Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA bulan belakangan, Badan Narkotika Nasional (BNN) tengah gencar merehabilitasi ketimbang memidanakan pengguna narkotik dan obat-obatan terlarang atau narkoba. Salah satu caranya adalah mendorong penggunaan layanan klinik Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) di kantor pusat BNN di Cawang, Jakarta Timur, dan ratusan klinik di berbagai daerah. Mereka melayani konseling, rehabilitasi sosial, dan konsultasi medis pencandu. “Layanannya gratis,” ujar Kepala BNN Komisaris Jenderal Marthinus Hukom di kantornya pada Selasa, 2 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marthinus menyitir Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyebutkan pencandu dan korban penyalahgunaan narkotik wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Klinik itu juga berfungsi menjalankan Pasal 127 Undang-Undang Narkotika yang mengatur hukuman rehabilitasi bagi pengguna narkotik yang ditangkap dengan jumlah di bawah ambang batas tertentu. Ia meyakini cara ini menjadi salah satu solusi menekan jumlah pengguna narkotik di Indonesia. “Survei pada 2023 melaporkan ada sekitar 3,3 juta pengguna narkoba,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun mantan Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror itu mengatakan proses pencegahan di daerah masih panjang. Klinik IPWL belum menjangkau semua wilayah, sementara narkotik sudah masuk hingga ke pelosok kampung. Proses pemidanaan aparat penegak hukum juga belum seiring-sejalan. Masih banyak pengguna narkotik yang diproses hukumannya dan akhirnya masuk penjara. “Ini yang membuat jumlah narapidana melebihi kapasitas penjara,” tuturnya.
Kondisi ini diakui Koordinator Hubungan Masyarakat dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Dedy Edward Eka Saputra. Ia menjelaskan, jumlah penghuni 526 penjara di Indonesia pada 1 Juni 2024 mencapai 265.346 orang. Padahal kapasitas totalnya hanya 140.424 orang. “Lebih dari setengah penghuni semua penjara berasal dari pidana narkoba,” ucap Dedy.
Wakil Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Besar Arie Ardian Rishadi mengakui penjara dipenuhi terpidana narkotik. Ia menjelaskan, penyidik kerap mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010. Surat tersebut mengatur penempatan penyalah guna, korban penyalahgunaan, dan pencandu narkotik ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial berdasarkan gramasi bukti pemakaian obat terlarang.
Arie mencontohkan, jika penyidik menemukan barang bukti pemakai lebih dari 1 gram sabu, pelaku tersebut akan dianggap sebagai bandar. Jika penyidik menemukan ekstasi lebih dari 8 butir atau 2,4 gram dari tangan pelaku, pelaku juga akan diperlakukan sebagai bandar. Ini yang membuat polisi gamang. “Kalau dilepaskan salah, tapi di sisi lain dia juga pengguna,” ujarnya.
Arie mengklaim polisi juga sudah menjalankan program penguatan rehabilitasi terhadap pengguna. Itu sebabnya penyidik sering meminta penilaian dari tim asesmen terpadu yang terdiri atas personel Kepolisian RI, BNN, dan kejaksaan serta pemangku kepentingan di bidang kesehatan. Ia mengakui pemenjaraan pengguna tak akan menyelesaikan masalah, bahkan membuat penjara makin penuh.
Apalagi ketika pengguna yang masuk penjara bisa memperparah kondisinya karena masih banyak penjara yang menjadi sentra peredaran narkotik. Dalam beberapa kasus, pengendali jaringan narkotik justru berada di dalam penjara. “Kami bersama Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sedang bekerja sama untuk menghalau itu,” kata Arie.
Polri sebenarnya memiliki satuan penanganan narkotik sendiri hingga tingkat kepolisian sektor. Namun, pada September 2023, Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk Satuan Tugas Penanggulangan, Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkoba atau Satgas P3GN. Satgas ini dipimpin Wakil Kepala Bareskrim Inspektur Jenderal Asep Edi Suheri. Mereka mengklaim sudah menangkap 38.149 tersangka.
Arie Ardian menuturkan, tugas Satgas P3GN mirip dengan Satgas Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkoba atau P4GN yang dibentuk Presiden Joko Widodo. Bedanya, Satgas P4GN melibatkan berbagai institusi, dari pemerintah daerah, kepolisian, hingga Kementerian Kesehatan. Sementara itu, Satgas P3GN hanya diisi personel kepolisian. Tugasnya mencakup pencegahan, penegakan hukum, dan rehabilitasi pencandu. “Termasuk memantau bahan baku narkoba,” tuturnya.
Ketua Umum Gerakan Nasional Antinarkoba atau Granat, Henry Yosodiningrat, menyoroti pembentukan Satgas P3GN itu. Ia menganggap pembentukan Satgas P3GN akan menimbulkan tumpang-tindih penanganan kasus narkotik di kepolisian. Fungsi Satgas P3GN sebenarnya sama dengan Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim. Pimpinan direktorat bertugas memberikan supervisi kepada satuan dan unit narkoba lain di daerah.
Jika ingin menggelar operasi gabungan, dia menjelaskan, Polri cukup melibatkan polisi narkotik di daerah, personel BNN, dan anggota Tentara Nasional Indonesia jika diperlukan. Apalagi Satgas P3GN hanya diisi personel yang itu-itu saja. “Anggaran bakal bisa bertambah karena nanti ada tunjangan jabatan di P3GN,” kata Henry.
Ia mengatakan penanganan masalah narkotik oleh Polri masih menyisakan masalah. Pemberantasan narkotik dianggap gagal karena peredarannya masih mudah ditemukan di mana-mana. Ia menduga jumlah narkotik yang disita lebih sedikit dari narkotik yang bocor ke masyarakat. Penyebabnya adalah tidak adanya partisipasi masyarakat untuk memberi informasi. “Ditambah lagi ada kasus penegak hukum yang terlibat dalam peredaran narkoba,” ucapnya.
Masalah narkotik makin pelik karena pelakunya justru berasal dari Polri. Kasusnya bahkan sudah melibatkan perwira tinggi. Contohnya kasus penggelapan barang bukti 5 kilogram sabu yang dilakukan mantan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Teddy Minahasa. Pria berpangkat terakhir inspektur jenderal itu telah divonis penjara seumur hidup. Di sejumlah daerah lain, masih banyak bintara hingga perwira menengah yang dihukum karena kasus narkotik.
Salah satu kasus yang disorot Komisioner komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, adalah pesta narkotik yang diduga melibatkan empat personel Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya dan satu personel Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Timur. Ada lagi kasus yang menyeret seorang polisi dari wilayah Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, pada 2024. “Kasus-kasus yang melibatkan polisi perlu diberikan sanksi tegas hingga pemecatan serta hukuman pidana maksimal untuk memberi efek jera,” tuturnya.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Girlie Lipsky Aneira Ginting, turut menganggap pembentukan Satgas P3GN akan mubazir. Saat ini masyarakat masih sulit membedakan tugas kepolisian dengan BNN dalam penanganan kasus narkotik. “Ditambah lagi ada Satgas P3GN dan Satgas P4GN yang kegiatan operasionalnya membutuhkan anggaran lebih besar,” katanya.
Selain mengkampanyekan proses rehabilitasi, Kepala BNN Komisaris Jenderal Marthinus Hukom mengatakan pihaknya tetap berstrategi memburu bandar narkotik. Di masa depan, BNN akan berfokus pada analisis intelijen. Jadi yang ditangkap bukan hanya bandar kecil, tapi juga bandar besar. “Kami ingin memperkuat intelijen untuk memetakan jaringan, aktor, termasuk siapa saja orang yang bisa membantu kami,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
M. Faiz Zaki berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Adu Strategi Berburu Narkotik"