Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa perkara korupsi proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa rencananya akan membacakan pleidoi atau nota pembelaan hari ini, Rabu, 13 November 2024. Sidang pleidoi dengan terdakwa Nur Setiawan Sidik dan Freddy Gondowardojo tersebut digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berkas Nur Setiawan dan Freddy masing-masing teregister dengan nomor perkara 56/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt.Pst dan nomor 53/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt.Pst. Menurut situs sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat, sidang dijadwalkan berlangsung di ruangan Wirjono Projodikoro 2 pada pukul 10.00 WIB. “Agenda pembelaan terdakwa,” demikian tertera di laman SIPP PN Jakarta Pusat, dikutip Rabu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun pantauan Tempo di lokasi hingga pukul 11.50 WIB, sidang belum juga dimulai. Ruangan yang seharusnya dipakai untuk sidang tersebut masih digunakan untuk persidangan perkara lain. Menurut petugas yang sedang berjaga, sidang akan dimulai setelah sidang perkara lain itu usai. Ia belum bisa memastikan pukul berapa.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa tujuh terdakwa kasus dugaan korupsi jalur KA Besitang-Langsa merugikan negara sebesar Rp 1,15 triliun. Mereka adalah Nur Setiawan Sidik (Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara periode 2016-2017), Freddy Gondowardojo (Pemilik PT Tiga Putra Mandiri Jaya dan PT Mitra Kerja Bersama), Amanna Gappa (Kepala BTP Wilayah Sumatera Bagian Utara periode 2017-2018), Arista Gunawan (Team Leader Tenaga Ahli PT Dardella Yasa Guna), Akhmad Afif Setiawan (Pejabat Pembuat Komitmen/PPK Proyek Konstruksi Jalur KA Besitang-Langsa), Rieki Meidi Yuwana (Kepala Seksi Prasarana sekaligus Ketua Pokja Pengadaan Pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa periode 2017 dan 2018), serta Halim Hartono (PPK Jalur KA Besitang-Langsa periode Agustus 2019-Desember 2022).
Dalam sidang dakwaan, JPU dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut Nur Setiawan memecah kegiatan pembangunan jalur KA Besitang-Langsa menjadi 11 paket, dengan nilai di bawah Rp 100 miliar. Ini bertujuan untuk menghindari ketentuan pekerjaan kompleks.
Kemudian, Nur Setiawan bersama Afif dan Rieki melakukan kegiatan pelelangan pengadaan proyek tersebut. Padahal, masih ada persyaratan yang belum dipenuhi.
JPU KPK juga menyebut Nur Setiawan bersama Prasetyo, Afif, Rieki, serta Freddy melakukan pengaturan pemenang lelang pekerjaan konstruksi pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa paket BSL-1 s/d BSL-11. Pengaturan ini dilakukan dengan cara bertemu dengan calon pemenang. Dalam pertemuan itu, mereka memberikan informasi mengenai metode kerja serta memasukkan persyaratan adanya dukungan dari perusahaan pemilik Multi Tamping Tier (MTT) yang dilengkapi dengan bukti kepemilikan dan faktur pembelian.
"Syarat tersebut hanya dapat dipenuhi oleh PT Mitra Kerja Prasarana yang dimiliki Freddy Gondowardojo," ucap JPU.
JPU menuturkan bahwa Nur Setiawan, Afif, serta Arista juga mengatur pemenang lelang pekerjaan supervisi pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa paket JKABB-1 s/d JKABB-4. Caranya dengan bertemu calon pemenang, memberikan nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS), dan memasukkan persyaratan pengalaman empat tahun terakhir.
"Pemenang lelang pekerjaan supervisi tidak melaksanakan pekerjaan supervisi dan terdapat praktik pinjam perusahaan dengan pemberian sejumlah fee," tutur JPU.
Jaksa penuntut umum melanjutkan, Amanna kemudian memerintahkan Afif untuk menandatangani kontrak dan melaksanakan pekerjaan konstruksi pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa dengan menggunakan jalur yang sudah ada atau eksisting.
Padahal pada jalur yang ada belum dilakukan kegiatan penyelidikan tanah. Selain itu, hasil peninjauan desain konstruksi DED-10 belum disetujui oleh Direktur Prasarana, belum ada penetapan trase, serta belum dilakukan analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
Dalam proyek tersebut, Prasetyo, Nur Setiawan, Amanna, Akhmad Afif, Halim, dan Rieki diduga menerima pemberian dalam betuk uang, barang dan fasilitas dari Freddy, Arista, pelaksana pekerjaan konstruksi, dan supervisi lainnya. Uang itu diterima sebagai bentuk biaya komitmen atas dimenangkannya perusahaan-perusahaan tersebut dalam paket pekerjaan konstruksi dan supervisi.
Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.