Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Imam B. Prasodjo
Dosen FISIP-UI
Ring tinju" itu bernama Sidang Umum MPR 2000. Hanya satu setengah bulan lagi pertandingan akbar ini akan digelar. Para pemain yang akan berlaga di ring itu sudah tampak bersiap. Para penonton juga banyak yang tak sabar menunggu karena pertandingan pada Agustus nanti itu memang ditanggung seru. Tak seperti pertandingan tinju biasa, kali ini akan disuguhkan partai tunggal Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang sangat terkenal dengan jurus andalan "dewa mabuk"-nya, melawan gabungan petinju dari sedikitnya tiga sasana: "Poros Tengah", "Beringin Lebat," dan "Banteng Tambun." Pasar taruhan, walaupun diharamkan agama, sudah tampak ramai. Saking ramainya, ia mulai terlihat mempengaruhi fluktuasi nilai rupiah. Karena itu, tak berlebihan kalau kita namakan pergelaran tinju kali ini sebagai "Tinju Millenium".
Presiden Abdurrahman jelas akan menjadi primadona pertandingan. Agar tidak mengecewakan penonton, Presiden perlu melakukan persiapan sebaik-baiknya dan tidak meremehkan lawan. Penonton dari kedua kubu juga perlu bersikap elegan, sportif, dan tidak terpancing emosi. Ingat, ini bukan tawuran pinggir jalan yang tanpa aturan. Lawan yang akan dihadapi Gus Dur tampaknya lebih tangguh dari sekadar bocah "taman kanak-kanak". Walaupun belum lama tergembleng, kualitas mereka bisa jadi lebih baik dari sekadar "telur" atau "tahi ayam"dua terminologi politik ciptaan Gus Dur. Sejak bulan lalu, pemanasan sudah dimulai di luar ring. Adu sesumbar, saling "teror" psikologis seperti layaknya tinju profesional telah diperagakan. Amien Rais lebih dulu sesumbar akan "menjewer" Presiden. Sambil terkekeh, Presiden pun membalas: "Salah-salah, Mas Amien sendiri terkena jeweran." Agung Laksono dari sasana Beringin Lebat pun nimbrung. Ia mengusulkan agar Gus Dur segera diperiksa kesehatannya oleh tim dokter independen, siapa tahu ada error di organ tubuh Gus Dur, penyebab langkah inkonsisten dan kontroversialnya. Gus Dur pun menangkis ringan: "Saya (kok) keliling dunia tidak mati." (Kompas, 19 Juni.) Penonton pun tersenyum terhibur, kecuali sebagian penonton yang jadi emosional dan belum-belum sudah "mengasah golok" tanda tak pandai menikmati pertandingan profesional. Apa betul "jewer-jeweran" di ring sidang umum MPR sungguh akan terjadi? Harapan publik tentunya, bila betul terjadi, haruslah berdisiplin mengikuti aturan, tidak ada yang kebablasen seperti Mike Tyson menggigit kuping Evander Holyfield. Titik lemah apa yang dapat menohok atau bahkan "menganvaskan" Gus Dur? Akumulasi kasus demi kasus, seperti drama pemberhentian Hamzah Haz, Wiranto, Laksamana Sukardi, Jusuf Kalla, usulan pencabutan Ketetapan MPRS No. 25/1966, tragedi "tukang pijat kepresidenan" Suwondo, Bolkiah-gate, PLN-gate, dan Sabirin-gate, serta entah apa lagi, adalah sasaran tembak pada tiap ronde. Suka tidak suka, Gus Dur harus menyiapkan pertahanan double cover menghadapi pukulan hak interpelasi dan angket yang pasti akan digelar. Simak peringatan Ismail Sunny: "Bila penyelidikan para wakil rakyat (melalui hak angket) itu menemukan bahwa Presiden memang melanggar hukum, bisa terjadi akibat hukum, yakni digantinya Presiden." (Republika, 28 Juni.) Jadi, be prepared for the worst, but hope for the best! Gus Dur juga tidak bisa main-main terhadap opini dan emosi publik. Kasus Sabirin, misalnya, kini bergulir sedemikian rupa hingga menjurus pada tumbuhnya emosi primordial. Warga dan tokoh asal Minang mulai berhimpun merancang pembelaan. Bahkan, ada yang sudah secara terbuka berucap: "Tindakan rezim Gus Dur (yang menahan Syahril Sabirin) ini jelas-jelas penghinaan terhadap masyarakat Minang." (Gatra, 1 Juli.) Reaksi semacam ini dapat melebar dengan munculnya istri Sabirin, Ny.Murni, disertai anaknya, Mellisa, ke hadapan publik. Perjuangan Ny.Murni dan Mellisa mengingatkan orang pada perjuangan istri Anwar Ibrahim, Wan Azizah, dan anaknya, Nurul Izzah, melawan Mahathir di Malaysia. Jurus "dewa mabuk" Gus Dur agaknya benar-benar akan mengalami ujian. Namun, modal sosial-politik Gus Dur agaknya masih cukup kuat. Kursi kepresidenan yang ia peroleh dari pemilu yang legitimate tak mudah runtuh, kecuali bila keadaan sosial-ekonomi terpuruk drastissembako tak lancar, rupiah anjlok tajam, demonstrasi bermunculan, dan kerusuhan besar tak teredakan. Suporter Gus Dur silakan berharap, mudah-mudahan Amerika tidak bermain-main dengan suku bunga, IMF tetap sabar mendukung Gus Dur, dan kasus Syahril Sabirin tak melebar sehingga memancing emosi pasar. Namun, bagaimana bila sebaliknya yang terjadi? PDI Perjuangan, yang sejak dulu ingin Megawati menjadi presiden, tiba-tiba bisa mudah tergoda untuk berpikir, "Why not now?" Apalagi bila secara rasional prospek PDI-P di tahun 2004 tak cerah. Akbar Tandjung, yang saat ini "malu-malu", dalam waktu sekejap juga dapat tertarik pada kursi wakil presiden. Amien Rais, Hamzah Haz, dan kekuatan Poros Tengah lainnya, yang sejak awal merasa sesak dengan manuver-manuver Gus Dur, bakal cukup lega dengan komposisi baru ini. Namun, walaupun situasi kondusif dapat tercipta, tetap saja realisasi penggeseran Gus Dur sulit terjadi karena motor penggeraknya diperkirakan kurang tenaga dan kurang keberanian. Megawati tidak cukup punya nyali mengambil inisiatif. Akbar, seperti biasa, terlalu kalkulatif. Amien Rais, yang biasanya suka nekat, kali ini terpaksa berhitung seribu kali karena langkahnya bisa memicu konflik massa NU vs Muhammadiyah. Jadi, kalau toh harus terjadi pergantian, lagi-lagi semuanya banyak tergantung pada Gus Dur. Bila situasi kritis terjadi dan Gus Dur bersedia mundur secara sukarela seperti Pak Harto dulu, transisi dengan biaya sosial rendah akan lebih dimungkinkan. Namun, siapa yang berharap terjadi lagi situasi kritis? Karena itu, diduga pertandingan tinju kali ini akan berakhir dengan draw alias sama kuat. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |