Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Basmi Korupsi, Am puni Pembongkarnya

6 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

  • Bambang Harymurti

    MUHAMMAD Nazaruddin pergi ke Singapura sehari sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi mencekalnya. Bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu diperlukan keterangannya untuk dua perkara: dugaan pemberian gratifikasi kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, dan kemungkinan keterlibatannya dalam kasus suap terhadap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga.

    Kepergian Nazaruddin ke Singapura menimbulkan kecurigaan ia akan terus mengungsi dari jangkauan hukum, seperti yang dilakukan Nunun Nurbaetie, tersangka KPK dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, pada 2004. Jika kecurigaan ini benar, muncullah kecenderungan yang mengkhawatirkan, yakni melemahnya risiko melakukan korupsi di Indonesia. Jika segerombolan koruptor merasa jaringannya terendus, cukup mengirimkan salah satu mata rantainya hengkang ke negeri orang untuk mengamankan diri. Aparat hukum pun akan kesulitan membongkar sindikat koruptor hingga ke sumber utamanya, karena hanya mampu menjaring pelaku lapangan.

    Hilangnya mata rantai penghubung menyulitkan pembuktian hukum ke dalang jaringan, yang boleh diduga kuat mempunyai posisi politik, bahkan mungkin juga kewenangan hukum. Simaklah yang terjadi pada kasus Nunun Nurbaetie. Sebetulnya, ancaman hukuman tindak pidana yang disangkakan kepada istri mantan Wakil Kapolri itu tidak terlalu tinggi. Perannya sebatas tersangka penyalur uang dari penyuap kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Yang amat diperlukan dari Nunun adalah keterangan tentang siapa saja pemilik uang itu. Bila pemilik uang diketahui, motif sangkaan penyuap ini dapat dibongkar, dan penyuap dapat dihukum.

    Membongkar motif dan menghukum penyuap kasus ini bukan saja penting, tapi juga strategis, karena menyangkut pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, yang mempunyai kewenangan diskresi dalam menentukan kebijakan moneter RI, yang berpotensi menguntungkan penyuap—alias merugikan negara—triliunan rupiah. Itu sebabnya para penyuap tak keberatan melakukan ”investasi” puluhan miliar rupiah dengan cara menyogok anggota DPR untuk memastikan posisi strategis ini dijabat oleh anggota jaringan mereka.

    Keterangan yang diperlukan dari Muhammad Nazaruddin juga bernilai strategis. Bila ia bersedia membuka semua informasi yang diketahuinya, modus dua jaringan koruptor besar dapat dikuak. Yang pertama adalah sindikat yang diduga bermain sebagai makelar kasus dalam persidangan hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi, yang bisa lebih dari seratus jumlahnya setiap tahun. Bayangkan daya rusak sindikat ini terhadap kredibilitas hasil pemilihan kepala daerah di berbagai penjuru negeri. Bila ulah sindikat ini dibiarkan, akan semakin banyak kepala daerah yang ”terpilih” bukan karena dipercaya rakyat, tapi karena lihai melakukan korupsi.

    Yang kedua adalah sindikat pemerasan dalam alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di DPR, yang potensi kerugian negaranya triliunan rupiah, bahkan mungkin puluhan triliun rupiah. Sebab, kasus di Kementerian Pemuda dan Olahraga menunjukkan tingkat pencurian yang dilakukan pada proyek pemerintah itu adalah 15 persen dari nilai total proyeknya.

    Pemangkasan kualitas pasti harus dilakukan pelaksana proyek untuk menutup biaya pemalakan itu supaya tetap meraih untung. Kondisi ini dapat menimbulkan kerugian besar—mungkin juga jiwa—di masa depan, mengingat Indonesia langganan bencana alam. Lebih gawat lagi, kongkalikong antarjaringan koruptor di parlemen dan lembaga eksekutif akan membawa tingkat korupsi di Indonesia ke kategori kleptokrasi alias pemerintahan para maling.

