Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Pemilu 2004: Awal Konsolidasi Demokrasi?

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Pemilu 2004: Awal Konsolidasi Demokrasi?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Todung Mulya Lubis Pendiri Center for Electoral Reform (Cetro)

Ketua Partai Perhimpunan Indonesia Baru, Sjahrir, dalam sebuah diskusi menjelang vonis Akbar Tandjung, mengatakan bahwa dia tidak setuju Akbar Tandjung bebas tetapi dia yakin Akbar Tandjung akan bebas. Di mata Sjahrir, bebasnya Akbar Tandjung itu penting karena dalam Pemilu 2004 nanti akan terlihat yang mana "Indonesia Lama" dan yang mana "Indonesia Baru". Rakyat akan dihadapkan pada pilihan mau menuju Indonesia Baru atau mau kembali ke Indonesia Lama, atau setidaknya berada di antara keduanya.

Signifikansi dari pernyataan di atas adalah bahwa seyogianya Pemilu 2004 menjadi pemilu yang mengucapkan selamat tinggal kepada masa lalu yang represif dan tidak demokratis. Transisi yang dimulai sejak jatuhnya Soeharto (1998) hendaknya mencapai titik akhir, dan negeri ini mulai memasuki babak baru dan kita bisa melakukan apa yang oleh Anthony Giddens dalam The Third Way disebut sebagai deepening of democracy—suatu proses konsolidasi demokrasi. Bukankah kita sudah memiliki paket UU Pemilu, UU Pemilihan Presiden, UU Partai Politik, UU Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, dan DPRD, serta UU Mahkamah Konstitusi, yang menjadi basis yuridis dari konsolidasi demokrasi yang membuka pintu gerbang ke arah Indonesia Baru?

Pertanyaannya: apakah Pemilu 2004 akan betul-betul dapat menjadi akhir dari zaman transisi? Jawabnya: tidak. Meskipun Soeharto sudah jatuh pada 1998 dan kita seolah-olah berada pada zaman transisi, nyatanya kita tak pernah berada pada zaman transisi. Pemerintahan sekarang ini, meski diisi oleh orang baru, mayoritas masih berada di tangan orang Orde Baru. DPR dan Mahkamah Agung kita, meski diisi oleh muka-muka baru, mayoritas masih dikuasai oleh orang-orang Orde Baru. Demikian juga pada tingkat pemerintahan daerah, baik itu provinsi maupun kabupaten.

Perubahan politik di beberapa negara Eropa Timur menunjukkan adanya garis pisah antara rezim yang baru dan rezim yang lama. Di sana dikenal istilah politik lustrasi, yaitu politik yang melarang orang dari rezim lama menduduki jabatan publik, setidaknya untuk satu jangka waktu tertentu—mungkin satu atau dua pemilu. Karena itu tidak aneh, misalnya, kalau kita melihat banyak pejabat publik di beberapa negara Eropa Timur yang betul-betul berusia muda, penuh idealisme tetapi tak mempunyai banyak pengalaman lapangan.

Di Indonesia tidak ada politik lustrasi. Ketika Soeharto jatuh, rezim penggantinya adalah rezim Habibie yang notabene merupakan kelanjutan dari rezim Soeharto. Lihatlah kebijakan pemerintahan Habibie yang melahirkan beberapa liberalisasi politik dan media tetapi tetap tidak menghabiskan peninggalan rezim sebelumnya. Banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia masa silam yang tidak dibongkar, dan Golkar sebagai benteng Orde Baru tetap diperbolehkan ikut pemilu.

Seperti kita ketahui, secara terbuka orang-orang Golkar turut serta memimpin rezim yang berkuasa sekarang ini, baik itu pada masa Abdurrahman Wahid maupun Megawati.

Kalau kita telaah lebih jauh, 48 partai yang ikut dalam Pemilu 1999 dan 24 partai yang akan turut dalam Pemilu 2004 ini, jelas terlihat bahwa banyak sekali partai yang berbau Orde Baru karena memang didirikan oleh orang Orde Baru. Demikian juga dengan kebanyakan calon presiden yang bertarung dalam konvensi Partai Golkar yang dijejali para penikmat Orde Baru. Adapun anak Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana, sekarang sudah pula bertarung sebagai calon presiden.

Lalu apakah tidak ada partai dan orang baru dalam medan politik menjelang Pemilu 2004? Jawabnya ada, tetapi jumlahnya kalah banyak dengan orang Orde Baru. Lihat saja PDIP yang justru banyak dimasuki oleh orang Orde Baru. Jadi, betapa sukarnya membaca medan politik yang sesungguhnya tak banyak mengalami perubahan, bukan saja dari sisi orang tetapi juga dari sisi perilaku (behavior). Lihat saja masalah korupsi, tetap saja tidak ada perubahan, malah sekarang tingkat korupsi semakin memprihatinkan, di pusat dan daerah.

Saya tetap mengakui bahwa perubahan bukan tidak terjadi. Pertama, sistem pemilu kita sudah menganut sistem proporsional terbuka (terbatas). Artinya, pemilih boleh mencoblos nama calon anggota legislatif meski masih boleh juga mencoblos hanya tanda gambar. Ini suatu kemajuan, tetapi ironisnya kampanye partai politik kita hampir semuanya mengarahkan agar pemilih mencoblos tanda gambar. Ini artinya partai politik masih menginginkan kedaulatan partai, bukan kedaulatan rakyat.

Kedua, kita bakal punya Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ini juga suatu langkah maju tetapi kita ketahui bahwa peran DPD sangatlah terbatas. Sepertinya DPD itu adalah junior partner dari DPR. Jadi, DPD kita tidak sama dengan Senat di Amerika, misalnya. Selain itu, banyak calon anggota DPD berasal dari orang Orde Baru, yang pasti tak akan banyak membawa perubahan dalam kehidupan politik kita.

Ketiga, kita untuk pertama kali akan mengadakan pemilihan presiden-wakil presiden secara langsung. Ini juga suatu langkah maju. Tetapi kita tidak melihat bahwa proses pemilihan presiden-wakil presiden ini akan berjalan dengan betul-betul demokratis karena masih belum jelasnya pengaturan. Secara internal, partai politik tak melakukan proses pemilihan calon yang penuh dengan pertarungan kecuali Partai Golkar. Ada asumsi bahwa ketua partai otomatis menjadi calon presiden. Selain itu, KPU sendiri masih belum membuat aturan main yang menjamin demokratisnya pemilihan presiden, misalnya tentang perlunya debat antarcalon presiden.

Dalam kesempatan ini patut juga dicatat beberapa perubahan politik lain yang kita hasilkan, seperti telah hadirnya Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ini juga suatu langkah maju yang tak dapat kita nafikan. Hanya, kita masih menanti kiprah mereka di tengah harapan yang begitu besar yang ditumpahkan kepada mereka. Terlalu cepat untuk menilai sepak terjang kedua lembaga tersebut. Selain itu, desentralisasi yang terjadi sekarang ini juga harus dilihat sebagai bagian dari upaya untuk keluar dari sentralisme politik yang otoriter pada masa Orde Baru.

Kalau kita buat neraca, kesimpulan bahwa Pemilu 2004 tak akan menghasilkan banyak perubahan bukanlah kesimpulan yang tanpa dasar. Kalaupun ada, perubahan itu akan sangat incremental. Bangsa ini akan berjalan tertatih-tatih, dan tertinggal jauh dari Korea Selatan, misalnya. Tak salah kalau banyak yang menyimpulkan bahwa sesungguhnya reformasi yang sering dipergunjingkan selama ini hanyalah reformasi setengah hati. Kita ternyata tak sepenuhnya siap melakukan perubahan.

Tetapi kita tidak sendirian. Pengalaman di banyak negara yang keluar dari transisi menuntut waktu panjang, tidak selesai dalam satu atau dua pemilu. Malah, di beberapa negara, transisi itu membutuhkan 4 atau 5 pemilu. Di Rusia, misalnya. Transisi dari pemerintahan fasis komunis masih belum sepenuhnya selesai. Glasnost yang dimulai oleh Gorbachev tak menggelinding seperti yang diharapkan oleh banyak orang di Rusia, dan sekarang banyak sekali orang yang merasa terdisilusi dengan perkembangan di Rusia di bawah pemerintahan Putin. Berbagai peristiwa politik mutakhir menunjukkan bahwa korupsi dan authoritarianism masih berlangsung terus. Keinginan untuk sungguh-sungguh mengadopsi demokrasi masih sebatas retorika politik yang diucapkan sehari-hari. Rezim politik di negeri ini pun melakukan hal yang sama.

Bagaimanapun, pemilu akan tetap berlangsung. Partai politik sudah menabuh genderang perang. Lalu, seperti saya katakan di atas, perubahan mungkin tidak akan banyak terjadi.

Olle Tornquist, pakar politik dari Universitas Oslo, Norwegia, mengatakan, "Banyak orang memandang Pemilu 2004 tidak penting bagi demokratisasi di Indonesia, karena adanya keikutsertaan sisa-sisa Orde Baru dalam pemilihan umum. Saya sendiri sulit melihat representasi aktivis atau aspirasi demokrasi yang sejati dalam Pemilu 2004. Pemilu, bagi sebagian orang, tidaklah penting dalam proses demokratisasi, karena dianggap tidak merefleksikan reformasi" (Kompas, 31 Januari 2004).

Tornquist, saya kira, benar. Saya hanya tidak gembira karena reformasi yang diimpikan oleh banyak orang ternyata masih tinggal impian yang tak kesampaian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus