Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dua tersangka kasus dugaan investasi bodong robot trading Net89, Alwyn Aliwarga alias AA dan Dedy Irwan alias DI akan segera masuk persidangan. Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Barat Hendri Antoro membenarkan bahwa kasus akan naik ke tahap dua hari ini Kamis, 20 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Benar," kata Hendri saat dihubungi Tempo, pada Kamis, 20 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI dan AA akan dilimpahkan ke Kejari Jakarta Barat beserta barang bukti dan berkas perkara. Namun, Hendri menyatakan belum ada kepastian mengenai waktu pelimpahan kasus.
"Kami masih menunggu info waktunya dari Kejagung (Kejaksaan Agung)," ujarnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar juga membenarkan bahwa kasus akan dilimpahkan ke Kejari Jakarta Barat. "Rencananya hari ini tahap 2, penyerahan tanggung jawab terhadap tersangka dan barang bukti dari penyidik ke JPU (jaksa penuntut umum)," kata Harli saat dihubungi Tempo pada Kamis.
Dia menjelaskan, AA dan DI disangka melanggar Pasal 105 atau 106 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan juncto Pasal 55 (1) ke-1 KUHP atau Pasal 378 KUHP juncto Pasal 55 (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Korban dan tersangka sepakat damai
Sebelumnya, pihak korban dan tersangka telah menandatangani surat damai atau Acta Van Dading pada Senin, 10 Februari 2025. Perwakilan kuasa hukum korban robot trading Net89 Bionda Johan Anggara mengatakan, kedua belah pihak sepakat untuk menempuh perdamaian terhadap dugaan kasus investasi bodong dengan perputaran uang Rp 7 triliun tersebut.
Dia mengatakan, pembuatan akta tersebut juga melibatkan notaris, sehingga menjadi surat tertulis yang kuat dan sempurna. Dengan demikian, dapat digunakan sebagai alat bukti dalam berbagai hubungan hukum, khususnya Net89.
"Pelaksanaan Akta Van Dading ini sebenarnya realisasi dari pertemuan kami dengan penyidik beberapa waktu yang lalu, di mana penyidik menyetujui upaya hukum ini. Akan tetapi, belakangan kami mendapatkan info bahwa penyidik beda arah dengan kami dengan melakukan P21 ke beberapa tersangka," kata Bionda.
Dia menuturkan, para korban yang berjumlah sekitar 7 ribu orang sudah terlalu lama menunggu agar uang mereka kembali, sejak 2022. Bionda menyebut, proses hukum yang panjang dan perlawanan dari tersangka membuat kasus ini berproses lama. Akhirnya, batal demi hukum di Pengadilan Negeri Tangerang akibat dari proses praperadilan.
"Sehingga banyak korban kecewa dengan proses hukum ini," ujar dia.
Bionda menyatakan, para korban sangat berharap agar polisi lebih mengedepankan asas kemanfaatan bagi para korban, daripada menitikberatkan pada asas kepastian hukum dengan menghukum pelaku. Dengan demikian, menurut dia, asas keadilan akan dapat terwujud karena korban mendapat pengembalian kerugiannya tanpa melalui proses peradilan yang panjang dan melelahkan.
"Jangan sampai proses peradilan yang Panjang akan menambah penderitaan korban. Kami berharap supaya teman-teman penyidik mempunyai frekuensi yang sama tentang proses Restorative Justice," kata Bionda.