    Dalam upaya membongkar jaringan bibit kleptokrasi inilah pentingnya mendapatkan keterangan dari Nazaruddin dan Nunun. Upaya mendapatkan kesaksian mereka harus maksimal. Untuk itu, KPK perlu menerapkan strategi ”Madu dan Racun”, yaitu upaya membuat mereka semakin merasa terusir dari tempat pengungsiannya di luar negeri, dan sekaligus merasa akan lebih baik bila kembali ke Tanah Air dan bekerja sama dengan aparatur KPK.

    Untuk jurus ”racun” KPK dapat memanfaatkan Konvensi Anti-Korupsi PBB yang telah diratifikasi oleh 151 negara, termasuk Singapura. Konvensi yang terdiri atas 8 bab dan 71 ayat ini mewajibkan semua negara penanda tangannya saling memberi bantuan dalam upaya hukum memberantas korupsi, termasuk penangkapan tersangka korupsi dan pengembalian aset hasil perbuatan haram mereka, kendati tak ada perjanjian ekstradisi.

    KPK jelas memahami hal ini, apalagi baru saja menjadi tuan rumah konferensi internasional bertajuk ”Shaping a New World: Combating Foreign Bribery in International Business Transactions” di Bali, awal bulan lalu. Yang tidak bisa dilakukan KPK sendirian adalah memainkan jurus ”madu”. Soalnya, sistem hukum Indonesia tak mengenal konsep plea bargain, yaitu hak jaksa meminta hakim mengurangi hukuman, bahkan membebaskan, pelaku pidana yang pengakuannya dapat membuat pelaku pidana yang jauh lebih jahat terjerat hukum. Ini sebenarnya bisa dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui haknya sebagai kepala negara dalam memberi pengampunan (grasi).

    Dalam kasus ini KPK seharusnya berkonsultasi dengan Presiden Yudhoyono untuk bersama-sama menjalankan jurus madu dan racun ini. KPK dapat memulainya dengan meminta Presiden memberikan grasi kepada dua saksi penting yang sekaligus pelaku pidana, yang sudah berada di dalam negeri

    KPK perlu menyurati Presiden Yudhoyono agar memberi grasi kepada Vincentius Amin Sutanto dan Agus Condro. Berkat laporan kedua orang ini, dan kerja sama mereka dengan aparat hukum, dua kasus pelanggaran hukum kelas kakap terbongkar di Indonesia, sedangkan kerugian negara akibat tindak pidana mereka tidak ada.

    Vincent adalah mantan Manajer Keuangan Grup Asian Agri yang melaporkan pidana pengemplangan pajak terbesar dalam sejarah Indonesia, yang dilakukan perusahaan tempatnya bekerja. Ia kini menjalani hukuman 11 tahun penjara karena terbukti mencoba mencuri uang perusahaannya senilai U$ 3,1 juta, walau baru berhasil mencairkan Rp 200 juta.

    Agus Condro Prayitno adalah anggota Komisi IX DPR periode 2004-2009 dari PDIP, yang sempat menerima Rp 250 juta dari janji Rp 500 juta bagi pemilih Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI. Mantan aktivis antikorupsi ini kemudian menyesal, mengembalikan uang, dan melaporkannya ke KPK. Berkat laporannya itulah 27 anggota DPR lain penerima uang yang diduga suap ini masuk bui. Empat di antaranya bahkan sudah menjadi terpidana.

    Agus Condro kini masih menjalani sidang pengadilannya. Para aktivis antikorupsi berharap ia dibebaskan, setidaknya diringankan hukumannya. Bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. pun telah menyuarakan pendapat serupa. Namun pendapat Presiden Yudhoyono mengenai hal ini belum terungkap ke publik.

    Kini adalah saat yang tepat bagi KPK untuk meminta bantuan Presiden Yudhoyono membongkar jaringan korupsi kelas kakap, sebagai bagian dari upaya strategis memberantas korupsi. KPK sebaiknya menyurati Presiden agar mempertimbangkan pemberian grasi bagi Vincentius dan Agus Condro secepatnya, sehingga bisa membantu KPK mendapatkan kerja sama dari Nunun Nurbaetie dan Nazaruddin dalam membongkar jaringan korupsi yang melibatkan mereka.

    Bila Presiden Yudhoyono benar-benar ingin memberantas korupsi seperti janjinya ketika berkampanye dulu, permintaan ini pasti akan diterima dengan baik.

    Wartawan

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus