Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

'Senator' Orba di Senayan

Siapa pun boleh duduk di Dewan Perwakilan Daerah asalkan ikut aturan, dan tidak memanfaatkan lembaga baru itu untuk berlindung dari masa lalu.

28 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA mulanya adalah niat mulia. Kepentingan daerah harus lebih diwakili dalam penyelenggaraan pemerintahan di negeri ini. Sistem perwakilan rakyat model lamayang dianut sampai hari ini dianggap kurang berhasilmenjadi jembatan antara daerah dan pusat. Sistem perwakilanyang ada bahkan dianggap hanyalah perpanjangan tanganpusat. Mungkin inilah salah satu "penyumbang" keteganganantara beberapa daerah dan pusat selama ini.

Jika terus dibiarkan, ketegangan akan memuncak.Maka, lahirlah ide membentuk Dewan Perwakilan Daerah,yang kemudian diperkuat landasan berdirinya melaluiamendemen UUD 45, juga dua perangkat undang-undang. Sistemperwakilan baru ini, yang idenya mengambil contoh beberapanegara maju, adalah sistem bikameral alias dua kamar.Satu kamar sebagai representasi perwakilan rakyat melaluipartai politik (DPR) dan satu kamar lagi perwakilan rakyatyang mewakili kepentingan daerah. Dengan begitu, setelahpemilu legislatif pada April mendatang, di Senayan akan ada550 anggota DPR dan 128 orang anggota DPD?setiapprovinsi diwakili oleh empat orang.

Niat mulia, tapi kenyataan di lapangan bisa jauhberbeda. Aturan yang ada membuat hanya mereka yang berduityang bisa bertarung. Hitung saja. Calon harus mendapatdukungan 1.000 sampai 5.000 orang?tergantung jumlah pendudukdi provinsinya. Untuk mendapatkan satu fotokopi kartutanda penduduk, sedikitnya calon harus keluar duit Rp 5.000sampai Rp 10.000?sebagai "imbalan" dukungan. Katakanlahseorang calon harus mencari 3.000 KTP, maka itu sudah Rp15 juta hingga Rp 30 juta. Lalu ada biaya menguruspersyaratan administrasi: dari tingkat RT/RW hingga rumah sakit. Inijuga duit lagi, tapi belum seberapa.

Yang paling makan biaya besar tentu kampanye.Calon DPD tidak boleh nebeng kampanye partai politik. Diaharus mencetak brosur sendiri, mungkin mencetak kaus untukpendukungnya, dan menyelenggarakan kampanye sendiri.Setiap calon diharuskan mendapat dukungan dari minimal 25persen jumlah kabupaten atau kota di provinsinya. Kalaupemilihan kepala desa di Pamulang, Banten, saja kabarnyamenghabiskan Rp 400-500 juta, tentu biaya calon DPD inisedikitnya sejumlah itu atau bahkan lebih besar.

Siapa yang punya duit sebanyak itu? Jelas orangberpunya, mereka yang mendadak dapat warisan gede, bekaspejabat yang banyak uang, atau calon yang disokong paracukong. Di sini ada sangkaan bahwa mereka yang sudah keluarbanyak uang diduga keras akan mengusahakan berbagai"kreativitas" tercela agar "modal"-nya kembali selama menjabat.

Jika bukan kembali "modal" yang dikejar, barangkaliada motivasi lain seseorang mau keluar uang begitu banyakuntuk kursi DPD. Ada pendapat bahwa derasnya minatorang-orang eks Orde Baru untuk memasuki DPD didasari olehmotif berlindung dari jangkauan aparat yang mungkinmengaduk-aduk masa lalunya untuk membuktikan kasus korupsidan kolusi. Sebagai pejabat negara, tentu anggota DPDtidak mudah "diusik", perlu izin presiden untuk memeriksa mereka.

Majalah ini berpendapat, siapa pun boleh tampil diDPD, termasuk orang-orang Orde Baru. Tapi sangatdisayangkan jika benar ada saringan yang dibobol. Mereka yangsetiap hari bisa ditemui di Jakarta ternyata lolos sebagaianggota DPD dari daerah. Padahal aturan dalamUndang-Undang Pemilu Legislatif Nomor 12 Tahun 2003 sangat jelasmengatur urusan domisili ini. Calon DPD harus berdomisiliminimal tiga tahun berturut-turut, atau berdomisili di daerahitu sepuluh tahun sejak berusia 17 tahun. Calon DPD tidakboleh menjadi pengurus partai sejak 11 Juni 2003.

Jika saringan ini lemah, bukan keterwakilan daerah oleh para "senator" itu yang akan meningkat. Yang akan meningkat adalah usaha para pejabat berduit untuk menebar "bom asap"?dengan "sedikit uang"?agar sepak terjang masa lalunya kabur dan perlahan dilupakan. Bahaya. Niat mulia membuat lembaga yang lebih banyak merespons daerah bakal sia-sia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus