SEPERTI tahun lalu, pada Natal kali ini pun pemuka Palestina, Yasser Arafat, tak bisa hadir di Bethlehem. Bahkan empat hari sebelum Malam Kudus itu Presiden Amerika Serikat George W. Bush menyatakan kepada serombongan wartawan Israel yang menemuinya di Washington, DC, "membuang" Arafat dari percaturan politik Timur Tengah adalah sesuatu yang mustahak. Bukan main.
Sebelum pasukan Amerika Serikat dan sekutunya melancarkan serangan ke Irak, 20 Maret 2003, konflik Israel-Palestina seperti menguak titik cerah. Diawali pidato Presiden George W. Bush pada 24 Juni 2002 tentang solusi dua negara, lahirlah konsep Peta Jalan Perdamaian, yang didukung Rusia, Uni Eropa, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan tentu saja Amerika Serikat. Konsep ini menjanjikan terbentuknya negara Palestina pada 2005.
Tapi, tampaknya, konsep Peta Jalan Perdamaian dan "kelembutan hati" Presiden Bush hanyalah untuk sekadar meneduhkan sementara wilayah konflik itu dan mengambil hati para pemimpin dunia Arab sebelum Amerika menginvasi Irak. Bahkan, setelah invasi pun, Amerika masih berinisiatif menyelenggarakan dua konferensi tingkat tinggi yang melibatkan Israel dan Palestina, masing-masing di Sharm al-Sheikh, Mesir, dan Aqaba, Yordania.
Setelah tentara Amerika membekuk mantan Presiden Irak Saddam Hussein, disusul maklumat pemimpin Libya Muammar Qadhafi menghentikan pengembangan senjata pemusnah massal, lengkaplah kiranya kemenangan Amerika. Konflik Israel-Palestina kembali ke polanya yang "baku", yakni menyudutkan Palestina dan "membuang" Yasser Arafat?yang sejak dua tahun lalu dinyatakan sebagai bagian dari problem, bukan solusi.
Sementara nasib Peta Jalan Perdamaian makin tak jelas, sejumlah tokoh partikelir meluncurkan Prakarsa Jenewa, yang ditandatangani di Jenewa, Swiss, 1 Desember lalu. Baik pemerintah Israel maupun Palestina menolak prakarsa ini. Penolakan itu bisa dipahami hanya dengan menyimak bagian yang sangat naif dari prakarsa ini, yakni membagi dua Yerusalem Timur, dan menjadikan satu dari dua bagian itu ibu kota Palestina.
Satu di antara dimensi konflik absolut Israel-Palestina justru terletak pada status Yerusalem Timur. Kedua pihak tak akan surut dari tuntutan mutlak penguasaan atas Yerusalem Timur yang utuh, sekali dan selama-lamanya. Tawaran maksimal yang pernah diajukan Israel hanyalah sebatas memberikan akses khusus dari wilayah Tepi Barat ke Masjid Al-Aqsa bagi penduduk Palestina yang ingin beribadah di masjid yang merupakan kiblat pertama umat Islam itu.
Apa gerangan yang membuat Amerika Serikat?dan Israel, tentu saja?sangat bernafsu menyingkirkan Yasser Arafat dari meja perundingan? Tampaknya, menggulingkan sebuah simbol?apalagi ikon?merupakan hal mutlak untuk sebuah agenda kemenangan. Hal pertama yang dilakukan tentara Amerika setelah menguasai Bagdad, pada 9 April 2003, adalah merobohkan patung Saddam Hussein.
Ketika Amerika, melalui Israel, berhasil menandingi lembaga kepresidenan Arafat dengan munculnya lembaga keperdanamenterian dalam kabinet Israel, mereka sudah menang selangkah. Tapi kemudian terbukti, dua perdana menteri dari lembaga tandingan itu tak membuat Peta Jalan Perdamaian semakin jelas. Di pihak lain, Ariel Sharon tetap membangun temboknya yang kontroversial, mempertahankan permukiman Yahudi, dan menembaki anak-anak Palestina.
Ufuk perdamaian itu makin jauh, memang. Tapi kemarin terbetik berita, lima belas anggota Sayeret Matkal menulis surat kepada Sharon, menolak bertugas di wilayah Palestina yang diduduki Israel. Sayeret Matkal adalah unit komando rahasia elite Israel yang bertanggung jawab untuk kontraterorisme dan intelijen puncak serta misi penyelamatan sandera. Orang-orang yang berkemauan baik, ternyata, bisa hadir di pihak mana saja yang sedang berkonflik. Aspirasi mereka inilah yang seyogianya dipertimbangkan oleh pemimpin semua pihak yang bertikai ketika mereka berbicara tentang perdamaian, dan bukan tentang mengucilkan dan membuang siapa pun tanpa ujung pangkal yang jelas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini