Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

'Disclaimer' untuk BPPN

Kinerja BPPN mengecewakan. Institusi ini harus dibenahi sebelum negara dirugikan lebih parah lagi.

2 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GELOMBANG kecaman yang ditujukan ke BPPN tak kunjung surut. Sebagai lembaga yang menguasai aset negara senilai Rp 600 triliun, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terus diincar dan dicecar. Barisan pengincar terdiri dari konglomerat seperti Texmaco, Chandra Asri, Gadjah Tunggal, Raja Garuda Mas. Lalu, disusul debitor pemilik bank beserta kelompok pengusaha yang masih digayuti kredit macet. Percaya atau tidak, belakangan ini bahkan kalangan elite politik juga aktif mengincar BPPN. Mereka mungkin mengepit hidden agenda yang keberhasilannya terkait erat dengan peran BPPN.

Berseberangan dengan pengincar, ada para pencecar, tempat sejumlah anggota DPR pegang peranan. Mereka begitu keras melabrak BPPN, misalnya dengan mensinyalir budaya korup di lembaga itu. Namun, aktivis LSM tak kalah vokal, begitu pula pengamat ekonomi, pakar hukum, orang-orang pers. Para ekonom meragukan kesungguhan kerja BPPN, di samping mempertanyakan manajemennya. Pakar hukum mempersoalkan wewenang BPPN yang terlalu besar sehingga sulit dikontrol. Pihak LSM mengecam tindakan atau kebijakan BPPN yang tidak lazim, sementara orang pers mempersoalkan apa saja: dari dana BPPN sebesar Rp 8 triliun yang tidak disetor ke kas pemerintah, sengketa BPPN melawan Sjamsul Nursalim, sampai kesimpulan disclaimer (tanpa opini) atas neraca BPPN 1998-1999 yang diaudit kantor akuntan publik Hans Tuanakotta Mustafa/Deloitte Touche Tomatsu. Hasil audit itu dibocorkan ke publik, pekan silam, beberapa hari sebelum akuntan mengumumkannya secara resmi, 30 Juni 2000.

Disclaimer atau tidak, BPPN memang perlu dan harus dikritik karena lembaga itu tak juga memperbaiki kinerjanya. Hal itu terjadi sejak periode Glenn Yusuf—manakala kinerja BPPN dinilai disclaimer seperti yang tadi diuraikan—sampai kini, ketika Cacuk Sudarijanto berusaha untuk lebih transparan. Hanya, patut disayangkan, setelah enam bulan Cacuk di BPPN, kinerja lembaga itu tak kunjung membaik. Selain lamban, tak terlalu sulit untuk memastikan bahwa aparat BPPN mirip semacam kepentingan bercokol, yang masih sempat berhura-hura, sementara nasib uang negara tak pernah menjadi prioritas utama. Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Kwik Kian Gie bahkan menduga telah terjadi persekongkolan antara BPPN dan pihak debitor, sehingga data aset bank yang dialihkan ke BPPN rusak atau hilang. Sangat masuk akal mengapa hasil audit dinyatakan disclaimer alias tanpa opini. Soalnya, pihak auditor ragu karena mereka tidak yakin pada sejumlah data, baik data internal BPPN maupun data di luar BPPN.

Kalau mau mengambil hikmahnya, hasil audit disclaimer harus dijadikan titik tolak untuk membenahi aparat, sistem, dan manajemen BPPN. Pembenahan ini mutlak karena sebuah lembaga yang cara kerjanya acak-acakan tidak akan pernah mampu membenahi sektor perbankan yang sudah rusak berat. Intinya, kalau BPPN tidak sehat secara institusional, bagaimana lembaga itu sanggup menyehatkan perbankan nasional? Jadi, BPPN harus lebih dulu sehat. Ini pun tidak cukup karena ada dua persyaratan lain. Pertama, kerja BPPN perlu dikontrol secara ketat oleh badan pengawas yang memiliki akses ke BPPN dan integritas anggotanya tak diragukan. Kedua, elite politik tidak dibenarkan mengintervensi BPPN karena campur tangan itu bisa menggagalkan upaya Cacuk untuk menangani kredit macet dan menyelamatkan uang negara. Kasus Texmaco, Chandra Asri, Gadjah Tunggal, dan Djajanti tidak perlu diperpanjang dengan kasus-kasus serupa lainnya. Masyarakat belum tentu sepenuhnya memahami apa yang sudah dan sedang terjadi. Namun, karena yang dipertaruhkan adalah uang negara Rp 600 triliun, dan rekapitalisasi perbankan dibiayai oleh APBN yang notabene bersumber dari uang rakyat, setiap penyimpangan yang terjadi—baik oleh BPPN maupun petinggi di luar BPPN—perlu diluruskan segera. Hukumnya wajib dan jangan ditunda-tunda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus