Menjelang tutup tahun 2003, berbagai proyeksi dan ihwal pemutusan program kerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) terasa tidak begitu penting lagi. Soalnya, ada yang tiba-tiba mengusik kesadaran kita, yakni perekonomian Indonesia yang belum menunjukkan tingkat pemulihan yang berarti. Tidak ada pertumbuhan 6 persen seperti di Thailand atau nilai ekspor yang melonjak berlipat-lipat seperti di Cina. Nyaris tidak ada yang bisa dibanggakan.
Perekonomian Indonesia tetap ringkih dan jalan di tempat. Pertumbuhan ekonomi hanya naik 0,2 persen (dari 3,7 persen menjadi 3,9 persen), inflasi turun dari 9 persen ke 4,5 persen, nilai tukar rupiah stabil pada kisaran Rp 8.500 per dolar AS, dan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) meluncur ke 8 persen. Semua indikator ekonomi makro menunjukkan perbaikan, tapi bangsa ini memerlukan lebih dari itu.
Bangsa ini membutuhkan hal-hal yang konkret, seperti perbaikan dalam kualitas hidup sehari-hari, barang-barang kebutuhan pokok yang harganya terjangkau, dan obat yang harganya tidak terlalu mencekik leher. Juga biaya pendidikan yang wajar, tidak melonjak gila-gilaan (calon mahasiswa kedokteran di sebuah universitas swasta dikenai uang pangkal Rp 60 juta?naik lima kali lipat dalam lima tahun).
Tidak syak lagi, beban hidup semakin lama semakin berat. Setahun lalu, tingkat konsumsi yang tinggi diperkirakan masih mampu menggerakkan roda ekonomi negeri ini. Namun, belakangan ini, tekanan pengangguran telah membuat daya konsumsi itu tidak sepenuhnya bisa diandalkan lagi. Pengangguran terbuka bahkan hampir mencapai 11 juta jiwa. Bila tak dicegah, ledakan pengangguran akan membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa kere yang hidup dari belas kasihan bangsa lain.
Untuk mengatasinya, sebuah solusi dikumandangkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) pekan lalu. Katanya, untuk meningkatkan kesejahteraan dan menekan angka kemiskinan, pertumbuhan ekonomi harus digenjot sampai 7 persen. Caranya? Ketua Kadin, Aburizal Bakrie, menyatakan harus ada terobosan dalam kebijakan. Tentang ini, kita hanya bisa menebak-nebak. Mungkinkah terobosan itu berupa iklim usaha yang kondusif, dukungan pemerintah yang lebih konkret; atau keringanan pajak, barangkali? Wallahualam.
Di pihak lain, orang-orang yang lebih pragmatis hanya berpegang pada satu solusi, yakni investor asing. Kapitalisasi Bursa Efek Jakarta, yang pada tahun 2003 ini menembus angka Rp 35 triliun, membuktikan bahwa arus modal asing dalam jumlah yang signifikan memang sudah kembali ke Indonesia. Sementara itu, arus investasi langsung (foreign direct investment) diperkirakan juga akan mengalir deras ke kawasan Asia Pasifik sepanjang tahun depan. Andaikata sepuluh persen saja dari dana investasi yang sekitar US$ 87 miliar itu ditanamkan di Indonesia, akan banyak usaha baru yang bisa menampung tenaga kerja.
Lemahnya penegakan hukum, yang dulu merupakan kendala utama bagi investor asing, tampaknya tidak lagi menghambat langkah mereka. Begitu pula wewenang pusat dan daerah yang tumpang tindih dan membuat proses investasi jadi ruwet. Yang kini menahan langkah mereka ke Indonesia adalah Pemilihan Umum 2004 serta gejolak sosial yang mungkin ditimbulkan olehnya. Sepanjang tahun depan, investor asing diduga akan menunggu dan mempelajari dengan saksama pemerintah baru yang akan terbentuk nanti. Konon, mereka akan lebih cepat masuk ke negeri ini bila pengusaha Indonesia juga berani berinvestasi.
Berbagai kemungkinan seputar investasi asing tersebut hendaknya tidak membuat kita terpana. Kedatangan investor asing adalah berita bagus, tapi penundaan investasi sampai tahun 2005 mengharuskan kita waspada. Investor asing memang ditunggu kedatangannya, tapi usaha yang bersungguh-sungguh dari pemerintah?untuk membenahi birokrasi dan menegakkan kepastian hukum?sangat mutlak diperlukan. Para pengusaha juga ditagih janjinya agar bekerja lebih efisien dan tidak lagi-lagi terlibat KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini