Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS mendesak Polri untuk mengusut kasus tewasnya Brigadir Polisi Dua atau Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage alias Bripda IDF secara menyeluruh, transparan dan akuntabel demi mewujudkan keadilan kepada keluarga korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, mengatakan peristiwa polisi tembak polisi ini juga merupakan bukti belum efektifnya implementasi peraturan internal yakni Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Senjata dalam Penggunaan Kekuatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tidak berjalannya Perkap ini secara efektif kemudian menimbulkan banyaknya penyalahgunaan secara sewenang-wenang yang dilakukan oleh anggota kepolisian,” kata Dimas Bagus Arya, dalam keterangan tertulis, Jumat, 28 Juli 2023.
Menurut KontraS, tidak berjalannya Perkap ini secara efektif menimbulkan banyaknya penyalahgunaan secara sewenang-wenang yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Di sisi lain kasus tewasnya Bripda IDF harus dibuka secara transparan dan akuntabel dengan menggunakan proses hukum pidana dan jangan hanya berakhir pada sanksi etik.
Atas kasus ini, KontraS mendorong Kapolri melakukan evaluasi terhadap penggunaan senjata api dan memutus kultur kekerasan dalam institusi Polri untuk menghindari jatuhnya korban lain. KontraS juga mendorong lembaga pengawas eksternal institusi Kepolisian, seperti Kompolnas RI dan Komnas HAM, untuk melakukan investigasi guna mencari kebenaran peristiwa pada kasus kematian anggota polisi ini.
Bripda IDF tewas tertembak di Rusun Polri, Cikeas, Kabupaten Bogor, pada Ahad, 23 Juli 2023. Bripda IDF tewas tertembak dengan luka tembak yang disebut mengenai leher dan menembus telinga Bripda IDF. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan, Bripda IDF tewas akibat kelalaian dua orang seniornya, yakni Bripda IMS yang secara tidak sengaja menembak Bripda IDF dan Bripka IG yang disebut sebagai pemilik senjata. Kedua tersangka kini telah ditangkap dan menjalani penahanan.
Dimas mengatakan kronologis serta penyebab tertembaknya Bripda Ignatius belum jelas hingga kini. Pada awalnya keluarga bintara polisi itu diberikan informasi bahwa sang anak meninggal akibat sakit keras. Namun ketika keluarga tiba di Jakarta, Kepolisian lalu menyatakan Bripda IDF meninggal akibat luka tembak. Polri kemudian hanya menyatakan Bripda IDF tewas karena secara tidak sengaja tertembak oleh seniornya.
Meski begitu berdasarkan keterangan dari ayah Bripda IDF, anaknya ditembak oleh seniornya karena adanya ajakan untuk terlibat dalam bisnis senjata api ilegal yang kemudian ditolak Ignatius.
“Penolakan tersebut ditengarai menjadi faktor ditembaknya Bripda IDF,” ujar Dimas.
KontraS mengatakan, Polri harus dengan serius melakukan penyelidikan dan penyidikan mengenai tewasnya Bripda IDF secara transparan.
Peristiwa tembak-menembak yang menewaskan anggota Polri bukan yang pertama kalinya terjadi. Publik masih ingat akan peristiwa tewasnya Brigadir J yang terjadi pada Juli 2022 yang lalu. Menurut KontraS, kasus tewasnya Bripda IDF ini memiliki pola serupa dengan penembakan terhadap Brigadir J, yang mana terdapat upaya mengaburkan fakta dan peristiwa agar pelaku dapat lepas dari pertanggungjawaban pidana.
Selain kasus tewasnya Brigadir J, berdasarkan pemantauan KontraS sepanjang Juli 2022-Juni 2023 telah terjadi 29 Peristiwa extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum yang melibatkan anggota Polri. Adapun 29 Peristiwa tersebut telah menewaskan setidaknya 41 orang. Kasus tewasnya Bripda IDF merupakan bukti bahwa extrajudicial killing masih terus terjadi hingga kini dan bahkan menelan korban dari institusi Polri itu sendiri.
“Berulangnya kasus penyalahgunaan senjata api tentu menandakan bahwa institusi Polri nampak tak pernah serius berbenah untuk menghentikan siklus kekerasan yang terus menerus terjadi,” kata Koordinator KontraS.