Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Kejaksaan menilai penanganan perkara korupsi timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk Tahun 2015-2022 belum maksimal. Hal itu terlihat dari jumlah uang pengganti yang telah diputus pengadilan hanya Rp 12,2 triliun dari total kerugian negara Rp 300 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Komisi Kejaksaan Nurokhman mengatakan, dari hasil putusan pengadilan di tingkat pertama, JPU telah membuktikan kerugian negara dalam kasus korupsi timah itu mencapai Rp 300 triliun. Sehingga, masih ada kurang lebih Rp 280 triliun kerugian negara yang belum dikembalikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Denda dan pengembalian kerugian negara dari hasil putusan pengadilan terhadap 17 terdakwa hanya Rp 12,2 triliun. Sisanya ke mana dan siapa yang menikmatinya," kata Nurokhman saat konferensi pers capaian kinerja Komjak tahun 2024 di kantornya, di Jakarta Selatan, Senin, 6 Januari 2025.
Komisi Kejaksaan telah memberikan rekomendasi kepada jaksa penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung untuk menuntaskan perkara tersebut dengan memburu aktor intelektual serta memburu aset-aset koruptor untuk pengembalian kerugian negaranya.
"Kami yakin, Kejaksaan akan mengembangkan perkara tersebut dengan menjerat tersangka lainnya berdasarkan dari fakta-fakta yang telah terungkap dalam persidangan baik korporasi maupun aktor intelektualnya," katanya.
Dia mengatakan, jaksa penyidik perlu bekerja keras untuk mengejar siapa yang bertanggung jawab dan siapa saja yang menikmati hasil kejahatan yang telah terbukti mengakibatkan kerugian negara Rp 300 triliun tersebut.
"Publik tengah menunggu siapa mereka. Kita optimistis jaksa penyidik mampu memburu aset-aset hasil kejahatan tersebut untuk pemulihan kerugian negara."
Nurokhman menjelaskan, sejak awal Komisi Kejaksaan turun langsung memantau penanganan perkara korupsi tata niaga timah tersebut. Tim itu merupakan implementasi dari tugas yang diemban oleh Komjak yaitu melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
"Kami sangat mendukung agar JPU menggunakan upaya hukum banding untuk melakukan penegakan hukum yang maksimal dan upaya konsisten dalam rangka pemberantasan korupsi dan tindak pidana pencucian uang," katanya.
Selain uang pengganti, Komjak juga menyoroti sikap Kejaksaan dalam menyikapi vonis rendah majelis hakim yang dijatuhkan dalam perkara tersebut. Anggota Komjak Heffinur mengatakan, ada beberapa terdakwa korupsi timah yang mendapatkan vonis lebih ringan daripada tuntutan, namun, JPU tidak mengajukan banding.
Heffinur mencontohkan vonis terdakwa Rusbani alias Bani, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bangka Belitung periode Maret- Desember 2019. Bani divonis 2 tahun penjara, atau lebih ringan daripada tuntutan JPU yang menuntut 6 tahun.
"Ini kenapa? Dari 6 tahun ke 2 tahun, kenapa tidak banding?" ucapnya.
Untuk itu, kata Heffinir, Komjak akan melakukan koordinasi dengan Jampidsus Kejaksaan Agung agar penanganan perkara korupsi timah ini bisa maksimal. "Kami akan bicara-bicara apa alasan-alasan mereka tidak melakukan banding serta hal-hal terkait dengan denda dan uang pengganti," katanya.
Pilihan Editor: TNI AL Masih Selidiki Kasus Penembakan Bos Rental Mobil