Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kilas balik sejarah
Isu perlambatan ekonomi global akibat hiperinflasi, atau sering disebut sebagai stagflasi, sedang menjadi fokus utama para pelaku pasar. Namun, perlu diketahui pada 1965 hingga 1980, Amerika Serikat pernah melalui empat gelombang tinggi inflasi dan memulai kondisi stagflasi pada 1973 selama satu dekade. Saat terjadi gangguan pada rantai pasokan minyak di awal pada 1970-an, hal ini mengakibatkan inflasi di AS naik dengan sangat cepat menembus 12 persen. Akibatnya, bank sentral AS, The Fed, menaikkan suku bunga secara agresif hingga mencapai level 13 persen pada 1975. Hal ini mengakibatkan resesi yang terjadi selama lima kuartal. Saat itu, produk domestik bruto (PDB) AS melemah hingga -4,8 persen.
Resesi mendorong The Fed terpaksa menurunkan suku bunga. Namun, hal ini justru kembali mendorong inflasi naik ke 14,7 persen. Suku bunga pun kembali dinaikkan hingga 20 persen, yang merupakan tingkat suku bunga tertinggi sepanjang sejarah AS. Tak dapat dielakkan, pertumbuhan ekonomi AS melemah hingga -8 persen pada akhir 1983.
Akankah sejarah berulang?
Sejak perekonomian dunia dan negara maju memasuki era globalisasi pada 1990-an, inflasi belum pernah tercatat setinggi saat ini. Wajar saja jika hal ini memunculkan sejumlah spekulasi para pelaku pasar bahwa perekonomian dunia sudah berada di masa stagflasi dan mendekati jurang resesi.
Gangguan pada persediaan barang dan jasa di AS terjadi saat diberlakukannya tarif dagang yang baru antara AS dan China pada awal 2020, telah mendorong sedikit kenaikan pada tingkat inflasi saat itu. Munculnya pandemi global, yang mengakibatkan gangguan pada global supply chain, ditambah dengan stimulus fiskal dan moneter yang dikeluarkan oleh para bank sentral dunia, telah menyebabkan akselerasi kenaikan pada harga secara signifikan.
Merespons hasil risalah pertemuan The Fed (FOMC) pada Juni, investor terlihat sudah siap menelan pil pahit imbas dari kebijakan bank sentral yang agresif, seperti perlambatan ekonomi AS. Tak ayal lagi, Dana Moneter Internasional (IMF) kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS pada akhir Juni lalu menjadi 2,9 persen, disertai peringatan terhadap lonjakan inflasi. Perlu diketahui, inflasi AS pada Juni telah mencapai level 9,1 persen.
“Slowbalisation”?
Siklus kenaikan suku bunga AS yang dinilai terlambat, mengakibatkan adanya kenaikan suku bunga secara agresif pada 2022. Dengan proyeksi suku bunga The Fed hingga ke 3,55 persen, tentunya akan menjadikan mata uang dolar AS mengalami penguatan terhadap mata uang global lainnya. Penguatan dolar AS akan mengancam kondisi fiskal negara berkembang yang memiliki tingkat utang luar negeri yang tinggi, seperti Sri Lanka dan beberapa negara di Uni Eropa. Akibatnya, pemerintah negara-negara ini terpaksa menaikkan pajak, menambah utang baru, ataupun menerbitkan uang baru untuk menekan inflasi, sehingga berujung pada kenaikan bunga bank sentral yang sangat tinggi, dan pertumbuhan ekonomi melambat.
Sementara itu, China terlihat baru memulai momentum pertumbuhan ekonomi setelah lebih dari satu tahun mengalami tekanan dari pemerintah di berbagai bidang, terutama sektor teknologi, sehingga menciptakan jarak valuasi indeks yang paling lebar dengan valuasi indeks saham teknologi di AS. Tak hanya itu, goncangan pada sektor properti di 2021, telah mendorong ekonomi China melambat pada awal 2022. Hal ini mendorong bank sentral China, PBOC, untuk melakukan sejumlah pelonggaran. Salah satunya dengan menurunkan suku bunga pinjaman, loan prime rate (LPR), untuk tenor 1 tahun dan 5 tahun. Hal ini diharapkan dapat menstimulasi tingkat investasi dan permintaan domestik, untuk menahan goncangan ekonomi dari eksternal. Perbedaan arah kebijakan moneter antara bank sentral China dan AS, serta ekspektasi akan prospek ekonomi China yang lebih, mendorong laju kenaikan di pasar saham. Indeks CSI 300, yang merupakan kumpulan 300 saham terbesar dari Shenzhen Stock Exchange, mencatatkan penguatan sebesar 9,62 persen selama bulan Juni lalu.
Beralih ke perekonomian dalam negeri, perbedaan kebijakan moneter juga terlihat pada Indonesia. Sejumlah indikator ekonomi terus menunjukkan momentum pertumbuhan yang solid. Sehingga inflasi bulan Juni meningkat ke 4,35 persen. Namun, inflasi inti (inflasi di luar bahan makanan dan energi) masih di bawah 3 persen yang merupakan target pemerintah. Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) terlihat cukup nyaman dengan tingkat suku bunga acuan 7 days reverse repo rate (7DRRR) pada level 3,5 persen, meskipun pelaku pasar menilai bahwa BI kali ini berada pada jalur behind the curve.
Selain itu, cadangan devisa bulan Juni tercatat meningkat ke US$ 136,4 miliar, setara dengan 6,4 bulan pembiayaan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Peningkatan ini dipengaruhi oleh penerimaan pajak, jasa, dan penerbitan surat utang global. Neraca perdagangan juga tercatat surplus US$ 5,09 miliar, disumbang dari penerimaan ekspor yang naik menjadi 40,68 persen. Tidak dapat dipungkiri, tingginya harga komoditas global yang disertai dengan pelemahan rupiah terhadap dolar AS turut menambah pemasukan pemerintah. Di sisi lain, pemerintah juga tetap menyadari bahwa Indonesia bukannya kebal terhadap potensi resesi global. Pemerintah perlu berhati-hati mempertahankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, kebijakan moneter dan kondisi fiskal negara. Dengan potensi penurunan permintaan komoditas akibat ekonomi global yang melambat, disertai mulai turunnya sejumlah harga sejumlah komoditas selama sebulan terakhir, hal ini dapat mengakibatkan perlambatan ekonomi domestik.
Bagi Anda yang sedang merencanakan investasi, pastikan untuk mengetahui profil risiko Anda sebelum berinvestasi. Sehingga, Anda dapat mengoptimalkan imbal hasil dan mengendalikan risiko dengan melakukan strategi investasi seperti alokasi aset dalam portofolio keuangan, diversifikasi hingga investasi secara bertahap, yang seringkali disebut sebagai dollar cost averaging.
Tak hanya menentukan strategi investasi, kita pun perlu mengeksekusi strategi tersebut. Membuat keputusan investasi di tengah situasi yang kurang kondusif tentunya tidak mudah, apalagi jika mulai berinvestasi dengan cara tradisional, dengan kita perlu datang mengunjungi bank terdekat atau membutuhkan proses tatap muka secara langsung. Namun dengan kemajuan teknologi, tentunya hal ini semakin dipermudah. Tentunya, investor juga perlu memilih bank dengan reputasi dan kredibilitas yang baik, yang juga diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pertimbangkan untuk berinvestasi melalui bank yang dapat menyediakan layanan investasi terintegrasi dengan transaksi keuangan harian untuk memudahkan transaksi pembelian investasi yang dipilih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini