa Barat Komisaris Besar Surawan mengatakan belum memastikan apakah tersangka kerap memaksa Ignatius minum minuman keras. Ia menyebut pihaknya akan menggali keterangan dari pihak keluarga terkait dugaan ini.
“Rencana minggu depan. Yang jelas dalam penyidikan ini, kami akan menggali informasi bagaimana korban selama ini di lingkungan keluarga,” kata Surawan saat dihubungi, Ahad, 30 Juli 2023.
Kode Tirai Biru
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel berharap Polri transparan dalam mengusut kasus tewasnya Bripda IDF yang diduga akibat kelalaian seniornya saat memperlihatkan senjata api rakitan ilegal. "Kelalaiannya seperti apa? Perlu dibuka. Pertanyaan ini muncul karena di organisasi kepolisian kerap dikenal 'Blue Curtain Code', Kode Tirai Biru,” kata dia pada Antara Ahad kemarin, 30 Juli 2023.
Kode Tirai Biru ini, kata Reza, adalah kecenderungan untuk menutup-nutupi kesalahan korps.Menurut dia ‘kode senyap’ (Kode Tirai Biru) tersebut kontras dengan pernyataan polisi yang akan selalu transparan dan objektif dalam pengungkapan kasus.
Sebab, baru setahun yang lalu masyarakat dihebohkan oleh tragedi pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh Kepala Divisi Propam Polri saat itu, Ferdy Sambo. Peristiwa tersebut, kata dia, memperlihatkan potret kekejaman senior terhadap junior yang sempat ditutup-tutupi peristiwa dan faktanya.
Setelah keluarga Brigadir Josua dan warganet bersuara, barulah transparansi dan objektivitas dilakukan serius, hingga Kode Tirai Biru tersibak. Reza mendorong Polri membentuk tim investigasi yang melibatkan pihak eksternal guna menjawab prasangka keluarga korban yang menduga Bripda IDF dibunuh secara terencana, ditambah rasa skeptisime masif warganet.
Namun, Reza tidak merekomendasikan Polri untuk melibatkan Kompolnas dalam tim investigasi karena catatan masa lalu dalam kasus pembunuhan Brigadir Josua di mana saat itu Kompolnas mengiyakan “investigasi” Polres Jakarta Selatan bahwa tewasnya Brigadir Josua karena baku tembak.
Menurut Reza pelibatan unsur eksternal di luar Kompolnas dalam investasi adalah harga mahal yang harus dibayar Polri untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. “Ya, apa boleh buat. Ini contoh harga mahal yang terpaksa harus Polri bayar akibat krisis kepercayaan publik," kata dia.
Pilihan Editor: Kasus Polisi Tembak Polisi, KontraS Desak Polri Usut Kematian Bripda Ignatius Secara Transparan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini