Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kecewa karena tidak diundang dalam gelar perkara kasus kematian Afif Maulana (13 tahun) yang berlangsung di Polda Sumatera Barat, Selasa, 31 Desember 2024. Sebagai respons, KPAI melayangkan surat resmi kepada Polda Sumbar untuk meminta kejelasan ihwal penyelidikan kasus yang telah menjadi perhatian publik ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami tidak diundang dalam gelar perkara hari ini, padahal KPAI telah mengikuti kasus Afif sejak awal dan menyampaikan rekomendasi untuk penanganannya," kata komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, kepada Tempo, Selasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam suratnya, KPAI menyampaikan tiga poin utama kepada Polda Sumbar. Pertama, KPAI meminta transparansi dalam pengungkapan fakta kematian Afif Maulana, sesuai dengan pasal 59A Undang-undang Perlindungan Anak. Kedua, agar KPAI dapat menerima hasil Gelar Perkara dari Polda Sumatera Barat sebagai bentuk keterbukaan informasi kepada publik. KPAI pun meminta Polda Sumbar memastikan bahwa setiap langkah hukum yang diambil mencerminkan keadilan dan tidak menimbulkan keraguan di masyarakat.
"Perkembangan penanganan kasus selanjutnya dapat diinformasikan kepada KPAI dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak surat dikirimkan," kata Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, dalam suratnya tertanggal 30 Desember 2024.
Direktur LBH Padang, Indira Suryani, menyatakan Polda Sumatera Barat melakukan gelar perkara kasus kematian Afif Maulana pada hari ini. Dia menyatakan gelar perkara tersebut terbagi menjadi dua termin. Termin pertama bersifat terbuka dan dihadiri kuasa hukum serta keluarga korban. Namun, termin kedua dilakukan secara internal dan hanya melibatkan penyidik kepolisian.
Indira yang menjadi kuasa hukum keluarga Afif mengkritik pembatasan dalam gelar perkara ini. "Kami maupun keluarga korban tidak dilibatkan dalam pendalaman ini. Proses pendalaman berlangsung secara internal," ungkap Indira. Keputusan akhir dari hasil gelar perkara ini diharapkan dapat menjawab keraguan publik dan memberikan keadilan bagi keluarga korban.
Sebelumnya, penyelidikan kasus ini telah memicu perhatian publik. Polisi awalnya menyatakan Afif tewas karena terjatuh dari Jembatan Kuranji saat menghindar dari kejaran polisi yang hendak membubarkan aksi tawuran. Keluarga korban tak terima dengan pernyataan polisi ini setelah melihat bekas luka di tubuh Afif. Mereka menduga Afif tewas karena dianiaya.
Atas desakan keluarga, polisi pun melakukan ekshumasi terhadap jenazah Afif pada Oktober 2024. Ketua Tim Ekhumasi dari Perhimpunan Dokter Forensik Medikolegal Indonesia (PDFMI), Ade Firmansyah, mengatakan jenazah Afif Maulana telah mengalami pembusukan dan beberapa bagian tubuh tidak lengkap, seperti jaringan kulit yang tidak bisa dianalisis.
Ade juga menjelaskan bahwa luka-luka yang ditemukan di tubuh Afif Maulana lebih sesuai dengan luka yang terjadi akibat jatuh dari ketinggian. Hasil ekshumasi itu menunjukkan Afif kemungkinan jatuh dari ketinggian 14 meter, dengan energi tumbukan yang jauh melampaui batas toleransi tubuh manusia.