Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jaka Rumantaka menyampaikan klarifikasi berita mengenai sengketa tanah antara dirinya dan masyarakat adat Sunda Wiwitan di Desa Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Jaka mengatakan tanah seluas 224 meter persegi itu adalah warisan keluarganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tanah yang dipermasalahkan itu kepunyaan Ibu Ratu Siti Djenar, ibu saya," kata Jaka di kantor Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta pada Selasa, 10 Oktober 2017. Jaka mengaku telah memenangkan sengketa tanah tersebut hingga ke Mahkamah Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penjelasan Jaka ini sekaligus sebagai hak jawab atas pemberitaan Tempo.co pada Kamis, 24 Agustus 2017. Arikel tersebut berisi upaya ratusan warga adat Sunda Wiwitan mempertahankan rumah adat mereka yang akan disita petugas Pengadilan Negeri Kabupaten Kuningan.
Tanah adat sunda wiwitan seluas 224 meter persegi gagal disita petugas pengadilan di Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jabar, 24 Agst 2017. DEFFAN PURNAMA
Menurut Jaka, asal-usul tanah itu dari ayah Siti Jenar yang bernama Pangeran Tedjabuana pada 1970. Sepuluh tahun kemudian, sekitar 1980-an, tanah tersebut diberikan kepada pihak lain oleh Pangeran Djati Kusumah. "Djati Kusumah itu adik ibu saya, satu bapak lain ibu. Dia memberikan tanah kepada Mimin Saminah dan E. Kusnadi," ungkap Jaka.
Di tanah warisan tersebut E. Kusnadi dan Mimin Saminah membangun rumah yang kemudian diberi nama rumah Paseban. Rumah itu kini menjadi mini museum dan tempat kegiatan masyarakat adat Sunda Wiwitan. Rumah itu pun disebut sebagai rumah adat warisan leluhur.
Pada 2008, Jaka menggugat tanah itu ke Pengadilan Negeri Kuningan. Mimin Saminah dan E. Kusnedi yang menjadi tergugat terus melakukan banding hingga Mahkamah Agung. Pada 2012, Mahkamah Agung melalui putusan peninjauan kembali memenangkan Jaka sebagai pemilik tanah itu.
Jaka melanjutkan, awalnya sengketa itu hanya melibatkan dirinya dengan Mimin Saminah dan Jatikusuma. Baru pada awal 2015, Jatikusuma menggugat dengan mengatasnamakan masyarakat Sunda Wiwitan. "Dalam gugatan saya dari tahun 2008 sampai 2012 tidak ada konflik dengan Sunda Wiwitan. Mulai 2015 awal baru Sunda Wiwitan menggugat ke pengadilan," kata Jaka.
Pengadilan Negeri Kuningan pun telah memutuskan eksekusi tanah itu. Namun, beberapa kali rencana eksekusi urung dilakukan karena mendapatkan perlawanan dari masyarakat Sunda Wiwitan.
Dewi Kanti, buyut Madrais (pendiri sunda wiwitan) di rumah paseban, Kecamata Cigugur, Kab Kuningan, Jabar, 24 Agst 2017. DEFFAN PURNAMA
Masyarakat Sunda Wiwitan menganggap putusan tersebut tidak mempertimbangkan amanat leluhur dan aspek sejarah, sosial, dan budaya. Dalam setiap rencana eksekusi, masyarakat Sunda Wiwitan menggelar aksi demi mempertahankan tanah dan rumah yang diyakini sebagai hak adat mereka.
Jaka bertekad akan terus memperjuangkan tanah ibunya itu. Dia bahkan akan meminta Kepolisian RI, Tentara Nasional Indonesia, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk memberi bantuan pengamanan eksekusi tanah yang segera diajukannya. "Tanah itu bukan milik adat, tapi milik keluarga saya, tanah ibu saya yang sudah saya perjuangkan selama 10 tahun."
Apabila kelak eksekusi berhasil, Jaka berencana hendak merobohkan rumah Paseban kemudian dibangun kembali warung makan di atas tanah itu. "Saya akan bikin warung makan untuk keluarga Siti Djenar yang kelaparan," ujar Jaka sembari menegaskan bahwa masyarakat adat Sunda Wiwitan tak berhak atas tanah tersebut.