Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia tak hanya dilanda kejadian luar biasa (KLB) karena wabah demam berdarah yang telah menelan ratusan korban jiwa. Tanpa disadari, industri minyak dan gas Indonesia sebenarnya saat ini juga sedang mengalami "KLB".
Betapa tidak. Data statistik menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir ini investasi migas anjlok, begitu juga produksi minyak mentah. Pada 1998, produksi minyak Indonesia masih 1,4 juta barel, tapi awal tahun ini cuma 900 ribu barel per hari. Ini berarti kembali ke tingkat produksi tahun 1971, ketika industri migas nasional masih belum berkembang. Semenjak OPEC menerapkan sistem kuota sekitar dua dekade lalu, baru belakangan inilah Indonesia tidak mampu memenuhi kuota yang diberikan OPEC.
Sebenarnya, penurunan produksi minyak suatu negara merupakan hal yang sangat wajar, mengingat secara alamiah kemampuan produksi sumur minyak akan berkurang seiring dengan perjalanan waktu. Tetapi, dengan investasi, baik untuk meningkatkan recovery factor maupun untuk mencari cadangan baru, laju penurunan bisa direm dan bahkan di banyak negara yang sudah mengalami periode mature, produksi malah bisa digenjot kembali. Namun investasi minyak dan gas yang diharapkan dan jumlah kegiatan eksplorasi dan kontrak production sharing (KPS) yang baru sangat mengecewakan.
Penurunan produksi ini akan menyebabkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak mampu menciptakan lapangan kerja dan membiayai pembangunan prasarana seperti sekolah, kesehatan, dan jalan raya. Penurunan produksi dan investasi ini merupakan dampak dari perubahan secara radikal tatanan industri migas nasional dengan digantinya UU No. 44/1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan UU No. 8/1971 tentang Pertamina, dengan UU Migas No. 22/2001.
Pada saat pembahasan RUU Migas di DPR, berbagai pihak telah mengingatkan mengenai dampak negatif yang mungkin timbul jika RUU Migas disahkan. Dan sebenarnya, untuk mengakomodasi dinamika "globalisasi" dan untuk menghindari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme di sektor migas, akan lebih tepat kalau UU Pertamina cukup disempurnakan saja.
Sekalipun mengandung kelemahan, UU Pertamina terbukti berhasil menciptakan industri migas nasional dari sisa-sisa puing lapangan dan kilang minyak di Pangkalan Brandan yang hancur akibat perang menjadi sebuah industri migas modern yang telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Pada periode 1972_1998 produksi minyak mentah dapat dipertahankan pada angka 1,4-1,6 juta barel. Indonesia juga tercatat sebagai eksportir LNG terbesar di dunia.
Kini kondisi industri migas nasional sangat memprihatinkan. Produksi sudah jatuh, investor masih ragu untuk masuk.
Akar Permasalahan
Masalah yang tampaknya kurang disadari para inisiator RUU Migas, perubahan secara mendasar aturan hukum industri migas nasional akan menciptakan risiko yang sangat besar berupa timbulnya ketidakpastian usaha selama proses perubahan berlangsung. Kondisi tersebut diperparah oleh situasi keamanan di beberapa daerah yang tidak kondusif, di samping lemahnya penegakan hukum.
Terlebih lagi, substansi isi UU Migas ini ternyata justru menimbulkan kerancuan baru dan malah menciptakan disinsentif karena proses investasi migas jadi lebih birokratis, dari sebelumnya hanya satu atap menjadi tiga atap. UU Migas ini juga menghapus asas lex specialist yang selama ini diberikan khusus kepada investor migas dengan membebaskan segala pungutan/pajak selama periode eksplorasi karena selama periode ini investor belum tentu menemukan migas. Akibat UU Migas, kini investor dibebani berbagai pungutan dan pajak semasa periode eksplorasi.
Kini, setelah investasi turun, pemerintah memecahkannya dengan mengurangi split/bagian negara yang cukup signifikan. Pengurangan untuk menarik investor ini pada kenyataannya lebih banyak merugikan dalam jangka panjang karena pengurangan split tersebut bersifat langgeng, yakni selama usia cadangan atau selama usia perjanjian—yang berarti bisa sampai 50 tahun. Sedangkan bila investor hanya dibebaskan dari segala pajak/pungutan selama periode eksplorasi seperti yang berlaku di bawah UU Pertamina, "kerugian" negara lebih bersifat jangka pendek dan jumlahnya pasti jauh lebih rendah.
Selain itu, insentif tambahan split ini akan lebih banyak menarik investor baru yang berasal dari negara yang "bebas pajak". Sedangkan perusahaan minyak dunia yang sudah berpengalaman lebih melihat pada kepastian usaha dan aturan hukum yang konsisten dan tidak rancu. Soalnya, tambahan pendapatan dari perubahan split yang akan mereka terima akhirnya akan dikenai pajak yang sangat tinggi di negara asalnya. Dengan demikian, penerapan asas lex specialist bagi investor migas sebenarnya masih diperlukan.
Kerancuan Industri LNG
Gambaran yang memprihatinkan dari industri migas nasional tersebut diperparah oleh semakin kacaunya pengelolaan industri gas/LNG nasional. Dengan UU Migas, nama besar Pertamina di pasar LNG Asia "dirusak" sendiri dengan menciptakan banyak penjual sehingga memperlemah posisi tawar LNG Indonesia. Kerancuan pemasaran LNG Indonesia muncul karena BP (Badan Pengelola) Migas memasarkan secara aktif LNG Tangguh.
Pemasaran LNG oleh lembaga regulator seperti ini potensial menghasilkan perjanjian jual-beli yang cacat hukum karena melanggar UU Migas itu sendiri. Cara ini juga tak akan pernah bisa memperkuat posisi tawar Indonesia mengingat BP Migas yang bukan entitas bisnis tidak bisa ikut berinvestasi di proyek hilir LNG di negara pembeli. Padahal tren di seluruh lini dalam mata rantai bisnis LNG bisa dimasuki oleh siapa saja, di mana penjual LNG bisa memperkuat posisi tawar dengan ikut masuk di proyek hilir di negara pembeli LNG, seperti di proyek receiving terminal, regasification plant, maupun di proyek pembangkit listrik dan petrokimia.
UU Migas juga telah memicu tuntutan para pembeli LNG di Jepang agar harga LNG tidak lagi dikaitkan dengan harga minyak mentah Indonesia, mengingat penjualan dan harga ekspor minyak mentah Indonesia tidak lagi dikontrol oleh Indonesia melalui BUMN migas seperti yang dilakukan selama lebih dari 40 tahun, melainkan dilakukan para trader yang ditunjuk BP Migas.
Jepang juga menuntut harga jual LNG Indonesia diturunkan karena BP Migas dan kontraktor telah menjual LNG Tangguh dengan harga yang sangat murah, jauh di bawah harga beli pembeli Jepang selama ini. Bahkan harga jual LNG Tangguh ke Cina dalam nilai kalorinya ternyata lebih rendah dari harga minyak tanah bersubsidi yang dibeli masyarakat miskin di Indonesia. Agar dapat diperbandingkan secara apple to apple, dengan asumsi 1 US$=Rp 8.500 dan harga minyak tanah yang dibayar masyarakat Rp 850 per liter, ternyata harga minyak tanah setara dengan US$ 2,71 per mmbtu, sementara harga jual LNG Tangguh ke Cina hanya US$ 2,40 per mmbtu.
Belum lagi kalau posisi LNG plant diubah dari cost center di hulu yang selama ini diterapkan sesuai dengan UU Pertamina menjadi profit center di hilir sesuai dengan UU Migas karena hal itu akan mengurangi pendapatan negara. Dengan harga yang sangat murah ditambah tuntutan kontraktor agar bunga modal fasilitas LNG Tangguh jadi beban negara, penerimaan negara dari kilang ini jadi sangat kecil. Sementara itu, di seberang sana, Cina dengan tenang menikmati sumber energi bersih dengan harga murah untuk jangka waktu yang sangat panjang dengan jaminan pasokan, tidak saja karena ada sales agreement tetapi juga karena pihak Cina (CNOOC) secara fisik ikut hadir dan memiliki LNG Tangguh.
Dengan UU Migas, pengembangan proyek LNG Tangguh dengan nilai miliaran dolar diserahkan kepada KPS. KPS yang menentukan teknologi, kontraktor, pemasok, sumber pendanaan, dan sebagainya, meskipun atas persetujuan BP Migas. Sistem ini sulit dikontrol secara efektif mengingat BP Migas merupakan lembaga baru yang bukan entitas bisnis dan belum berpengalaman menangani LNG, di samping belum jelasnya aturan main secara detail karena PP hulu dan PP hilir yang belum ada.
Dengan menelaah keadaan di atas, jalan keluar yang elegan dan rasional dari kemelut ini adalah dengan menyempurnakan UU Migas. Jika pemerintah dan DPR sekarang ini tidak cukup waktu untuk melakukannya, ini merupakan pekerjaan yang harus ditangani DPR dan pemerintah hasil Pemilu 2004.
(Pendapat dalam tulisan ini tidak otomatis menjadi pendapat Pertamina)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo