Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Melicinkan Atap Asbes

SD Inpres di beberapa kab, Ja-bar harus menggunakan atap asbes. Ternyata ada uang pelicin yang dibagikan oleh perusahaan-perrusahaan kepada beberapa pejabat yang membuat SK mengharuskan SD Inpres gunakan atap asbes.

19 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THOMAS Sitepu, anggota Komisi DPRD Jawa Barat, punya buktibukti kuat bahwa sejumlah pejabat di beberapa kabupaten di Jawa Barat telah menerima suap. Uang pelicin itu dibagi-bagikan oleh beberapa pengusaha karena beberapa pejabat telah membuat surat keputusan yang mengharuskan SD-SD Inpres menggunakan atap asbes. Anggota DPRD Ja-Bar dari Fraksi harya Pembangunan itu menyebutkan penyuapan tadi telah berlangsung misalnya di Kabupaten Bandung, Tasikmalaya dan Ciamis. Ia menuturkan, dalam tahun anggaran 1981/1982 Pemda Jawa Barat akan membangun ribuan gedung SD Inpres, berikut rumah-rumah dinas kepala sekolah, ruang kelas baru dan rumah penjaga sekolah. Seluruhnya bernilai Rp 44 milyar lebih. Dalam ketentuan yang dibuat pejabat di beberapa kabupatan tadi disebutkan, semua bangunan baru itu tidak diperkenankan memakai atap genteng biasa - tapi harus beratap asbes. Sampai pertengahan Desember ini beberapa daerah di Jawa Barat belum mulai membangun proyek SD Inpres untuk tahun anggaran sekarang. Padahal semestinya pembangunan itu harus sudah selesai Maret 1982. Berdasarkan penelitian Thomas Sitepu, terungkaplah, bahwa keharusan memakai atap asbes itu berkaitan erat dengan keterlambatan pembangunan sekolah-sekolah tadi. Skandal itu terungkap, menurut Sitepu, tatkala kontrak antara PT Banma Group (penyalur asbes produksi PT James Hardia Indonesia--- JHI) dengan P&K Kabupaten Bandung (selaku pemilik proyek) akhir September 1981 tiba-tiba dibatalkan Bupati Bandung (selaku penanggungjawab proyek) Alasannya bupati meragukan kemampuan Banma Group menangani proyek bernilai Rp 1,78 milyar itu. Tentu saja Banjir W.T., Direktur Banma Group, naik pitam. "Padahal untuk mendapatkan proyek itu saya sudah mengeluarkan pelicin Rp 50 juta untuk para pejabat kabupaten dan beberapa organisasi pemuda," katanya. "Uang pelicin itu sudah biasa dalam dunia bisnis," tambahnya. Semula Banjir sudah membayangkan keuntungan 17% atau sekitar Rp 300 juta dari harga proyek--sebagaimana dijanjikan pihak JHI. "Itu sebabnya saya tak sayang membuang pelicin Rp 50 juta," ujar Banjir lagi yang kini urung kebanjiran komisi. Di Tasikmalaya dan Ciamis pengusaha lainnya, Halim Wibisono, senasib dengan Banjir. "Setelah kontrak dibatalkan, Manajer Penjualan JHI Harry Triwindu menemui bupati, entah untuk apa. Tapi saya masih menerima komisi Rp 22 juta dari JHI," kata Halim. Menurut dugaan Halim sebagian besar sisa komisi "dibagi-bagikan kepada para pejabat." Kasak-kusuk Harry Triwindu, menurut Banjir, juga mengambil-alih kontrak di Kabupaten Bandung. "Mungkin Harry menawarkan komisi lebih besar dari pelicin yang saya berikan," kata Banjir. Karena itu Sitepu berkesimpulan, ada beberapa pejabat yang menerima pelicin dari JHI sekaligus dari penyalur asbes di daerah. Mengenai uang pelicin itu, Harry Triwindu enggan memberikan keterangan. Begitu pula para pejabat yang disebut-sebut Banjir telah menerima pelicin tak bersedia menanggapi tuduhan Direktur Banma Group itu. Tapi Kepala Humas Pemda Jawa Barat, Drs. Dod Suwondo membenarkan adanya beberapa pejabat yang menerima uang komisi dari kontrak pembelian atap asbes itu. "Sejak dulu pengusaha asbes selalu kasak-kusuk memasarkan dagangannya sambil memberi uang komisi kepada beberapa pejabat," ungkap Suwondo. Beberapa pejabat, termasuk Sekwilda Kabupaten Bandung, Tatang Muchrom, membantah telah menerima suap. "Saya tidak pernah menerima pelicin dari Banjir. Ia menghambur-hamburkan pelicin atau tidak, itu bukan urusan saya," katanya tegas. Tatang akhirnya mengungkapkan, pembatalan kontrak di Kabupaten Bandung itu karena ada konflik antara JHI dan Banma Group. "JHI memutuskan hubungan dagang karena merasa tertipu oleh sanma Group yang memalsukan surat kontrak," cerita Tatang mengutip isi surat JHI kepada Bupati Bandung. Direktur Banma Group berkilah."Surat kontrak itu sah. Buktinya sudah ditanda-tangani oleh Bupati Bandung dan Kepala Dinas P&K," katanya sambil menunjukkan fotokopi surat kontrak tersebut. "Saya akan menuntut Harry Triwindu," katanya berang. Ketika akuntan JHI mengecek ke Bandung Oktober lalu, ternyata surat kontrak itu belum didaftarkan di kantor pajak. "Pemalsuan surat kontrak oleh Banma Group, terungkap ketika ditemukan bahwa surat kontrak yang tersimpan dalam file kabupaten ternyata lain," kata Harry. Surat kontrak yang diserahkan kepada JHI menyebut keharusan membuka rekening bersama di BRI Bandung sedang yang diserahkan ke kabupaten tidak menyebutkan ketentuan tersebut. Gubernur Aang Kunaefi sejak Oktober lalu menginstruksikan kepada seluruh bupati dan walikota di Jawa Barat, agar menggunakan genteng rakyat dalam pembangunan SD Inpres. "Hal itu untuk memenuhi anjuran Wapres Adam Malik agar membantu pemasaran genteng rakyat," kata Ka. Humas Ja-Bar. Dod Suwondo. Jadi, mengapa harus memakai gentcng asbes? Menurut Sekwilda Kabupaten Bandung, genteng asbes lebih rapi dan praktis. "Selain itu program pembangunan SD Inpres kan sudah punya standar, sedang genteng rakyat belum punya standar mutu." Thomas Sitepu, anggota FKP itu menuduh alasan tersebut tak masuk akal dan berbau komersial. "Itu bertentangan dengan Keppres 14 dan 14A. Dengan menggunakan genteng asbes, keuntungan beralih ke perusahaan PMA," kata Sitepu. JHI adalah perusahaan PMA (patungan Indonesia-Australia, beroperasi sejak 1976). Beberapa penyalurnya seperti Banjir W.T. dan Halim Wibisono adalah pengusaha nonpribumi. Karena itu Sitepu lantas menuding pemasangan genteng asbes di sebuah SD Inpres di Malangbong, Tasikmalaya, yang tidak rapi dan menggelembung di beberapa tempat. "Yang penting Pemda harus memperhatikan nasib lebih dari 1.000 pengusaha genteng rakyat di seluruh Ja-Bar yang kini terancam oleh pengusaha besar," katanya (lihat box). Menurut pengamatan Sitepu, penggunaan genteng asbes tidak praktis. Kalau selembar pecah, sulit menggantinya. Apalagi kalau hal itu terjadi di desa yang terpencil. Untuk mencari penggantinya harus ke kota, pakai ongkos transpor lagi. Dan harganya mahal: Rp 5.000/lembar. "Tapi kalau genteng produksi rakyat pecah, mudah diganti pada saat itu juga," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus