Pembunuhan istri cenderung meningkat. Akibat istri terlalu banyak menuntut persamaan? BILA Anda adalah seorang istri, sebaiknya bersikap hati-hati. Sebab, teman tidur Anda bukan tak mungkin adalah calon pembunuh Anda. Pernyataan ini terasa berlebihan. Tapi sejumlah fakta membuktikan, korban-korban wanita yang dibunuh secara keji, pelakunya ternyata suaminya sendiri. Dari semua itu, yang paling menghebohkan tentulah kasus Ny. Diah, yang mayatnya dipotong sepuluh oleh suaminya, Agus Naser, pada 1989. Ternyata, setelah Nyonya Diah, korban kesadistisan suami terus menggulir. Mei lalu, misalnya, polisi Semarang berhasil membongkar pembunuhan Sri Mastuti, yang mayatnya ditanam suaminya di dalam rumah mereka sendiri. Kasus itu terungkap berkat kegigihan kakak korban, Ny. Ida Rin Sri Wahyuni, yang selama lima tahun mengembara melakukan investigasi sendiri (TEMPO, 22 Juni 1991). Dari Boyolali, pekan ini, seorang suami diadili dengan tuduhan membunuh istrinya, Nyonya Hesti, dengan cara mencampurkan racun dalam jamu. Waktu itu Ny. Hesti tengah tergolek sakit. Suaminya, yang dimintai tolong membuatkan racikan jamu, malah mengambil kesempatan ini untuk menghabisi nyawa istrinya, dengan mencemplungkan racun serangga dalam gelas jamu itu. Di Tasikmalaya, seorang istri tukang sayur, Ida, juga ditemukan tewas mengenaskan -- ditanam suaminya di sebuah lubang di tengah sawah. Dugaan polisi, ia mati setelah lehernya diinjak-injak suaminya, Mamat Rahmat, Mei lalu. Motifnya, menurut Kapolres Tasikmalaya, hanya perkara sepele: Ida tak mau diajak pindah ke rumah orangtua Mamat. Berkali-kali dibujuk, Ida tetap bertahan tak mau pindah. Akibatnya, rumah tangga pasangan muda itu sering cekcok, yang berakhir dengan pembunuhan tersebut. Mamat, yang ditemui TEMPO pekan lalu di tahanan Polres Tasikmalaya, terlihat syok. "Bayangan istri selalu mengganggu. Saya sangat menyesal. Apa pun yang terjadi, saya pasrah," katanya. Kasus-kasus di atas hanya sekadar contoh dari sekian banyak pembunuhan istri akhir-akhir ini. Hanya saja, sampai saat ini belum ada angka pasti jumlah istri yang menjadi korban kebrutalan suami. Juga belum ada penelitian yang mendalam tentang latar belakang sosialnya para suami yang menjadi pembantai istri tersebut. Selintas, pelaku kejahatan terlihat tak cuma datang dari kalangan bawah, seperti Mamat yang penjual sayur keliling itu. Pembunuh Nyonya Diah, Agus Naser, misalnya, adalah seorang kepala sekolah yang cukup terpelajar. Pembunuh Sri Mastuti malah punya jabatan wakil kepala gudang Perum Perhutani Jawa Tengah. Kendati miskin penelitian, gejala tak sehat ini pada 15 Juni lalu sempat didiskusikan Pusat Studi Wanita Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS). Diskusi yang bertemakan "Tindak Kekerasan terhadap Wanita dalam Keluarga" itu mendapat sambutan hangat dari kalangan dosen dan mahasiswa. Salah seorang pembicara yang tampil dalam diskusi itu, sosiolog UNS Jeifta Leibo, menyebut bahwa munculnya kebrutalan suami berkaitan erat dengan budaya dari para istri, yang terlalu menganggap adanya superioritas suami. "Istri cenderung menempatkan suami dalam kedudukan yang lebih tinggi," katanya. Akibatnya, sang suami menjelma sebagai hakim penguasa, yang bisa memvonis istri sebagai pihak yang bersalah dan menentukan hukuman semaunya. Tapi, di lain pihak, diam-diam penekanan yang terus-menerus itu justru bisa membuat istri cepat tersinggung dan gampang meledak. Bermuara dari sinilah kemelut rumah tangga meruncing. Pembicara lain, Rechnalemken Ginting, lebih melihat kecenderungan buruk itu dari aspek hukum. Selama ini, katanya, tindak kekerasan suami hampir tak pernah terjangkau aparat penegak hukum. Penyebabnya justru karena korban (istri) enggan mengadukan penyiksaan yang dialami pada polisi. Situasi itu membuat para suami menjadi terbiasa melepas emosi seenaknya. Ginting menyarankan, seyogyanya para istri yang menjadi korban mau memberi pelajaran suaminya, dengan mengadu ke polisi. "Pengaduan itu berfungsi sebagai rem bagi suami, agar tidak mengulangi perbuatannya," kata dosen Fakultas Hukum UNS itu. Jika kemudian suami atau istri kepingin rujuk, katanya, pengaduan bisa dicabut, karena percekcokan rumah tangga tergolong delik aduan. Di luar diskusi itu, reaksi yang lebih dingin datang dari Ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBH WK) Yogyakarta, Nyonya Moeljatno. "Kita tak boleh mengadili suami begitu saja secara sepihak, bisa saja sang korban juga ikut bertanggung jawab terhadap kematiannya, kata pensiunan hakim yang pernah menangani kasus Sum Kuning itu. Percekcokan, menurut Nyonya Moel, terjadi akibat adanya hubungan timbal balik. Karena itu, dalam memandang persoalan ini, "kita perlu memahami latar belakangnya secara gamblang." Agak beda, pendapat psikolog UGM Prof. Siti Rahayu Haditono. Ia menyebut gejala pembunuhan istri yang terus meningkat itu sebagai penyakit masyarakat. Dan itu hasil dari kombinasi antara faktor kepribadian suami dan faktor perkembangan zaman, di mana istri tak lagi hanya pasrah menerima semua yang dikatakan suami. Istri sudah mencapai tahapan untuk menuntut, agar tak diperlakukan sekadar konco-wingking, melainkan lebih sebagai mitra sejajar. Perkembangan itulah, menurut Siti Rahayu, yang mendorong munculnya konflik rumah tangga. Terutama bagi suami yang memang tidak rela menerima tuntutan-tuntutan semacam itu, "emosinya gampang meluap." Bila sang suami pendidikan moralnya rendah, katanya, ada kecenderungan untuk mencari jalan pintas dalam menyelesaikan masalah. "Mereka mudah terpengaruh film atau kejadian-kejadian negatif sehari-hari yang sering dijumpai pada masyarakat." Banyaknya pengaruh negatif, katanya, membuat mereka merasa bahwa jalan pintas yang mereka pilih -- membunuh, misalnya halal-halal saja. Apa pun juga, semua ini baru bersifat teori. Masih ditunggu kemauan para akademisi untuk menguji semua itu dalam sebuah penelitian yang mendalam. Aries Margono, Kastoyo Ramelan, Sri Wahyuni (Yogya), Ahmad Taufik (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini