Telepon di rumah William Fulco berdering dua tahun lalu. Profesor studi kawasan Mediterania kuno di Loyola Marymount University, Los Angeles, ini bersegera mengangkatnya. Dari seberang, terdengar suara yang telah lama ia kenal. ”Hei Padre, ini Mel Gibson. Aku membawa proposal yang tak biasa buat kamu.” Proposal yang dimaksud tak lain naskah film The Passion of the Christ dalam bahasa Inggris yang harus ditranslasi ke dalam bahasa Aramaik. Fulco dinilai orang yang tepat melakukannya. Sebagai pakar studi Mediterania, ia juga cakap berbahasa Aramaik.
Gibson begitu ngotot agar film tentang 12 jam menjelang penyaliban Yesus ini tampil dalam nuansa masa lalu yang kuat. Salah satu caranya adalah menampilkan dialog dalam bahasa Aramaik. Tak mudah, memang, karena bahasa kuno yang digunakan Yesus selama hidupnya ini nyaris punah. Keberadaannya tergusur oleh bahasa lain yang datang kemudian, terutama bahasa Latin dan bahasa Arab, yang hadir bersama peradaban mereka. ”Padahal dominasi bahasa Aramaik waktu itu seperti bahasa Inggris sekarang,” kata Dr. Martin Harun, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Bahasa Aramaik merupakan bahasa yang digunakan masyarakat Assyria, Kaldynia, Yahudi, dan Syria sejak 900 tahun sebelum Masehi. Istilah Aramaik diambil dari kata Aram, cucu Nabi Nuh dari anak kelimanya, Sam. ”Makanya, ada yang menyebut bahasa Aram,” kata Martin. Bahasa ini pertama kali berkembang di Padan Aram, lembah di barat daya Mesopotamia, yang dihuni anak-cucu Aram. Dari lembah inilah bahasa Aramaik berkembang menjadi bahasa utama masyarakat Mesopotamia dan menembus Imperium Assyria dan Babylonia.
Sebagai bahasa yang terus berkembang, Aramaik mengalami penyesuaian dengan tradisi lokal. Idiom yang digunakan bercampur dengan budaya setempat. Begitu pula dialek, pengucapan, dan penulisannya yang tak berhenti pada satu pakem. Selama 15 abad perjalanannya, bahasa Aramaik ”terbelah” dalam dua aliran besar: Aramaik Barat dan Aramaik Timur. Aliran ini muncul berdasarkan dialek utama masyarakat yang menggunakannya. Aramaik Barat bersandar pada dialek Yahudi yang berkembang di Yerusalem, Talmud, dan Talgum. Sedangkan Aramaik Timur muncul berdasarkan dialek Syriak di wilayah Assyria, Kaldynia, Babylonia, dan Mundai.
Ada beberapa fase perkembangan bahasa Aramaik. Fase keempat, antara abad ke-2 sampai ke-7, yang disebut Aramaik Mutakhir. Fase terakhir inilah yang diyakini sebagai bahasa sehari-hari Yesus selama hidupnya. Fase ini diyakini pula sebagai fase puncak perkembangan. Bahasa Aramaik menjadi bahasa utama spiritual dan intelektual penganut agama samawi alias kaum Semit masa itu. Sebagaimana bahasa Ibrani bagi Yahudi dan bahasa Arab bagi penganut Islam. ”Tiga bahasa itu menjadi bahasa spiritual tiga agama Semit karena berasal dari rumpun yang sama,” kata Franz Rosenthal, profesor studi bahasa kuno dalam Journal Near Eastern. Jangan heran jika tiga bahasa tersebut punya kemiripan dari berbagai sisi.
Huruf dalam bahasa Aramaik dan Ibrani punya beberapa kemiripan bentuk. Beberapa huruf bisa disambung dengan huruf lain untuk membentuk kata. Hal serupa juga bisa ditemukan dalam bahasa Arab. Kosakata yang dimiliki tiga bahasa ini juga berdekatan. Kata ”tidak” dalam bahasa Aramaik disebut ”la”. Sama persis dengan kosakata Arab. Beberapa kosakata Arab dan Ibrani juga punya kemiripan. Bangsa Israel dalam bahasa Arab disebut ”bany Israil”. Sedangkan Ibrani menyebutnya ”benei Yisra’il.”
Dalam perkembangan selanjutnya, bahasa Aramaik lambat-laun berkurang. Skala penggunaannya juga menyempit pada ritual peribadatan yang bersumber dari Kitab Perjanjian Baru yang ditulis dalam bahasa Aramaik.
Kini bahasa Aramaik ”cuma” menjadi wilayah kajian tentang peradaban Mediterania. Namun, bukan berarti ia punah sama sekali. Harian The Christian Science Monitor, 29 Januari 2004, menemukan fakta menarik. Bahasa Aramaik ternyata masih digunakan dalam ritual peribadatan 130 tokoh Katolik Maronit di Kormakiti, Siprus. Mereka tetap mendaras doa sebagaimana bahasa yang digunakan Yesus semasa hidup. Dialek mereka terpengaruh dialek Arab sehingga bahasa Aramaik dari Kormakiti ini disebut gaya Arab Maronit Siprus.
Sayang, sebelum membuat The Passion, Mel Gibson tak menemui mereka. Aktor Hollywood ini cukup puas dengan mempercayai terjemahan William Fulco.
Arif Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini