THOMAS Sitepu, anggota Komisi DPRD Jawa Barat, punya buktibukti
kuat bahwa sejumlah pejabat di beberapa kabupaten di Jawa Barat
telah menerima suap. Uang pelicin itu dibagi-bagikan oleh
beberapa pengusaha karena beberapa pejabat telah membuat surat
keputusan yang mengharuskan SD-SD Inpres menggunakan atap asbes.
Anggota DPRD Ja-Bar dari Fraksi harya Pembangunan itu
menyebutkan penyuapan tadi telah berlangsung misalnya di
Kabupaten Bandung, Tasikmalaya dan Ciamis. Ia menuturkan, dalam
tahun anggaran 1981/1982 Pemda Jawa Barat akan membangun ribuan
gedung SD Inpres, berikut rumah-rumah dinas kepala sekolah,
ruang kelas baru dan rumah penjaga sekolah. Seluruhnya bernilai
Rp 44 milyar lebih. Dalam ketentuan yang dibuat pejabat di
beberapa kabupatan tadi disebutkan, semua bangunan baru itu
tidak diperkenankan memakai atap genteng biasa - tapi harus
beratap asbes.
Sampai pertengahan Desember ini beberapa daerah di Jawa Barat
belum mulai membangun proyek SD Inpres untuk tahun anggaran
sekarang. Padahal semestinya pembangunan itu harus sudah selesai
Maret 1982.
Berdasarkan penelitian Thomas Sitepu, terungkaplah, bahwa
keharusan memakai atap asbes itu berkaitan erat dengan
keterlambatan pembangunan sekolah-sekolah tadi.
Skandal itu terungkap, menurut Sitepu, tatkala kontrak antara PT
Banma Group (penyalur asbes produksi PT James Hardia
Indonesia--- JHI) dengan P&K Kabupaten Bandung (selaku pemilik
proyek) akhir September 1981 tiba-tiba dibatalkan Bupati Bandung
(selaku penanggungjawab proyek) Alasannya bupati
meragukan kemampuan Banma Group menangani proyek bernilai
Rp 1,78 milyar itu.
Tentu saja Banjir W.T., Direktur Banma Group, naik pitam.
"Padahal untuk mendapatkan proyek itu saya sudah mengeluarkan
pelicin Rp 50 juta untuk para pejabat kabupaten dan beberapa
organisasi pemuda," katanya. "Uang pelicin itu sudah biasa dalam
dunia bisnis," tambahnya.
Semula Banjir sudah membayangkan keuntungan 17% atau sekitar Rp
300 juta dari harga proyek--sebagaimana dijanjikan pihak JHI.
"Itu sebabnya saya tak sayang membuang pelicin Rp 50 juta," ujar
Banjir lagi yang kini urung kebanjiran komisi.
Di Tasikmalaya dan Ciamis pengusaha lainnya, Halim Wibisono,
senasib dengan Banjir. "Setelah kontrak dibatalkan, Manajer
Penjualan JHI Harry Triwindu menemui bupati, entah untuk apa.
Tapi saya masih menerima komisi Rp 22 juta dari JHI," kata
Halim. Menurut dugaan Halim sebagian besar sisa komisi
"dibagi-bagikan kepada para pejabat."
Kasak-kusuk
Harry Triwindu, menurut Banjir, juga mengambil-alih kontrak di
Kabupaten Bandung. "Mungkin Harry menawarkan komisi lebih besar
dari pelicin yang saya berikan," kata Banjir. Karena itu Sitepu
berkesimpulan, ada beberapa pejabat yang menerima pelicin dari
JHI sekaligus dari penyalur asbes di daerah.
Mengenai uang pelicin itu, Harry Triwindu enggan memberikan
keterangan. Begitu pula para pejabat yang disebut-sebut Banjir
telah menerima pelicin tak bersedia menanggapi tuduhan Direktur
Banma Group itu.
Tapi Kepala Humas Pemda Jawa Barat, Drs. Dod Suwondo membenarkan
adanya beberapa pejabat yang menerima uang komisi dari kontrak
pembelian atap asbes itu. "Sejak dulu pengusaha asbes selalu
kasak-kusuk memasarkan dagangannya sambil memberi uang komisi
kepada beberapa pejabat," ungkap Suwondo.
Beberapa pejabat, termasuk Sekwilda Kabupaten Bandung, Tatang
Muchrom, membantah telah menerima suap. "Saya tidak pernah
menerima pelicin dari Banjir. Ia menghambur-hamburkan pelicin
atau tidak, itu bukan urusan saya," katanya tegas.
Tatang akhirnya mengungkapkan, pembatalan kontrak di Kabupaten
Bandung itu karena ada konflik antara JHI dan Banma Group. "JHI
memutuskan hubungan dagang karena merasa tertipu oleh sanma
Group yang memalsukan surat kontrak," cerita Tatang mengutip isi
surat JHI kepada Bupati Bandung.
Direktur Banma Group berkilah."Surat kontrak itu sah. Buktinya
sudah ditanda-tangani oleh Bupati Bandung dan Kepala Dinas P&K,"
katanya sambil menunjukkan fotokopi surat kontrak tersebut.
"Saya akan menuntut Harry Triwindu," katanya berang.
Ketika akuntan JHI mengecek ke Bandung Oktober lalu, ternyata
surat kontrak itu belum didaftarkan di kantor pajak. "Pemalsuan
surat kontrak oleh Banma Group, terungkap ketika ditemukan bahwa
surat kontrak yang tersimpan dalam file kabupaten ternyata
lain," kata Harry. Surat kontrak yang diserahkan kepada JHI
menyebut keharusan membuka rekening bersama di BRI Bandung
sedang yang diserahkan ke kabupaten tidak menyebutkan ketentuan
tersebut.
Gubernur Aang Kunaefi sejak Oktober lalu menginstruksikan kepada
seluruh bupati dan walikota di Jawa Barat, agar menggunakan
genteng rakyat dalam pembangunan SD Inpres. "Hal itu untuk
memenuhi anjuran Wapres Adam Malik agar membantu pemasaran
genteng rakyat," kata Ka. Humas Ja-Bar. Dod Suwondo.
Jadi, mengapa harus memakai gentcng asbes? Menurut Sekwilda
Kabupaten Bandung, genteng asbes lebih rapi dan praktis. "Selain
itu program pembangunan SD Inpres kan sudah punya standar,
sedang genteng rakyat belum punya standar mutu." Thomas Sitepu,
anggota FKP itu menuduh alasan tersebut tak masuk akal dan
berbau komersial. "Itu bertentangan dengan Keppres 14 dan 14A.
Dengan menggunakan genteng asbes, keuntungan beralih ke
perusahaan PMA," kata Sitepu.
JHI adalah perusahaan PMA (patungan Indonesia-Australia,
beroperasi sejak 1976). Beberapa penyalurnya seperti Banjir W.T.
dan Halim Wibisono adalah pengusaha nonpribumi.
Karena itu Sitepu lantas menuding pemasangan genteng asbes di
sebuah SD Inpres di Malangbong, Tasikmalaya, yang tidak rapi dan
menggelembung di beberapa tempat. "Yang penting Pemda harus
memperhatikan nasib lebih dari 1.000 pengusaha genteng rakyat di
seluruh Ja-Bar yang kini terancam oleh pengusaha besar," katanya
(lihat box).
Menurut pengamatan Sitepu, penggunaan genteng asbes tidak
praktis. Kalau selembar pecah, sulit menggantinya. Apalagi kalau
hal itu terjadi di desa yang terpencil. Untuk mencari
penggantinya harus ke kota, pakai ongkos transpor lagi. Dan
harganya mahal: Rp 5.000/lembar. "Tapi kalau genteng produksi
rakyat pecah, mudah diganti pada saat itu juga," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini