SETELAH mengharu-biru di seantero pentas politik Indonesia, skandal Bank Bali kemungkinan besar berkembang ke arah yang lebih sulit untuk diperhitungkan. Sebentar lagi, kasus pengalihan piutang (cessie) senilai Rp 546 miliar, yang merupakan paket pertama skandal itu, akan diadili. DPR juga akan melanjutkan penyelidikan setelah lembaga legislatif ini membuka laporan panjang (long form) hasil audit PricewaterhouseCoopers (PwC) yang membeberkan banyak nama tokoh yang terkait kasus Bank Bali.
Perkembangan skandal itu bisa semakin seru karena mantan Direktur Utama Bank Bali, Rudy Ramli, kini melancarkan jurus perlawanan. Jumat pekan lalu, melalui kantor pengacara Bob R.E. Nasution, ia mengadukan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glenn Yusuf, Wakil Ketua BPPN Farid Harianto, serta Ketua Tim Pengelola Bank Bali Douglas K. Beckett ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Menurut Rudy—kini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, akibat kasus cessie di atas—ketiga orang itu telah mencemarkan nama baiknya karena menyatakan bahwa Rudy telah menggembosi aset Bank Bali. Padahal, menurut Rudy, dirinya tidak menjuali aset Bank Bali secara diam-diam.
Serangan balik Rudy tak cuma itu. Lewat kantor pengacara mantan jaksa tadi, Rudy menggugat Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Dalam gugatan yang sedianya disidangkan pekan ini, Rudy berdalih bahwa keputusan Gubernur Bank Indonesia mengambil alih—bank take-over (BTO)—Bank Bali pada 23 Juli 1999 terhitung perbuatan sewenang-wenang.
Menurut salah seorang kuasa hukum Rudy, L.M.M. Samosir, sewaktu masih berstatus bank rekapitalisasi, Bank Bali telah mengajukan GE Capital dari Amerika selaku calon investor yang akan menyediakan dana rekapitalisasi Rp 2,5 triliun. Namun, Bank Indonesia tak kunjung menanggapi permohonan itu.
Menjelang jatuh tempo penyetoran dana rekapitalisasi, pada 21 April 1999, barulah Bank Indonesia menolak kehadiran GE Capital. Saat itu pula BI dan BPPN menyetujui masuknya Standard Chartered Bank (SCB) sebagai investor baru di Bank Bali. "Dengan waktu yang mepet begitu, Bank Bali tak punya pilihan selain harus menerima SCB," kata Samosir.
Setelah SCB mengelola Bank Bali dan kemudian melakukan penelitian (due diligence), ternyata SCB malah membengkakkan biaya rekapitalisasi, dari Rp 1,8 triliun menjadi Rp 4,3 triliun. Semua proses itu, kata Samosir, tak sedikit pun melibatkan pengurus ataupun pemegang saham lama Bank Bali. Artinya, nasib Bank Bali hanya dinegosiasikan antara SCB dan BI serta BPPN.
Hebatnya pula, pada 20 Juni 1999, SCB menyarankan agar BI dan BPPN mem-BTO-kan Bank Bali. Benar saja, pada 23 Juli 1999, Bank Bali diambil alih pemerintah, untuk kemudian dialihkan (akuisisi) kepada SCB. Rangkaian peristiwa itulah yang membuat Rudy Ramli menuding adanya kolusi di balik akuisisi Bank Bali, yang jadinya murah dan cepat, oleh SCB.
Dengan tak wajarnya proses pengambilan keputusan Bank Indonesia untuk mem-BTO-kan Bank Bali, Rudy pun menuntut agar PTUN membatalkan keputusan tersebut. Bila keputusan BTO digugurkan, Bank Bali kembali menjadi bank rekapitalisasi. Dengan begitu, Bank Bali bisa mengelola sendiri banknya, sebagaimana terjadi pada Bank Niaga, atau mencari investor baru, yang bukan SCB.
Sementara itu, Gubernur BI Syahril Sabirin—sebagaimana diutarakan oleh Biro Gubernur, Perry Warjiyo—menyatakan bahwa keputusan mem-BTO-kan Bank Bali sudah berdasarkan peraturan. Salah satu alasan BTO tersebut, pemilik Bank Bali tak kunjung bisa menyediakan dana sebesar 20 persen dari tambahan modal sampai batas waktu yang ditentukan.
Memang, Gubernur BI tak merinci alasan dipilih atau masuknya SCB ke Bank Bali. Ia hanya menjelaskan bahwa SCB telah menyetorkan dana untuk tambahan modal 20 persen, sebesar US$ 56 juta, ke rekening titipan Bank Bali (escrow account) di Bank Indonesia. Namun, akuisisi Bank Bali oleh SCB masih bersifat sementara. Artinya, tak tertutup kemungkinan adanya investor lain yang lebih layak. Yang penting, investor itu bisa memulihkan kesehatan Bank Bali secepatnya.
Happy Sulistyadi, Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini