SUDAH berlalu masa 14 tahun sampai dengan terbitnya tafsir Quran ini sejak Dewan Penafsirnya dibentuk oleh Menteri Agama H.A. Mukti Ali. Karya keagamaan yang tebalnya 7.359 halaman ini terdiri dari 11 jilid, dicetak 13.000 set, dengan tiga warna yang menunjukkan tahun penerbitan masing-masing: hijau untuk tahun anggaran 1983/1984, biru untuk 1984/ 1985, dan cokelat untuk 1985/1986. Beda peredarannya hanya terletak pada bulan serta pada lapisan masyarakat yang dituju. Edisi cokelat, yang tampak lebih bagus, ditujukan terutama untuk kalangan bukan awam. Semula, tafsir ini sebenarnya sudah selesai penggarapannya pada tahun 1981 -- setelah sejak 1974 berangsur diterbitkan jilid per jilid dan disimpan. Dua tim, Yogya dan Jakarta, yang kemudian saling mengoreksi sampai saat naskah diplenokan, terdiri dari 10 orang profesor -- antaranya Prof. Hasbi As-Shiddiqi (almarhum), pengarang tafsir Al-Bayan dan An-Nur -- dan beberapa kiai yang mewakili berbagai golongan. Yus Badudu dilibat untuk bahasa Indonesianya. Tahun 193 tafsir ini diedarkan tanpa koreksian dari Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama. Penerbitan itu, menurut Prof. K.H. Ibrahim Hosen, L.M.L, ketua Dewan Penafsirnya, tidak mengindahkan upaya-upaya akhir Dewan untuk melakukan tugas koreksi itu, yang direncanakan empat kali. "Itu diterbitkan secara buru-buru sekali, katanya. Karena itu, karya bersama ini banyak mendapat sorotan, setelah dihitung, terdapat 10.006 kesalahan. Jadi, ditarik kembali -- dan sampai kini masih bertumpuk di gudang. Dirjen Bimas Islam, penanggung jawab penerbitan, segera membentuk satuan tugas yang dipimpin Shawabi Ihsan, ketua Lajnah Pentashih Mushaf Al-quran. Semangat besar Departemen Agama untuk segera menerbitkannya (agar tak terjadi Siap) dibuktikan dengan beredarnya tafsir itu dengan 10.006 pembetulan. Toh, "Tahun depan belum akan kami cetak lagi -- menunggu reaksi masyarakat dulu," kata A. Qadir Basalamah, Dirjen. Meski sudah selesai, masih ada juga ketakpuasan -- maklum, "Banyak pengertian yang di luar kesepakatan para ahli tafsir," kata K.H. Muchtar Lutfi Al-Anshari, salah satu ulama anggota dewan penafsir. Misalnya, ia menunjuk arti kata anna syi-tum (Al-Baqarah 223) yang diterjemahkan dengan "bagaimana saja yang kamu kehendaki". Ini dalam masalah bercampur seketiduran suami-istri. "Padahal, semua ahli tafsir sepakat bahwa anna lebih menunjuk pada waktu -- artinya, kapan saja kamu kehendaki," kata tokoh dari lingkungan Al-Irsyad itu. Tak heran, katanya, jika ada protes dari kalangan wanita terhadap terjemahan yang praktis membolehkan memperlakukan wanita dengan segala macam cara itu. Kesalahan-kesalahan seperti itu disayangkannya: bagaimanapun tafsir ini karya tim yang dihadapkan menjadi standar di Indonesia. Kesalahan karya perorangan lebih mudah dimaafkan dibanding karya tim, katanya. Paling tidak, tentunya, kesalahan cetak. Kekeliruan menuliskan kalifah untuk khalifah (I:61) atau I (Jazul Qur'an) untuk I'jazul Qur'an (Muqaddimah :5), memang agak menyolok untuk sebuah kitab agama yang baku -- di samping tidak dipeganginya konsistensi dalam penggunaan ejaan, bahkan untuk nama-nama. Dituliskan Ibrahim Husein, misalnya (Muqaddimah: 11) tapi di samping itu juga Ibrahim Hosen (idem:13). Sebenarnya, menurut Ibrahim Hosen, yang juga ketua Komisi Fatwa MUI, prosedur penafsiran yang dilakukan Dewan sudah cukup ketat -- penuh pedebatan, dan itu membuat berlarut-larutnya pekerjaan yang semula diharapkan hanya makan waktu 4 tahun itu. Perbedaan pendapat dikompromikan dalam bentuk catatan kaki. Terjemahannya, yang menjadi bahan penafsiran, dituliskan berdasar hanya satu pendapat (bila terdapat lebih dari satu), dan sisanya diterakan dalam catatan kaki. Tapi catatan kaki yang direncanakan Ibrahim sebagai wahan kompromi itu tak ada. "Itu saya tidak tahu, kata Ibrahim. Yang tidak diketahui profesor itu agaknya ialah: fungsi catatan kaki itu, sebagiannya atau seluruhnya, telah diambil oper oleh kalimat langsung di dalam teksnya sendiri. Dalam teks terjemahan, arti alternatif ini lazimnya diletakkan dalam kurung, sesudah arti yang dipilih. Sedang di dalam uraian tafsir, sering didapati kalimat yang dibuka dengan: "Menurut pendapat lain . . . " yang, bila menuruti riwayat penulisan penafsiran yang dituturkan tadi, agaknya juga merupakan tambahan. Betapapun, dalam garis besar tafsir ini sudah cukup memadai untuk sebuah standar. Dikemukakan asbabun nuzul (sebab-sebab turun ayat), juga perbedaan-perbedaan hukum yang muncul dari satu ayat hukum, yang cukup membuka wawasan. Penguraian yang berdasarkan sejarah diungkap dengan bahasa yang cukup bagus. Tulisan ayatnya ayatnya sudah disesuaikan dengan Alquran Standar Indonesia yang dibakukan tahun 1984. "Tentu masih belum sempurna betul. Saya menyesal masih ada juga yang salah. Kami yakin akan bisa disempurnakan, dan kami memang masih terbuka untuk itu," kata H. Muttaqin Darmawan, pimpinan proyek. Sabtu lalu, dalam rapat Lajnah Pentashih, seorang anggota mengusulkan agar kembali dibentuk tim koreksi. Dan itu sekaligus berarti undangan kepada mereka (atau Anda) yang sudah beruntung membacanya untuk, siapa tahu, menunjukkan kesalahan-kesalahannya -- meskipun diharapkan tinggal kesalahan teknis. Musthafa Helmy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini