Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun pemilihan presiden masih empat bulan lagi, tawar-menawar dalam bursa calon presiden dan wakil presiden sudah mulai marak. Menarik melihat berbagai kiat para tokoh politik untuk dapat memperoleh dukungan dalam pencalonan mereka sebagai presiden dan wakil presiden. Tampaknya, partai-partai politik peserta pemilu juga segera ingin dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden mereka sebagai alat kampanye guna meraih dukungan dalam Pemilu DPR dan DPD, April 2004. Padahal, menurut Undang-Undang Pemilihan Presiden, pendaftaran calon presiden dan wakil presiden baru dapat dilakukan pada Mei 2004, setelah Pemilu DPR dan DPD pada April 2004 yang akan datang.
Fenomena di atas sering disebut sebagai coat tail effect, atau efek "ekor jas". Di Amerika Serikat, presiden dalam pelantikannya selalu menggunakan jas tuxedo yang berekor panjang. Efek coat tail menganalogikan bahwa "sapuan ekor jas" presiden yang panjang akan mengenai Pemilu Kongres, artinya partai politik pendukung presiden akan menang pula dalam Pemilu Kongres. Presiden-presiden yang populer biasanya akan dapat mendongkrak perolehan partai politiknya dalam Pemilu Kongres.
Di Indonesia, fenomena ini terbalik karena justru ketika masih menjadi calon presiden para tokoh politik ini diharapkan dapat mendongkrak perolehan suara partai politik yang menominasikannya. Ini merupakan fenomena baru dalam pemilu di Indonesia. Sebab, dulu sewaktu presiden dipilih oleh MPR, yang penting adalah bagaimana calon presiden meminang para partai politik agar dirinya dapat terpilih di MPR. Sekarang, para partai politik meminang calon presiden untuk dijadikan "maskot" dalam Pemilu DPR.
Efek "ekor jas" ini dianggap kurang sehat karena dapat menyesatkan pilihan pemilih untuk anggota Kongres. Padahal seharusnya pemilih menjatuhkan pilihannya berdasarkan evaluasi terhadap calon anggota Kongres secara mandiri dari presiden yang berasal dari salah satu partai politik yang turut Pemilu Kongres. Apalagi, di AS, pelaksanaan pemilu untuk semua pemilihan di tingkat nasional dan lokal selalu berlangsung pada hari yang sama. Untuk mengurangi efek "ekor jas" ini, hanya sepertiga anggota Kongres yang dipilih dalam Pemilu Kongres yang berlangsung dalam tahun yang sama dengan calon presiden. Jadi, hanya sepertiga anggota Kongres yang akan dapat menikmati efek "ekor jas" sehingga mereka dapat terpilih menjadi anggota Kongres. Demikian pula di Indonesia, efek ekor jas dapat berimplikasi buruk pada hasil pemilu karena kemungkinan besar sejumlah besar wakil rakyat terpilih bukan karena kinerja partai politik.
Efek "ekor jas" juga dianggap dapat mengganggu checks and balances antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif karena adanya ketergantungan antara kedua lembaga tersebut. Artinya, DPR berpeluang "nunut" pada kebijakan calon presiden karena partai politik pendukung presiden dan partai politik yang mayoritas di DPR sama. Kita tentu tidak ingin sejarah terulang bahwa DPR tidak lebih dari hanya "stempel" presiden. Namun, di lain pihak, akhir-akhir ini justru tampak bahwa kewenangan DPR sangat luas, bahkan sampai merambah ke wilayah eksekutif, sehingga DPR menjadi lembaga "super" yang dapat mengatur segala hal. Fenomena ini mendorong para penyusun Undang-Undang Pemilihan Presiden untuk mengatur sedemikian rupa agar presiden memperoleh dukungan kuat di DPR. Caranya ialah dengan mensyaratkan bahwa hanya partai politik atau koalisi partai politik yang meraih kursi sebesar 3 persen di DPR atau 5 persen dari suara nasional yang dapat mencalonkan presiden. Alasan keputusan ini ialah agar kebijakan presiden tidak selalu "dipotong" atau "digagalkan" oleh DPR seperti pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Namun, di lain pihak, menggunakan para calon presiden sebagai "maskot" dalam Pemilihan Umum DPR juga perlu diwaspadai karena para calon ini belum tentu akan menjadi calon presiden yang sebenarnya ketika masa pendaftaran calon presiden dimulai pada Mei 2004. Partai Golkar, misalnya, masih harus melampaui proses internal untuk menentukan satu calon presiden dari beberapa calon yang menjadi peserta konvensi Partai Golkar. Proses ini sudah pasti sarat intrik dan tawar-menawar yang akan menodai proses pencalonan itu sendiri. PDIP, meskipun sudah memastikan pencalonan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden, masih belum dapat memastikan calon wakil presiden yang akan mendampinginya. Akibatnya, manuver PDIP lebih diarahkan pada upaya mencari pasangan wakil presiden bagi Megawati Soekarnoputri, yang dapat menggalang dukungan bagi PDIP pada Pemilu DPR.
Selain itu, popularitas para calon presiden sebagai maskot partai politiknya masing-masing belum tentu menjamin kualitas calon anggota DPR dari partai politik yang sama. Masyarakat dapat terkecoh dengan daya tarik para calon presiden, sementara mengabaikan kualitas dan track record para calon anggota DPR.
Menghadapi tahapan kampanye Pemilu DPR dan DPD, kita perlu waspada dalam melakukan penilaian terhadap partai-partai politik serta calon anggota legislatif peserta pemilu sebelum memberikan suara kita pada 5 April 2004. Jangan tersapu oleh "ekor jas" para maskot yang belum tentu akan menjadi calon presiden, apalagi terpilih menjadi presiden pada Juli 2004!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo