Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Yang Padam Sebelum Sidang

Polisi Riau menghentikan penyidikan kasus pembakaran lahan milik 15 perusahaan. Di Kementerian Lingkungan, pengusutan perkara serupa tetap berjalan.

1 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA puluhan orang bermasker memadati pintu masuk Kepolisian Daerah Riau pada Senin pekan lalu. Membawa aneka spanduk dan poster, kelompok pengunjuk rasa ini mengecam langkah polisi menghentikan penyidikan kasus kebakaran hutan Riau. Mereka mendesak polisi membuka kembali pengusutan perkara tersebut.

Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Made Ali mengatakan polisi telah melukai perasaan masyarakat Riau. "Polisi lupa banyak masyarakat di sini yang menjadi korban asap kebakaran," kata Made ketika memimpin unjuk rasa siang itu. "Polisi juga lupa mereka dan keluarganya pun terkena dampak asap."

Jikalahari yang pertama kali meramaikan penerbitan diam-diam surat perintah penghentian penyidikan (SP3) oleh Polda Riau ini. Semula, pada Selasa dua pekan lalu, Jikalahari mengungkap info soal penghentian penyidikan kasus pembakaran lahan yang diduga melibatkan sebelas perusahaan.

Kini penghentian penyidikan kasus pembakaran lahan di Riau tak hanya memantik kegeraman barisan aktivis lingkungan di sana. Di Jakarta, Presiden Joko Widodo dan sejumlah politikus di Dewan Perwakilan Rakyat juga mempertanyakan penutupan pengusutan kasus tersebut.

Kepala Polda Riau Brigadir Jenderal Supriyanto awalnya mengelak ketika ditanyai soal penghentian penyidikan ini. "Silakan tanya ke bagian Kriminal Khusus atau Humas," ujar Supriyanto, Sabtu dua pekan lalu. "Saya tidak mungkin mencampuri mereka." Kepala Bidang Humas Polda Riau Ajun Komisaris Besar Guntur Aryo Tejo pun hari itu belum bersedia berkomentar.

Polda Riau baru mengkonfirmasi kebenaran terbitnya SP3 keesokan harinya. Ternyata bukan 11, melainkan 15 perkara yang penyidikannya dihentikan. "Ada pelbagai alasan. Salah satunya tak cukup bukti," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau Komisaris Besar Rivai Sinambela.

* * *

HAMPARAN bekas gambut yang terbakar menyambut Made Ali dan kawan-kawan ketika mereka tiba di lahan konsesi PT Ruas Utama Jaya di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, awal Oktober tahun lalu. "Sepanjang penglihatan hanya ada arang. Semua habis terbakar," ucap Made menceritakan kembali perjalanan bersama empat anggota Jikalahari lainnya.

Akhir tahun lalu, hampir semua pengurus Jikalahari sibuk siang dan malam. Bergabung dalam Eyes on the Forest (EoF)—aliansi beberapa organisasi lingkungan di Riau—mereka menelisik peran 37 perusahaan yang tahun lalu diduga menyebabkan bencana kabut asap selama tiga bulan di provinsi tersebut. Dari 30-an perusahaan yang ditelisik EoF, 8 di antaranya termasuk yang sempat disidik tapi dihentikan oleh polisi. Salah satunya PT Ruas Utama Jaya.

Ketika turun ke lapangan, menurut Made, tim EoF antara lain berpatokan pada buku Pedoman Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan terbitan Kementerian Pertanian pada 2010. Dalam buku tersebut, ada sejumlah pakem bagi perusahaan dalam menyiapkan sarana pencegah kebakaran. Perhitungannya berdasarkan luas lahan milik perusahaan.

Bila merujuk pada buku tersebut, menurut Made, Ruas Utama Jaya, yang punya lahan konsesi sekitar 44 ribu hektare, masuk kategori tinggi potensi kebakaran. Perusahaan ini minimal harus mempunyai 10 unit menara pemantau api, 15 pompa air induk, dan 30 unit pompa punggung untuk pemadaman. Selain itu, mereka diwajibkan menyiagakan lima regu patroli, masing-masing terdiri atas 15 orang.

Faktanya, tim EoF tidak menemukan satu pun menara api dan pompa air di lahan Ruas Utama Jaya. Padahal titik api di sana terlihat sejak pertengahan Juli 2015. Api terus berkobar hingga akhir September tahun lalu, sehingga menghanguskan lahan seluas 500 hektare. "Kami curiga ada unsur pembiaran untuk membuka lahan gambut," kata Made.

Sepanjang musim kebakaran tahun lalu, menurut Made, citra satelit menunjukkan 30 titik api di lokasi milik Ruas Utama Jaya. Di beberapa tempat, api melahap gambut dengan kedalaman empat meter serta tanaman karet dan sawit yang berusia dua-enam tahun. Ketika tim EoF turun, di beberapa titik lahan Ruas Utama Jaya terpasang garis polisi.

Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau Ajun Komisaris Besar Ari Rahman Nafari berpendapat sebaliknya. Menurut dia, Ruas Utama Jaya memiliki sarana pemadam kebakaran yang memadai. "Ketika terjadi kebakaran, perusahaan bergerak cepat memadamkan api," tutur Ari ketika menjelaskan alasan penghentian penyidikan perkara atas nama (korporasi) PT Ruas Utama Jaya.

Alasan lain, menurut Ari, lahan yang terbakar berstatus sengketa antara penduduk lokal dan perusahaan. Ruas Utama Jaya tak pernah menguasai lahan tersebut karena "diduduki" masyarakat. Polisi memakai alasan serupa untuk menghentikan penyidikan perkara atas nama PT Dexter Rimba Perkasa. Menurut penelusuran EoF, kedua perusahaan terafiliasi pada grup Asia Pulp and Paper.

Juru bicara Asia Pulp and Paper, Nurul Huda, enggan berkomentar banyak terkait dengan tudingan pembakaran hutan yang dialamatkan kepada Ruas Utama Jaya dan Dexter. "Kami ikuti saja aturan hukum yang berlaku," ujarnya.

Temuan Made dan kawan-kawan senada dengan kesaksian Kepala Laboratorium Kebakaran Lahan dan Hutan Institut Pertanian Bogor Bambang Hero Saharjo. Bambang adalah saksi ahli yang didatangkan Polda Riau untuk menelusuri keterlibatan perusahaan dalam pembakaran lahan. Bambang turun ke dua lokasi yang berbeda. Salah satunya kebun milik PT Riau Jaya Utama di Desa Mentulik, Kabupaten Kampar, Riau. Dia ke lapangan bersama tim Polda Riau pada 2 Oktober 2015.

Bambang bercerita, titik api masih menyala ketika tim tiba di kebun Riau Jaya Utama. Di lokasi yang terbakar, ia tak melihat satu pun menara api. Tak ada pula regu pemadam api yang bersiaga. Padahal, menurut Bambang, Riau Jaya Utama, yang memiliki lahan sekitar 1.500 hektare, seharusnya menyediakan minimal 5 menara pengawas api, 30 unit pompa punggung, dan 4 set pompa air induk dengan kapasitas 45,6 kilowatt. Perusahaan juga tak bergerak cepat ketika api mulai terlihat pada awal September 2015. "Makanya, sekali lihat, saya langsung menyimpulkan perusahaan lalai," katanya. "Ada unsur pembiaran dan kesengajaan."

Pengurus Riau Jaya Utama belum bisa dimintai konfirmasi. Penelusuran ke alamat mereka di Jalan Soekarno-Hatta, Pekanbaru, nihil. Alamat kantor perusahaan di jalan tersebut tak ditemukan.

Menurut Bambang, perusahaan yang tidak menyediakan sarana pencegahan kebakaran sudah masuk kategori lalai. Dalam penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan, menurut dia, "Unsur alpa sudah dapat digolongkan sebagai pidana." Bambang pun merujuk pada Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Toh, Polda Riau memilih mengesampingkan keterangan Bambang yang masuk berita acara pemeriksaan. Menurut Ajun Komisaris Besar Ari Rahman Nafari, belasan perusahaan yang disidik sudah memiliki sarana pencegah dan pemadam kebakaran yang memadai. Menurut polisi, perusahaan pun telah berupaya memadamkan api.

Kesimpulan polisi sebangun dengan keterangan saksi ahli dari Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau, Nelson Sitohang. Kepada polisi, Nelson misalnya menyebutkan Riau Jaya Utama memiliki tiga unit mesin pompa air, lima gulung slang, dan dua unit alat berat sebagai sarana pencegahan yang mencukupi. Di mata Nelson, sarana itu sudah memadai.

Ketika dimintai konfirmasi, Nelson menolak berkomentar. Ia meminta Tempo bertanya kepada penyidik Polda Riau. "Penyidikannya ada di sana," ujar Nelson melalui pesan pendek.

Dugaan unsur kesengajaan juga muncul dalam laporan tim Eyes on the Forest yang turun ke lahan milik PT Hutani Sola Lestari di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, pada pertengahan Oktober 2015. Menurut Made, investigator EoF tak menemukan sarana pencegahan kebakaran yang mencukupi. Menurut laporan EoF, indikasi kesengajaan terlihat dari bekas lahan terbakar yang bersih dari tunggul pohon. "Seperti siap dipakai," kata Made. Bahkan di beberapa titik yang belum terjamah api pun terlihat bekas pohon ditebang. "Itu biasanya akan dibakar."

Bau kesengajaan juga tercium di kebun milik PT Sumatera Riang Lestari di Kabupaten Pelalawan, Riau. Di sana tim investigasi EoF menemukan kanal-kanal air yang melintasi lahan gambut. Pembuatan kanal merupakan salah satu cara untuk "menguras" kandungan air gambut. Akibatnya, banyak pohon yang meranggas dan mudah terbakar.

Pada kasus Sumatera Riang Lestari, Polda Riau juga beralasan bahwa yang terbakar merupakan lahan sengketa perusahaan dengan masyarakat. "Perusahaan tak pernah menguasai lahan," ujar Ari. "Penduduk yang menanaminya dengan sawit dan karet."

Adapun PT Hutani Sola Lestari, menurut Ari, sudah mendapat sanksi administrasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada September tahun lalu. Karena itu, polisi tak menyidik lagi perusahaan ini. "Sanksi administrasi merupakan garda terdepan penegakan hukum lingkungan." Apalagi, kata Ari, kasus Hutani Sola Lestari juga sedang ditelisik Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Juru bicara Sumatera Riang Lestari dan Hutani Sola Lestari, Abdul Hadi, mengapresiasi keputusan polisi yang menghentikan penyidikan atas perusahaan tersebut. Menurut Abdul, perusahaan juga menghormati proses hukum yang berjalan di Kementerian. Berdasarkan catatan EoF, kedua perusahaan ini berada di bawah naungan bendera Riau Andalan Pulp and Paper.

Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Muhammad Yunus membenarkan pengusutan pidana Hutani Sola Lestari oleh mereka. "Kami akan menjerat korporasinya," ucapnya. Ia menuturkan, Kementerian sedang mengumpulkan bukti yang bisa menunjukkan adanya kelalaian perusahaan.

Selain menyidik Hutani Sola Lestari, menurut Yunus, Kementerian Lingkungan menyidik dua perkara pidana pembakaran lahan. Perusahaan yang diduga bertanggung jawab adalah PT Triomas Forestry Development Indonesia dan PT Jatim Jaya Perkasa. Penyidik Kementerian sudah melimpahkan berkasnya ke Kejaksaan Agung. "Awal Agustus penyerahan berkas ke pengadilan," ujar Yunus.

Berbeda dengan pengusutan di Polda yang "padam" sebelum sidang, pengusutan pembakaran lahan di Kementerian Lingkungan Hidup lebih maju. Tercatat 23 perusahaan sudah diberi sanksi administrasi, yang paling berat berupa pembekuan izin. "Perusahaan terbukti lalai sehingga menyebabkan kebakaran," kata Yunus.

Kementerian Lingkungan juga menempuh jalur gugatan perdata. Ada empat kasus yang memasuki persidangan. Pertama, gugatan Kementerian Lingkungan melawan PT Bumi Mekar Hijau di Pengadilan Negeri Palembang. Namun, awal Februari lalu, pengadilan memenangkan Bumi Mekar Hijau. Perusahaan tersebut lolos dari tuntutan ganti rugi Rp 7,9 triliun. Kementerian masih mengajukan permohonan banding.

Kemudian ada gugatan melawan PT Jatim Jaya Perkasa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Di sini Kementerian Lingkungan memenangi perkara. Hakim mewajibkan Jatim Jaya Perkasa membayar ganti rugi sebesar Rp 29 miliar, dari gugatan sebesar Rp 491 miliar. Meski menang, Kementerian Lingkungan tetap mengajukan permohonan banding karena ganti rugi yang diputuskan hakim mereka anggap terlalu kecil.

Berikutnya gugatan melawan PT National Sago Prima di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam kasus ini, Kementerian menuntut ganti rugi sebesar Rp 1,2 triliun. Kasus ini tinggal menunggu putusan. Pengadilan sudah dua kali menjadwalkan pembacaan putusan, tapi ditunda karena hakim belum siap. Terakhir, gugatan perdata Kementerian menghadapi PT Waringin Agro Jaya. Berkasnya baru masuk Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 18 Juli lalu.

Seperti halnya tim EoF, Kementerian Lingkungan Hidup berpegang pada kitab Pedoman Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan sebagai pintu masuk mengusut keterlibatan perusahaan. Di lapangan, tim Kementerian biasanya menelisik apa yang sudah dilakukan pemilik lahan untuk mencegah dan mengatasi kebakaran. "Kalau iktikadnya baik, mereka pasti menyediakan sarana pencegahan yang memadai," ujar Yunus.

Syailendra Persada (Jakarta), Riyan Novitra (Pekanbaru)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus